webnovel

Ijin Meyakinkan Hati

Gabriel POV - Ijin Meyakinkan Hati -

_________________________________________

Aku diam seribu bahasa, aku tidak percaya Ibra mengatakan kalimat itu.

"Riel, aku--cinta sama kamu."

Kalimat itu terngiang-ngiang di otakku, seolah menggema di dinding toilet, aku masih belum percaya, aku masih belum yakin, tapi kenapa Ibra menangis, kenapa air matanya seolah menunjukkan suatu hal yang disebut ketulusan, kenapa matanya menyiratkan jika apa yang ia katakan adalah sebuah kejujuran, apa yang membuatnya tiba-tiba menangis dan mengatakan hal itu padaku.

Tapi selama mengenal Ibra, aku tahu betul sifatnya yang selalu bermain main dengan ucapannya, Ibra tidak pernah bisa serius, hal itu ia buktikan sendiri dengan para wanita yang ia pacari, paling lama juga 3 bulan, setelah itu Ibra mencampakkan pacarnya, lalu dengan mudah mengganti dengan yang baru, hati seseorang sudah seperti pakaian baginya, jika ia bosan, maka ia akan beli pakaian baru.

"Ibra, kamu boleh bercanda, tapi cinta nggak sebercanda itu."

Aku masih tidak yakin, tidak percaya apa yang dikatakan Ibra barusan itu hanya bualan atau memang nyata, jika mengada-ngada, kenapa dia harus menangis di depanku, bahkan sekian tahun lamanya berteman dan mengenalnya, aku tidak pernah sekalipun melihat Ibra menangis seperti ini, tapi jika yang dikatakannya adalah hal yang nyata, kenapa Ibra mengatakan dalam keadaan seperti ini, dalam keadaan dimana Ibra nyaman dengan sebutan TTM dari usulnya sendiri, bahkan aku tidak memintanya untuk menjadi pacarku walaupun aku menginginkannya, aku cukup bahagia dengan dirinya yang selalu ada di dekatku.

"Aku serius Riel, aku cinta sama kamu"

ujarnya Lagi.

Harusnya aku senang mendengarnya, bukankah ini yang kuharapkan sejak dulu, tapi mengapa sebagian dari hatiku tidak yakin.

Oh, aku tahu, ini pasti akal-akalan Ibra, dia pasti mengerjaiku, sudah kebaca triknya, paling sebentar lagi juga Ibra tertawa dan meledekku, "lu lagi sakit kayaknya, yuk sini gua isepin lagi, biar sembuh" ujarku terkekeh dan kembali berlutut.

Heran, lagi enak-enak malah di stop, bikin kentang saja, apa Ibra tidak tahu jika aku juga sudah merindukan batangnya, batang kejantanan satu- satunya saat ini yang kupertahankan untuk menggenjotku, sampai-sampai aku menghapus semua aplikasi gay dating, Menolak ajakan orang-orang yang dulu sempat have fun bersamaku, karena aku hanya mau penis Ibra saja, penis Ibra yes, penis lain no.

"Riel, tolong, aku lagi serius" Ibra kembali mengangkat tubuhku agar sejajar dengannya, tangisnya sudah reda, senyumnya sangat tulus kepadaku.

Pandangan mata Ibra menelusuk ke dalam kedua bola mataku, tepat menembakkan panah tatapannya hingga menyentuh sanubariku, tatapan apaan ini, kenapa lutuku lemas, awas saja kalau aku pingsan Ibra tidak mengangkatku. Ibra sialan, kenapa ketampanannya meningkat seribu kali lipat seperti itu.

"Aku nggak becanda, aku cinta sama kamu, aku nggak perduli dengan TTM ini, aku mau kamu jadi pacarku, Riel"

Oh God, qku yakin telingaku belum tuli, kata-kata Ibra begitu jelas, ia benar-, benar menyatakan cinta padaku, itu membuatku merinding, dan semakin sange, pasti wajahku sudah memerah seperti pantat babi pink saat ini. Aku ditembak, biasanya penisnya menembak pantatku, tapi kali ini mulutnya yang menembakku, menembak dengan kata-kata manis yang mengucur dari bibirnya, bibir yang selama ini membuatku menggelinjang saat bermain main di pentilku.

Wajahku tertunduk, aku bingung harus menjawab apa, aku masih belum yakin hati Ibra berubah secepat itu, "Aku, aku butuh waktu untuk percaya kata-kata kamu barusan, Ibra."

