Hari yang dinantikan Fayez namun hari yang sangat mengenaskan bagi Dania telah tiba. Jika Fayez sangat bersemangat untuk segera sampai di sekolah, lain halnya dengan gadis cantik berambut pendek yang kini masih memandangi wajahnya di cermin meja rias miliknya.
Ia masih enggan untuk berangkat sekolah. Bahkan sarapan pagi pun belum ia lakukan.
"Sayang, kenapa kamu belum siap-siap?."
Dania tak menoleh ke arah Mawar yang sudah memasuki kamarnya.
"Dania, kamu kenapa?."
Gadis itu memeluk tubuh sang ibu. Mencari kenyamanan yang dapat membuat hatinya jauh lebih tenang.
"Ada masalah apa? Cerita sama Mama." Mawar menggiring puteri cantiknya untuk duduk di atas kasur. Ia membelai rambut Dania yang sangat halus.
"Dania gak mau sekolah, Ma," ujar Dania dengan suara lemas.
"Lho, kenapa? Kamu sakit.?" Dania menyingkirkan telapak tangan Mawar yang meraba keningnya dengan lembut.
"Nggak. Dania cuma males aja," jawabnya.
"Tumben banget anak Mama males? Biasanya paling semangat kalo sekolah." Mawar kembali memeluk tubuh Dania dari samping.
"Gak tau, Ma. Dania males banget pokoknya."
"Eh, gak boleh gitu, dong. Kalau ayah tau, dia bisa sedih karena kamu nggak mau sekolah. Inget ya, ayah itu capek nyari uang buat sekolah kamu."
Apa yang dikatakan Mawar nampaknya sangat berpengaruh bagi Dania. Gadis itu mulai beranjak dan menghela napas ringan.
"Kalau gitu, Dania berangkat dulu, Ma."
"Sarapan dulu, dong!."
"Di bekel aja deh, Ma. Kayaknya nggak keburu."
***
Gadis cantik bernama Dania itu turun dari mobil. Ia menatap bangunan tinggi yang berada di depannya tanpa memiliki semangat lagi.
"Hari ini gue udah harus nurutin semua perintah Fayez. Apa gue sanggup, ya?," gumamnya yang masih berdiri di depan gerbang sekolah.
Dania mendengus. Kakinya mulai melangkah masuk, meski jantungnya berdetak dengan sangat tidak normal. Dania terlalu takut, takut ia jika diperlakukan tidak baik oleh Fayez.
Dan masalah lainnya, Dania belum membiasakan diri berada di dekat Fayez atau bertukar obrolan dengan lelaki itu.
"Stop!."
Langkahnya terhenti. Ia menoleh ke arah kiri dan terkejut karena melihat Fayez yang sudah berdiri sebari menyandarkan punggungnya di tembok sekolah.
"Jangan coba-coba lari dari gue."
Dania mendengus dan kembali mengalihkan wajahnya ke depan. "Siapa juga yang mau lari dari lo," ucapnya datar, mengikuti sikap Fayez ketika berbicara dengannya.
"Baguslah. Nih, bawain tas gue."
Tubuh Dania tersentak, tatkala Fayez melempar tas ransel miliknya yang sangat berat.
"Nih cowok bawa apa aja, sih? Apa jangan-jangan dia bawa batu? Berat banget tas nya."
Dengat sangat terpaksa sekaligus tersiksa, Dania mengikuti langkah kaki Fayez yang berada di depannya.
"Eh, Dania," sapa Agus dan teman-teman Fayez yang lain.
"Pagi-pagi kok udah keringetan, Neng? Mau gue lapin?."
Dania menghindar dari tangan Sahroni yang siap menyeka keringat di wajahnya.
"Gak usah. Gue bisa sendiri," ujar Dania.
"Haha.. Kasian ditolak," ejek Samudera.
"Udah sampe, kan? Nih tas lo! Berat banget, kebanyakan dosa kayaknya."
Fayez hanya mengangkat sebelah alisnya tanpa menerima uluran tangan Dania yang hendak menyerahkan tas miliknya.
"Ini! Kenapa malah diem?," tanya Dania.
"Lo lupa? Kita belum sampe kelas. Lo harus taro tas itu di kelas gue."
Astaga! Dania memejamkan kedua matanya dan berkali-kali mengucap sabar dalam hatinya.
"Kalau gitu, kita ke kelas lo sekarang. Gue pegel." Dania mengeluh dengan keringat yang bercucuran di wajahnya.
