webnovel

Ga-Ib Simalakama

Gabriel POV

"Kamu sudah mempermalukan papa sama mama, kamu ikut pulang ke palembang sekarang juga!!"

"Tapi pah--"

"Gak ada penolakan, Gabriel!!" Papa membentak.

Papa marah besar setelah tahu kenyataan bahwa Aku dan Ibra punya hubungan, media menyebarkan dengan cepat, wartawan sejak tadi berkumpul di depan Rumah Sakit untuk meminta keterangan, Papa sampai harus membayar pengawalan aparat demi melindungi diri dari kejaran wartawan.

Papaku tidak seperti Abi, dia tidak menerima hal ini dengan mudah, kenapa Aku tidak terlahir dari keluarganya Ibra saja, Aku pikir dengan keluargaku yang tidak terlalu berpegang teguh dengan agama yang menjadi pedoman kami, Aku akan mendapatkan dukungan, namun nyatanya Aku mendapatkan pertentangan.

Aku tau, bukan Agama yang menjadi alasan Papa menentang Orientasi sexualku, namun nama baiknya sebagai 10 pebisnis terbaik di Indonesia yang Ia jaga, Aku dianggap mempermalukan, entah sudah berapa banyak hinaan yang Papa tuduhkan padaku, sakit sekali rasanya mendengar hinaan dari Papaku sendiri.

"cukupp Pah!!" Bentak mama, "kenapa Papa nggak bisa hargai keputusan Ayil, Ayil tahu apa yang terbaik untuknya" Ujar mama lagi dengan derai air mata yang sejak tadi keluar dari matanya yang sudah berkerut.

"diam!!" bentak Papa tak kalah kencang, "dengan menjadi Homo kamu bilang itu keputusan terbaik!!, ini semua karena kamu gagal mendidik anak, keluarga Lauw tidak ada yang menjadi Homo!!"

Mama semakin terisak atas bentakan Papa, Papaku memang cukup temperamen, ternyata benar menurut sebagian orang yang mengatakan jika orang-orang Sumatera itu wataknya keras, persis seperti Papa.

"Ibrahim sialan!!" Umpat Papa, "gara-gara dia kamu menjadi seperti ini"

"Cukup Pah!!!" Gantian Aku yang membentak dari atas Ranjangku, seandainya tubuhku sudah pulih seratus persen, Aku tidak perduli jika harus menghajar Pria tua yang Kupanggil Papa, Aku tidak tahan mendengar umpatannya terhadap Ibra.

"silahkan Papa hina Gabriel, Papa pukul Gabriel, tapi jangan sekali-kali Papa hina Ibra" Ujarku menahan amarah dalam Isak tangisku yang tak bisa kutahan, "bukan Ibra yang membuat Gabriel seperti ini, tapi Gabriel--"

"Tapi Gabriellah yang justru membuat Ibra seperti ini, yang Homo itu Gabriel Pah!!!, Gabriel homo!!!, Gabriel memang homo, lalu kenapa Pah?!!"

Plaakkkkk

Papa mendaratkan tamparannya di pipiku, "jaga bicara Kamu kepada Papa, berani-beraninya Kamu membentak Papa!!"

"Dasar Buyan (Bodoh, dalam bahasa palembang) " Umpat papa lagi

Aku tersenyum getir atas kemalangan yang terjadi pada diriku, Aku tidak seberuntung Ibra yang terlahir dari keluarga menyenangkan dan bisa memahami perbedaan, hari ini bahkan Aku tidak bisa hadir di persidangannya, Aku ingin tahu keputusan Hakim tentang Ibra, Aku masih yakin Ibra tidak bersalah, pasti ada orang yang menjebaknya, namun Aku tidak bisa berbuat apa-apa.

"ikuti keinginan Papa-- atau hidup Ibrahim akan sengsara?" Ujar Papa memberikanku pilihan, Pria tua ini sangat tahu kelemahanku.

Dalam diamku akhirnya Aku mengangguk, Aku tidak ingin terjadi sesuatu dengan Ibra, Papaku tidak main-main dengan ucapannya.

Papa menelpon seseorang menyuruh masuk, beberapa Bodyguard berbadan besar masuk dari balik Pintu, dua bodyguard menggendong tubuhku, ditemani beberapa polisi yang menjaga ketat, Aku dibopong menuju keluar Rumah Sakit.