"Aku tahu, aku tahu kamu nggak percaya tapi nggak apa-apa, kamu nggak harus jawab sekarang, aku akan tunggu sampai kamu siap kasih jawaban" Ibra merengkuh pipiku, "tapi aku mohon, ijinin aku ngebuktiin, kalo perasaanku serius, perasaanku bukan hanya bercanda."

Aku tersenyum lalu mengangguk.

"Huuuuh" Ibra menghembuskan nafasnya kencang, berusaha menghilangkan bulir air mata yang menetes di pipinya, "kenapa jadi mellow ya, mana tempatnya nggak banget lagi" ujar Ibra mengedarkan pandangan keseluruh sudut bilik toilet, iya juga, masa ngungkapin cinta di toilet, apa dia tidak bisa mencari tempat lebih romantis lagi dibanding ini.

"Balik ke ruangan yuk" ajaknya mengenggam tanganku.

Eh, yang benar saja, tidak akan kubiarkan semudah itu, aku sudah dibuat kentang, dia pikir pantatku tidak merindukan batang penisnya, jelas saja aku rindu. Wasir yang kemarin menyiksaku sudah terhempas, aku tidak bisa membiarkan pantatku berdenyut seperti ini.

"Kamu udah nggak bisa ngaceng?" tanyaku sedikit mengejek.

"Kamu sange?" ia malah balik bertanya.

"Ya menurut kamu, kamu udah kasih setengah jalan, terus seenaknya nyudahin dan ngajak balik ke ruangan" ujarku tak terima.

Ibrahim bodoh, aku juga ingin dituntaskan, kalau nanggung seperti ini yang ada kepala bisa pusing seharian, sudah menganggu aktifitas colai, lalu memberiku kekentangan, kurang ajar sekali.

"Kamu maunya apa?" tanyanya lagi.

Aku geregetan, ingin rasanya kujambak pria Arab ini, "ya dient ... ah bodo, nyebelin" kupukul lengannya kencang.

Ibra menarik tubuhku hingga masuk kedalam pelukannya, "calon pacar ternyata sangean juga, ya udah mas Ibra entot ya, beneran mau?"

Pertanyaan macam apa itu, jelas saja aku mau, mana mampu aku menolak. Saat sedang tidak sange saja aku bisa dibuat sange olehnya, apalagi saat benar-benar sange seperti ini. Lagi-lagi kepalaku dengan tidak tau malu mengangguk di dalam pelukannya. Ibra menarik daguku, ia mendaratkan kembali kecupan bibirnya, tapi lumatan ini terlalu lembut untuk status Teman Tapi Mengentot, ini lebih ke ciuman seorang kekasih, kenapa getaran aneh ini kembali hadir, lumatan bibir Ibra tidak seliar biasanya, tapi ini jauh lebih nikmat, dan aku jauh lebih menyukainya.

Ibra menghentikan lumatan bibirnya, dan rasanya seperti kehampaan menghampiriku, tapi apa boleh buat, Ibra menginginkan leherku, ia menjilati leher hingga ke tengkukku, aku melingkarkan tangan menyentuh belikatnya, mengusap jas warna hitam yang ia pakai, ia tampak sexy dengan pakaian formal kantor seperti ini.

"Aww ..." aku memekik saat Ibra menghisap bagian bawah leherku, ah sialan, ia malah memberiku tanda, hal yang tidak pernah dilakukannya selama ini, akupun melepaskan pelukanku.

"Kenapa?" tanya Ibra menghentikan aksinya dengan wajah polos yang terlihat bodoh.

Aku mencubit perutnya dengan kesal, "pake nanya kenapa? kenapa ninggalin jejak, kan udah ada perjanjian waktu itu, jangan ninggalin jejak apapun selain sperma."

Ibra membelai rambutku "abisnya gemesin" jawabnya singkat, "ya udah, ini gantian, nih" Ibra menyodorkan lehernya membuatku tersenyum lebar.

Dengan senang hati kucium lehernya dan kuberi hisapan kuat, Ibra mendesah, bahkan ia menekan kepalaku, rasanya aku ingin mengigit leher lalu menghisap darah Ibra, kuhentikan hisapanku yang meninggalkan ruam hitam di lehernya.

"Masih kurang?" tanyanya, aku menggeleng.

"Ya udah, gimana kalo langsung ke intinya, dedek Gabriel mau digaruk titit mas Ibra kan?" bisiknya mesum di telingaku, lidahnya menjulur menggelitik di daun telingaku.

Lagi-lagi aku mengangguk, benar benar murahan, dasar penggila titit Ibra. Tangan Ibra melepas ikat pinggangku, disusul kancing celanaku serta resletingku, dan dengan sekali tarikan tangannya, ia mempelorotkan celanaku hingga sebatas tiang lututku.

