Hanya melihat Asheel yang sedang menatapnya dengan tatapan simpati membuat perasaan Zora menjadi lebih rumit.
Bagaimanapun, dia baru saja menikamnya, tapi sekarang bocah itu telah mengasihani dirinya?
Sekali lagi dia mengalami perasaan malu dalam hidupnya. Itu tidak sesuai dengan prinsipnya sama sekali.
"Jadi, apakah kebencianmu padaku yang telah kau nyatakan sebelumnya itu palsu?"
Suara lemah Asheel terdengar sekali lagi, yang membuat Zora menoleh dengan gugup ke arahnya dan melihatnya sedang menatap langit dengan damai.
Dia terdiam setelah mendengar pertanyaannya. Faktanya, dia telah menganggap jika kenyataan lain yang telah dia alami sebelumnya itu palsu, itu adalah saat dia melihat Asheel merendahkan kakak perempuannya dan membuat dirinya jatuh ke dalam keputusasaan yang dalam. Dia benar-benar menganggapnya jika itu semua hanya ilusi dan tidak nyata setelah dia berinteraksi beberapa kali dengan Asheel.
"L-Lalu, bisakah kamu juga membenciku?"
Pada akhirnya, dia hanya bisa menjawabnya dengan pertanyaan lain.
"Bukankah sudah kubilang jika aku tidak bisa membencimu. Kamu adalah imitasi Sera, walaupun kamu hanya sosok idealnya yang secara tidak sengaja terwujud dari pikiran asliku, tapi kamu tetap bagian dari dirinya. Berbeda dengan kakak perempuanmu, jika dia, aku masih bisa menindasnya."
"Kamu benar-benar yang terburuk..!"
Tidak seperti yang diharapkan saat Asheel berbicara seenaknya tentang kakak perempuannya, Zora malah tersenyum di bawah langit sore ini. Namun wajahnya tertutup bayangan awan yang lewat, membuatnya tidak bisa dilihat dengan jelas.
Namun, Asheel yang bahkan tidak menoleh pun tahu jika Zora merasa lega. Dia juga memiliki perasaan rumit pada dirinya sendiri.
"Jadi, kamu tidak mati?"
Mungkin untuk kedua kalinya sejak pertemuan pertama mereka, Zora menatap Asheel dengan penuh kasih.
"Hmph, pedang berkarat itu bahkan tidak akan mampu melukai kulitku! Aku hanya main-main denganmu sebelumnya!"
Asheel bangkit dan segera melepas yukata hitamnya yang penuh darah. Bisa dilihat jika di tubuh anak-anak Asheel yang sedikit bertotot itu, tidak ada bekas luka tusukan di dadanya.
Asheel sebelumnya hanya meletupkan energi kekacauan yang mengalir dalam darahnya tepat saat pedang Zora akan menusuknya, sama seperti itu saat memperindah efek berdarah saat dia menggenggam bilah pedang Zora sebelumnya.
"Kau benar-benar membuatku takut..." Zora bergumam dengan lega setelah melihat Asheel baik-baik saja.
Dia lalu bisa melihat Asheel melambaikan tangannya dan sebuah wadah berbentuk cup muncul di tangannya. Asheel kemudian membuka cup itu dan menarik kertasnya hingga akan lepas.
Asheel menjentikkan jarinya dan entah dari mana, sebuah air mendidih muncul dan mengisi sebagian cup ditangannya itu.
Setelah beberapa detik menonton, Zora merasakan hidungnya gatal hanya dengan mencium aroma lezat yang berasal dari cup di tangan Asheel.
"Apa itu?" dia tidak bisa menahan dirinya untuk bertanya.
"Ramen instan," jawab Asheel sederhana sebelum mematahkan sumpitnya dan memakannya. Setelah makan seteguk, dia melanjutkan: "Aku hanya memiliki kesempatan memakan ramen satu minggu sekali oleh Sera, jadi ini kesempatan terbaik untuk memakannya."
Zora yang tidak tahu betapa Asheel sangat menghargai ramen, hanya bisa tertawa canggung.
Melihat Asheel begitu menikmati makanannya, dia bertanya dengan gugup: "A-Asheel, b-bisakah aku meminta satu...?"