Kerumunan Wartawan segera berhamburan saat melihat kami keluar, Polisi mencoba membuka jalan, menghalangi wartawan untuk mendekat, Papa dan Mama bungkam, tidak menjawab pertanyaan wartawan sedikitpun.

Masih sayup kudengar saat Aku sudah direbahkan didalam mobil, ada satu wartawan yang pertanyaanya mengusikku,

"Pak Gabriel, bagaimana perasaan anda tentang keputusan hakim yang menyatakan Saudara Ibrahim tidak bersalah?".

"Pak Gabriel, apa anda mengenal Ibu Rasty yang menjebak Pak Ibrahim dan menjadi dalang atas kecelakaan bapak?"

Aku terkejut, disisi lain Aku mengucap syukur, ternyata Ibra dinyatakan tidak bersalah, tapi disisi lain Aku tidak menyangka, ternyata ini semua ulah Rasty.

Mobil yang kami kendarai melaju meninggalkan Rumah Sakit, Aku hanya bisa menangis di pundak Mama, Mama membelai rambutku dan berusaha menenangkanku.

"Mah, Gabriel mohon, kabarin Ibra" bisikku takut didengar Papa.

Mama mengangguk, Ia mengambil Handphone dari dalam tasnya, dan mengetikkan sesuatu, untungnya Mama sudah bertukar nomor dengan Ibra.

Mobil terus melaju, membawa kami tiba di Bandara, Seseorang menghampiri kami, tampaknya Ia orang suruhan Papa, Ia memberikan amplop yang berisikan tiket pesawat saat Papa membukanya, Ia juga memberiku kursi roda.

Aku berharap Ibraku datang seperti Cinta yang mengejar Rangga hingga ke Bandara, ah adegan itu hanya ada di sinetron, tidak mungkin ada di kejadian nyata, lambat laun kursi roda yang didorong Bodyguard papa semakin jauh dari Lobby keberangkatan menuju Lounge.

"ngapain kamu nengok ke belakang?" Tanya papa dengan suara sedikit membentak.

Aku diam bersikap acuh tak acuh.

"jangan berharap laki-laki itu ngejar kamu sampai kesini" Ujar papa.

Aku masih diam tidak menjawabnya, Aku enggan berdebat dengan Pria tua ini.

"kita punya waktu 1 jam untuk nunggu take off, kalo emang laki-laki itu datang, Papa kasih kamu buat dia" ujar papa lagi, seolah menganggapku seperti barang.

Namun dalam hati Aku berharap Ibra datang menjemputku.

* * *

Ibra POV

Aku bergegas menuju lokasi yang diberitahu Rasty, ditemani beberapa mobil polisi, termasuk Rando yang pernah kutemui dulu, Aku tidak mau terjadi sesuatu pada Rasty, bagaimanapun juga, Aku tidak mau Anakku kehilangan sosok seorang Ibu, sekalipun Aku tidak akan menikahi Rasty karena kebusukannya, Aku akui dia hebat sekali melakukan aksi jahatnya, semua berjalan tanpa Ia turun tangan, licik sekali.

Bahkan yang kudengar dari Rando yang sempat mendengar rekannya menginterogasi Mba Mel, mereka sempat ingin menghabisi Gabriel di Rumah Sakit, hanya saja waktu itu rencana mereka gagal karena ada Lita, Lusi dan Sarah yang menjaga Gabriel.

Aku jadi teringat saat Sarah menceritakan jika ada atasanku yang berkunjung malam-malam saat malam terakhir Sarah di jakarta.

Dalam perjalanan menuju lokasi yang dimaksud Rasty, handphoneku berdenting, sebuah pesan masuk dari Mama Gabriel.

"Ibrahim anak Mama, Mama sangat bersyukur Gabriel bertemu dan mencintai orang sebaik kamu, Mama minta maaf, Mama tidak bisa menahan Papa yang menentang semua ini, Mama minta maaf, Mama tidak bisa melarang Papa untuk membawa Gabriel meninggalkan Jakarta, Mama mohon, jemput Gabriel dibandara, bawa Gabriel bersama kamu, hanya Ibrahim yang diinginkan Gabriel"

Kegalauan melandaku, Aku bingung dihadapkan antara dua pilihan, menemui Gabriel di bandara, atau menjemput Bayiku terlebih dahulu, benar benar simalakama.