Ibra menukar posisinya yang sejak tadi membelakangi pintu toilet, ia duduk di closet dengan penisnya yang sudah keluar dari balik resleting tanpa melepas pakaiannya, penis besar dan panjang itu mencuat, helmnya yang seperti jamur Mario Bros dan batangnya berdenyut-denyut, Ibra menggenggam jemariku, menuntunku untuk duduk di pangkuannya.

"Minta ludah kamu" ujarnya setengah berbisik.

"Kan bisa pake ludah kamu" jawabku yang mengerti maksudnya.

"Enakan ludah kamu, ya udah, nggak jadi dimasukin nih" ancamnya.

Ah sialan ... mana bisa begitu, ini lobang pantatku sudah bersiul-siul pada penis Ibra, apa dia tidak menyadari jika lubang pantatku sudah memanggil-manggil penisnya, seolah berkata "hei kontol Ibra, sini masuk."

Ya sudahlah, aku menurut saja saat Ibra menadahkan tangan kanannya di depan mulutku, aku yang memang sudah tercekat dibuatnya, dengan mudah memberikan liurku yang cukup untuk membasahi penisnya.

Tangannya kembali ke belakangku, membasahi kemaluannya dengan air liur yang kuberikan tadi, sedikit kurasakan, jarinya juga mengusap pintu lobangku, aahh ... jari-jari besar itu menelusup, masuk ke dalam lobang pantatku, aku menggelinjang, tubuhku sedikit terangkat keatas.

"Baru juga jari" cibirnya.

"Jari tangan kamu yang kegedean, ini mah jari kakinya aku" gerutuku dengan manja diakhiri desahan.

"Aku masukin ya" ucap Ibra.

"Cepetan, ngapain pake ijin" jawabku sudah tidak tahan.

Aku merasakan kepala penisnya sudah masuk ke lubang pantatku, perlahan sesenti demi sesenti masuk, menelan batangnya dan amblas seluruhnya di dalam liang senggamaku.

"Aahhhh" desahku menarik kerah jasnya dan menciumi bibir Ibra yang tak pernah membuatku bosan.

Ibra menggerakkan pinggulnya naik turun, penisnya terhujam, keluar masuk menyeruak, menggesek dinding lubang pantatku, tangannya memegang kedua bongkahan pantatku, sesekali memberikan remasan. Oh God, ini benar-benar kenikmatan duniawi yang tidak ingin aku lewatkan, terserah apa kata orang, aku menyukai ini, terkhususnya penis Ibra, bukan asal penis yang bisa masuk, aku hanya ingin penis Ibra saja.

"Ahhh ... Ib ... brahim" desahku melepas pagutan bibirnya ditengah aktifitas penis Ibra yang terus merojok ke dalam lobang senggamaku.

"Ouhh yahhh, call my name sweety, call my name, aaahhh" erang Ibrahim lalu kembali memagut bibirku.

Tanganku bergerak merengkuh rahang Ibrahim yang ditumbuhi bulu-bulu hitam, membelainya, hingga tanganku menjalar ke rambutnya, lalu kuberikan jambakan dengan lembut. Ohh Ibra ... aku ingin terus diperlakukan seperti ini olehnya, semoga apa yang menjadi janjinya benar-benar sebuah janji yang serius, bukan rasa sementara yang kemudian hangus, aku sudah mempunyai jawaban atas pertanyaanya, tapi aku menginginkan bukti kesungguhan Ibra terlebih dahulu.

Aku membantu gerakan selangkangan Ibra yang menghentakkan penisnya di dalam lubangku, kugoyangkan pinggulku, berputar-putar seperti gasing, memilin penis Ibra yang menancap di lubangku.

"Empphhhh ... Emppphhh" Ibra mendesah tertahan karena tersumpal bibirku, aku melepas pagutan agar sedikit memberinya nafas.

"Ohhh shiit ... dapet dari mana kamu gaya begini, aahh ... Gabriel" desahnya sedikit berbisik.

"Kamu suka?" tanyaku dengan senyum menggoda.

"ahh ... ahh ... nggak cuma suka, tapi aku gila, I am crazy over you, Riel"

"Crazy over me or my ass?" tanyaku

"Everything, everything about you" balas Ibra membuatku tersipu.