"Siapa elo? Berani ngatur-ngatur gue?," ucap Fayez dengan nada menyebalkan.
"Dania, mending lo jadi pelayan gue. Gue jamin, lo nggak akan kesusahan kayak gini. Gue akan memperlakukan lo dengan baik, bak seorang puteri." Dania mengabaikan gombalan Agus yang menurutnya sangat menjijikan.
"Bohong, Dan. Mending juga lo jadi asisten gue. Lo pasti betah dan nyaman sama gue. Gak akan gue suruh-suruh lo bawa barang berat kayak gini," sambung Sahroni sebari menunjuk tas Fayez yang sangat besar dan berat.
"Fayez, cepetan. Tangan gue sakit!." Dania sudah tak tahan lagi. Hampir saja ia menjatuhkan tas milik Fayez ke atas lantai, namun dengan sigap Fayez menangkap dan menahan benda tersebut.
Hingga keduanya saling menatap satu sama lain. Kedua mata mereka bertemu dan dunia mereka seakan terhenti.
"Tuhan, kalau ini mimpi, gue nggak mau bangun dulu."
"Tuhan, Dania cantik banget."
Bibir mereka bungkam, namun hati dan batin mereka saling bersahutan.
"Ekhem!."
"Aduh.. Kaki gue." Suara dehaman seseorang menyadarkan Dania dan Fayez. Sehingga Fayez dengan refleks melepas pertahannya pada ransel tersebut yang akhirnya jatuh mengenai kaki Dania.
"Kenapa lo lepasin ranselnya, sih? Udah tau tas lo berat kayak tas gunung. Malah di lepasin." Dania mengomel dengan suara cempreng yang memekakan telinga Fayez dan teman-temannya.
"Berisik tau, nggak!," hardik Fayez. "Kita ke kelas," lanjutnya.
Dania akhirnya bisa bernapas lega. Karena penderitaannya pagi ini akan segera berakhir. Tapi ada sesuatu yang mengganjal, akibat tertimpa tas milik Fayez, kini kaki Dania tidak dapat berjalan dengan sempurna, melainkan harus tertatih-tatih.
"Aw..." Dania mengaduh. Membuat Agus dan Sahroni membalikan tubuhnya.
"Dania, lo baik-baik aja?," tanya Agus yang memegang tangan Dania dengan sigap.
"Gapapa. Gue bisa kok." Gadis itu berusaha untuk melanjutkan langkahnya. Namun sayang, sepertinya ada luka di kakinya.
"Fayez, gue gak kuat."
Fayez menghela napas kasar. Tanpa berkata apa pun ia mengangkat tubuh Dania ke dalam gendongannya.
"Lo bawa tas gue," perintah Fayez pada Agus.
Dania menatap wajah Fayez dari bawah. Karena laki-laki menggendongnya dengan gaya bridal style. Perlahan bibirnya tersenyum, karena mimpinya untuk berada di pelukan Fayez kini terkabul.
"Jangan ngeliatin gue. Nanti lo naksir."
Sial! Dania kembali menunduk malu karena tertangkap basah oleh lelaki menyebalkan itu.
"Dania, lo kenapa?."
Belum sempat Dania menjawab pertanyaan Shania, Fayez sudah lebih dulu berbelok ke dalam ruang uks.
"Aw.. Lo bisa pelan gak, sih?." Fayez hanya diam setelah meletakkan Dania di atas ranjang uks dengan sedikit kasar.
Ia mencari kotak obat yang seharusnya selalu ada di dalam ruang uks.
"Ini petugas uks nya mana, sih? Masa gak ada kotak obat di sini," gumam Fayez namun masih bisa di dengar oleh Dania.
"Kalo nyari itu yang bener. Tuh, kotak obat ada di sana."
Fayez menoleh pada tempat yang ditunjuk Dania. Memang benar, kotak obat berukuran besar itu terletak di atas meja uks.
"Berisik. Sini gue obatin."
"Eh, mau ngapain lo?." Dania menahan tangan Fayez yang tiba-tiba menyentuh kakinya.
Fayez berdecak kesal. "Gue mau buka sepatu lo. Kaki lo luka, kan?."
Dania mengangguk dengan polosnya dan membiarkan Fayez membuka sepatu serta kaus kaki miliknya.
"Mimpi apa gue semalem, ya? Di obatin sama Fayez di sini."