"kenapa pak?" Tanya Rando yang fokus menyetir mobil polisi yang kami tumpangi, "Pak Ibrahim wajahnya kelihatan bingung"

Aku menghembuskan nafas cukup panjang, "Pak Rando, saya minta tolong dipercepat pak, saya harus mengejar waktu untuk menemui Gabriel" ujarku meminta Rando melajukan mobilkan lebih cepat.

"ada apa dengan Pak Gabriel?" Tanya Rando penasaran sambil menginjak pedal Gas lebih kencang.

"Gabriel dibawa Papanya, Saya harus segera menyusul ke bandara" jawabku lirih.

Kulihat Rando berbicara dengan seseorang di alat komunikasi yang ada di bahunya, Ia menyuruh rekannya untuk melanjutkan perjalanan ke alamat yang sudah kuberitahu dan menyelamatkan Bayiku, ketika berada di perempatan Rando segera memutar balik Mobilnya.

"Loh, kita kemana pak?" Tanyaku kebingungan.

"Mengejar cinta Pak Ibrahim" jawabnya tersenyum, "Bandara kearah sebaliknya pak" ujarnya lagi.

"tapi bayi saya pak--"

"tidak perlu khawatir pak, setelah menjemput cinta Bapak, kita ke kantor polisi menjemput Bayi Pak Ibrahim"

Aku tersenyum, tidak menyangka masih banyak orang yang menerima perbedaan.

Mobil polisi milik Rando terus melaju kencang berpacu dengan waktu, namun kesialan menghampiriku, jalanan menuju Bandara macet total, sehingga beberapa mobil menghalangi jalan kami.

"sialll" teriakku memukul dashboard mobil.

Rando tersenyum, Ia mengambil microphone, "mohon perhatian bagi para pengguna jalan, Ini dari kepolisian Mabes Polri, dimohon kiranya untuk memberikan jalan karena keadaan sedang genting, sekali lagi saya tegaskan, mohon perhatian kepada para pengguna jalan agar memberikan jalan untuk polisi karena keadaan sedang genting " Suara Rando terdengar dari pengeras suara diiringi sirine mobil polisi.

Lambat laun satu persatu mobil yang ada di depan kami menyingkir ke pinggir jalan, namun tetap saja tidak menambah pergerakan laju mobil polisi yang dikemudikan Rando, Rando terus berbicara mengulang kalimatnya seperti tadi.

Kuputuskan untuk menelpon Mama, menanyakan keberangkatan Mereka.

"Hallo ma, mama di terminal berapa?" Tanyaku setelah panggilan tersambung.

"Hallo nak, Mama dan Gabriel di terminal 3"

"Ma, Ibrahim menuju kesana, Ibrahim mohon bantu Ibrahim untuk bertemu Gabriel"

"iya nak, mama akan coba mengulur waktu, kamu yang sabar ya sayang" Ujar mama dengan suaranya yang sedikit parau seperti seseorang yang habis menangis.

"Gimana pak?" Tanya Rando setelah Aku mematikan panggilan telepon.

"Terminal 3 pak" Jawabku singkat dengan wajah cemas yang tidak dapat kututupi.

Tak berselang lama, Mobil Rando berhasil melewati macetnya jalanan, dan segera melaju kencang menembus jalan tol untuk menuju Bandara.

Tanpa saling melempar obrolan, Rando tampak fokus pada jalanan, begitu juga Aku, hatiku resah, gundah, ingin segera tiba ke Bandara lebih cepat, namun sayangnya takdir berkata lain.

Mobil polisi yang dikendarai Rando tergelincir, Rando kehilangan keseimbangan untuk mengemudikan mobilnya, terdengar dengan jelas bunyi dercitan ban mobil yang berputar di jalanan, hingga Rando menabrak dinding pembatas, setelah itu Aku tidak tahu lagi, namun aku masih sempat menyebut nama Gabriel sebelum mataku terpejam dan tidak sadarkan diri, mungkin saja Aku sudah mati.

To Be Continued.

_________________________________________

Chapitre suivant