Aku yang mendengar jawabannya semakin bersemangat memacu penis Ibra, dengan sungguh-sungguh, aku menghentakkan pantatku naik turun, seirama dengan tubuhku yang seperti berjungkat-jungkit di atas selangkangan Ibra. Penis Ibra semakin terbenam di pantatku hingga kepangkalnya, menyentuh rahim--, ah tidak maksudku rektumku, terlalu jauh mimpiku ingin mempunyai anak hasil benih yang disemaikan Ibra, mana mungkin, itu tidak mungkin terjadi.

Penis Ibra terus menggesek lubang senggamaku semakin kencang, Ibra mengendorkan dasiku, membuka kancing bajuku agar mengurangi kegerahan yang kurasakan, bulir-bulir keringat membasahi wajah dan juga dadaku, sebaliknya Ibra, bajunya basah oleh keringatnya sendiri. Aku melingkarkan tangan di lehernya, terus naik turun, menghentak penis Ibra, oh god, aku ingin laki-laki ini selamanya.

"Ohhh Ibra, kamu--sialan ... kamu--kuat banget" racauku, entah itu kata yang mengutuk atau memuji.

"I am yours, Riel. Forever, will be yours" balas Ibra

"Ahh ... Ibra, aku--aku--aku ti--dak sanggup la--gi" ujarku terbata bata.

"Kamu mau keluar Gabrielku sayang?" tanya Ibra dengan penuh kelembutan.

Aku mengangguk.

"Wait a minute, tahan sebentar, kita barengan" tambahnya.

Aku mengangguk lagi.

Penisku sama sekali tak disentuh Ibra tapi sodokan penisnya yang menggesek prostatku membuat penisku berdenyut dan ingin memuntahkan spermaku.

"I wanna cum Ibra, I--wanna-- uchhhhhhhh ... aaachhhhhhh" lenguhku melolong, sial spermaku muncrat di baju Ibra, sebagian mengenai wajah arabnya.

"Me too Riel, Ahhhh ..." Ibra menyusul lolonganku, ia menahan bokongku untuk tidak lagi naik turun, tertancap di penisnya, seperti paku yang menancap di dinding.

"Ahh ..." erang Ibra lagi untuk terakhir kalinya.

Ibra mengusap wajahnya yang terkena cairan kenikmatanku dengan jari telunjuk dan jari tengahnya, dengan acuh ia menghisap jari tengahnya. What the fuck, aku benar-benar tidak salah lihat, ia menjilat cairanku, aku menahan jarinya saat ia ingin menjilat jari telunjuknya, aku melumat jarinya di dalam mulutku, ia tersenyum lalu merapatkan bibirnya kembali menciumku untuk mengakhiri kegiatan sex kami.

"Makasih, sayang" bisiknya di telingaku, aku membalasnya dengan senyuman.

Aku beranjak melepas penisnya yang masih menegang di dalam lubangku, tapi tangannya menahan pahaku.

"Stop it, Ibra!!" ujarku memarahi.

"Gimana kalo rounde ke 2?" tanyanya dengan wajah mesum.

"Kamu gila? kita harus balik ke ruangan sebelum Mba Mel dateng" aku kembali memarahinya.

Aku melirik jam tanganku yang sudah menunjukkan pukul 10 tepat, dasar gila, aku dan Ibra sudah 2 jam meninggalkan ruangan, pasti para bawahan kami mencari, sedangkan bossnya enak-enakkan zinah di toilet. Aku merapikan pakaianku, begitu juga dengan Ibra, kami mengendap keluar dari bilik toilet menuju wastafel yang memiliki cermin besar yang menampilkan seluruh tubuh kami.

"Aku bau pejuh nih" ujar Ibra sambil mencuci tangannya, lalu mengeringkan dengan tissue, ia juga menggunakan tissue untuk mengelap keringat di wajahnya.

Kukeluarkan minyak wangi di botol kecil yang sering kubawa dalam saku celanaku, kusemprotkan ke tubuh Ibra, lalu kuendus-endus, bau spermaku sudah samar, kurapikan dasinya yang miring, Ibra tersenyum dengan manis.

"I am so happy today" ujarnya kembali mengecup pipiku. "Aku udah rapi belum?" tanyanya lagi

Aku mengangguk, "udah" jawabku singkat, "terus aku gimana?" tanyaku balik.

"As usual, rapi dan menggemaskan" jawabnya mencolek hidungku.

Kami berjalan beriringan menuju ruangan, koridor kantor tampak sepi, semua orang sibuk dengan pekerjaanya.

"Mas Baim, Koh Gabriel, ya ampuun dicari-cariin, kemana aja sih?" teriak Lusi dan Lita berlari menghampiri kami dari arah pintu masuk ke Divisi Marketing.