Asheel yang telah tenggelam pada rasa gurih makanannya, lalu meliriknya dan segera memeluk cup ramen seolah-olah berusaha melindunginya.
"J-Jadi, tidak boleh, ya...?" Zora menggaruk kepalanya dengan canggung.
Asheel mengelus dagunya saat sedang berpikir, dan akhirnya mendapatkan ide cemerlang.
Tangannya yang memegang cup ramen lalu mengulur ke arah Zora.
"Untukmu," kata Asheel sederhana.
Zora yang mengawasi tindakannya dengan gugup lalu tertegun sejenak sebelum kembali sadar. "Eh? Seriusan?"
"Diam dan terima saja, wanita makanan sisa." Asheel menjawab dengan kesal dan mendorong ramen yang hanya tinggal setengah itu ke depan.
"W-Wanita makanan sisa? Itu aku?" Zora dengan linglung menunjuk dirinya sendiri.
"Siapa lagi? Oshiro-sama?" kata Asheel dengan mengejek.
"Lalu..." Zora tanpa daya menerimanya dengan hati-hati, tapi pikirannya berkeliaran ke mana-mana. 'Ini adalah bekasnya, apa yang harus kulakukan? Apakah akan menyimpannya? Tapi ini makanan, jadi itu akan sia-sia. Jika aku memakannya, bisakah air liur kita menjadi satu di dalam tubuhku? Eh, sejak kapan aku mendambakan pikiran seperti itu? Tenanglah Zora, ini hanya pemberian dari seorang bocah nakal, tidak ada yang istimewa. Ahh, pikiranku menjadi gila! Tapi, sebenarnya, aku sudah lama menginginkan ini. Tehe~'
Setelah semua pikiran itu berkeliaran di benaknya, dia menelan ludahnya saat melihat cahaya mempesona yang datang dari ramen. Dia dengan harapan di hatinya lalu mengambil sumpit dan menjepit segumpal mie, sebelum mendekatkannya ke mulutnya.
Butuh beberapa detik untuk menghilangkan keraguannya dan membuka mulut cerinya, yang kemudian menyeruput mie-nya dengan perasaan takjub.
"Mmmm, enak~!"
Asheel meliriknya sambil tersenyum dan merasa bangga pada dirinya sendiri. Dia sendiri telah mengambil ramen cup lain dan memakannya dari awal. Dengan begitu, dia akan mendapat setengah lebih banyak dalam porsi ramen minggu ini, yang benar-benar membuatnya bahagia.
Mereka berdua duduk bersila dan bersebelahan, memakan ramen bersama-sama hingga dunia membentuk horizon. Setelah itu, langit tertutup tirai malam dan menjadi gelap.
Bersendawa dengan puas, Asheel menepuk perutnya dengan perasaan senang. "Nikmatnya hidup~, setelah tubuhku mengecil, porsi mingguan ramenku benar-benar menurun drastis. Seperti yang diharapkan dari ramen, mampu membuat suasana hatiku bahagia~"
Zora juga tersenyum puas setelah mendengar gumaman rendah Asheel. Harus diakui, walaupun ini pertama kalinya dia makan sesuatu yang berminyak seperti ramen, tapi itu benar-benar enak dan dia sangat menyukainya.
Lalu, dia menjadi teringat kembali bagaimana hubungan canggungnya dengan Asheel saat ini. Setelah kejadian yang baru saja terjadi, dari lubuk hatinya yang paling dalam, dia ingin menjadi lebih akrab dan dekat dengan Asheel. Itu adalah nalurinya sebagai imitasi Sera.
"Asheel..." dia memanggil namun bocah itu tidak menanggapinya. Tapi dia masih melanjutkan, "Aku harus berkata jujur padamu, aku yang sekarang ... benar-benar tidak bisa membencimu."
Pembicaraan ini hanya membuatnya teringat saat pertemuan pribadi keduanya dengan Asheel. Saat itu, dia sendiri menyatakan jika dia membencinya, dan karena itu Asheel akan melakukan apapun yang dia bisa untuk membuatnya lebih membencinya. Saat ini, dia rela menerima apapun atas keputusan Asheel selanjutnya.
Tapi tidak seperti yang diharapkan, Asheel menjawab dengan acuh tak acuh:
"Oh, begitu."