"Ah--ehh--itu" aku tergagap melirik Ibra yang nampak santai dan stay cool.

"Abis sarapan dulu di kantin" potong Ibra, ah syukurlah, ternyata pria di sampingku tidak sebodoh yang kukira, dia tampak santai menghadapinya, sedangkan aku kelabakan.

"Koko, itu vendor PT COntractor LInear komplen, Mister Noah nelpon marah marah tadi, Lita bingung, bantuin ya Ko, Mister Noah minta ditelepon balik " ucap Lita dengan raut wajah panik, ada apalagi Bule sialan itu, setiap nelpon selalu saja marah.

"Iya nanti koko telepon" jawabku singkat.

"Mas Baim, nanti jam 12 ada meeting sama PT ISolusion EPisentral, tadi mba Rasty udah nelpon, ngingetin jangan ampe lupa" Lusi ikut berbicara.

"Haduh, males banget" keluh Ibra.

"Ketemu supplier yang managernya pacar sendiri kok males, ada ada aja mas baim" timpal Lita.

Aku tertunduk, dadaku sesak, rasanya tak terima dengan meeting Ibra hari ini, vendor yang disebutkan Lusi memang perusahaan dimana Rasty bekerja. Rasty teman kuliahku, qku mengenalnya dekat, namun pertemuannya dengan Ibra bukan karena aku, pertemuan itu memang sudah takdir, perusahaanku menang tender untuk bekerjasama dengan perusahaan tempat Rasty bekerja, dan Ibrahimlah yang mempresentasikan produk kami saat itu, perusahaan Rasty tertarik bekerja sama karena bantuan Rasty juga. Rasty membantu bukan karena aku sebagai temannya, ia dengan jujur mengatakan padaku jika ia menyukai Ibra, sejak saat itu mereka semakin dekat dan hingga akhirnya berpacaran.

Ah iya ... bicara soal pacaran, kenapa Ibra mengungkapkan isi hatinya padaku, sedangkan ia masih memiliki hubungan dengan Rasty, aku semakin yakin, bahwa Ibra hanya main-main, bodohnya aku yang terlalu baperan.

"Hei, kok bengong, ayo balik ke ruangan."

Sentuhan tangan Ibra saat menepuk bahuku membuatku tersadar dari lamunanku, aku berusaha tersenyum menutupi pertanyaan yang masih mengganjal di hatiku. Kami kembali melangkah menuju ruangan, diekori oleh Lita dan Lusi di belakang kami.

Bersambung

_________________________________________

Gabriel : Ibra, part kita masih dibikin ternyata.

Ibra : percuma, gak ada yang suka.

Gabriel : biarin yang penting masih ada.

_________________________________________

Special Part :

"Eh lus, lu liat kan tadi di leher Mas Baim sama Ko Briel?" tanya Lita berbisik di belakang bossnya yang berjalan mendahului mereka.

"Iya liat dong, lu perhatiin juga gak baju Mas Baim masih basah keringetan, terus kerah jasnya lecek gitu" ujar Lusi ikut berbisik.

"Iya gua liat" jawab Lita.

"Jadi mereka berdua, beneran ...." mereka berpandangan lalu tersenyum lebar hingga mata keduanya menyipit.

"Yaa ampuun ... oemji, senengnya ...."

"Ih ... bener kan tebakan gua, pasti mereka ada sesuatu, aduh ... senengnya, couple favorite gua akhirnya----" bisik Lusi menahan kebahagiaannya.

"Apaan, lu dulu nggak percaya pas gua bilang mereka itu couple yang sering jadi imajinasi gua juga, aaaa ... gua juga seneng banget lus" Lita mengungkapkan kegirangannya tak mau kalah. "Kira-kira siapa yang uke, siapa yang seme ya, Lus?" tanya Lita

"Ya ampun Lita, pake nanya, udah keliatan kali ukenya Koko Briel, semenya Mas Baim" jawab Lusi yakin.

"Kan belum tentu juga, Lusi" ujar Lita.

"Udah, itu mah urusan mereka berdua aja, yang penting khayalan kita jadi kenyataan Lita, aaak ... gua seneng banget" pekik Lusin

"Gua jugaa lusi aaak ...." Lita ikut memekik.

"Yeaahahaaa" keduanya melompat berpegangan sambil berputar.

"Kalian berdua ngapain? asyik sendiri di belakang, buruan masuk, kerja!" omel Ibra yang sudah tiba untuk membuka gagang pintu ruangan.

Chapitre suivant