Jawabannya membuatnya terkejut untuk sesaat, tapi Zora segera menggelengkan kepalanya dan mengembalikan senyum di wajahnya.
"Apakah itu karena aku?" Senyumnya berubah menjadi nakal. "Kamu tidak bisa menolakku, kan? Kamu telah mengakuiku, kan?"
Asheel meliriknya seolah-olah sedang menatap seorang pengganggu, tapi dia tetap mendengarkan.
"Kalau begitu, Asheel. Aku meminta maaf padamu atas semua perbuatanku sebelummya." Zora mengatakannya sambil menunduk dengan anggun.
Tatapan Asheel sedikit goyah sebelum dia memalingkan mukanya dengan cemberut. Setelah beberapa saat, dia bergumam: "Kamu sangat curang, meminta maaf dengan wajah tulus Sera seperti itu. Bagaimana aku berani menolaknya...?"
Artinya jelas, walaupun Asheel malu tapi dia tetap memaafkannya. Tidak, Asheel sejak awal tidak pernah menyalahkannya.
"Terima kasih."
Setelah menunduk dalam rasa syukur selama beberapa saat, dia mengangkat kepalanya dan menatap Asheel dengan tersenyum.
"Lalu, bolehkah aku memelukmu?"
"Eh?"
"Melihat Sera-san begitu menyayangimu membuatku ingin melakukan hal yang sama."
"...."
...
Ini adalah malam setelah latihan harian Zora, dia pulang ke rumah dengan suasana hati yang bahagia. Kemudian, seperti biasa dia akan mencari Sera dan mengikuti instruksi mengenai apa yang akan dilakukannya selanjutnya.
Tapi setelah mencari di seluruh rumah, dia tidak menemukannya di manapun. Karena dia baru saja latihan dan sangat berkeringat, dia memutuskan untuk mandi.
Seharusnya kamar mandi di rumahnya cukup kecil, tapi setelah kedatangan kelompok Asheel yang menginap di rumahnya, kamar mandinya menjadi berkali-kali lebih besar.
Bahkan terdapat bak lebar yang digunakan untuk merendam diri di air panas. Dengan interiornya yang terbuat dari batu, itu akan menambah suasana yang pas dengan tempat ini.
Setelah menanggalkan pakaiannya dan menutup tubuhnya dengan handuk, dia membuka pintu. Yang mengejutkan, dia melihat Sera sedang berendam di sana.
'Apakah ini kesempatanku?' Dia berpikir sendiri. Sebenarnya, masih ada banyak hal yang dia ingin tanyakan padanya.
"Aku sudah menunggumu," Sera meliriknya dan tersenyum kecil.
Zora tertegun sejenak, "Eh, kamu menungguku selama ini?"
Dia buru-buru membersihkan dirinya sebelum menyelupkan dirinya ke air panas di bak yang sama dengan Sera.
"Sepertinya kamu sudah baikan dengan Asheel?"
Zora melihat Sera yang masih menampilkan senyumnya, tapi dia sendiri telah kehilangan senyumnya pada pertanyaan itu.
"Y-Ya...."
Dia bertanya-tanya apakah Sera tidak menyukainya jika dia terlalu dekat dengan Asheel.
Seolah tahu apa yang ada di pikirannya, Sera berkata: "Tenang saja, aku tidak akan membencimu. Sebenarnya, aku tidak peduli jika kamu akan menjadi musuhnya atau bahkan menjadi pacarnya. Bagaimanapun, kamu adalah bagian dari diriku."
Zora tertegun sejenak sebelum menenggelamkan dirinya lebih dalam ke air panas. Setelah beberapa waktu berlalu dalam keheningan, dia bertanya: "Sera-san, bolehkah aku bertanya? Kenapa kamu mau membantuku? Kamu telah melatihku, bahkan sebelumnya kamulah yang melakukan duel dengan Zekiel itu."
Sera memiliki wajah acuh tak acuh saat dia berkata, "Membantumu? Jangan salam paham. Aku melakukan semuanya demi Asheel."
Zora mengharapkan jawaban seperti, 'Kamu adalah bagian dari diriku' atau semacamnya, tapi jawaban yang dia dapat terdengar sinis dan terkandung ketidakpedulian dalam kata-katanya.
"Aku senang karena itu secara tidak sengaja telah membantuku, tapi ... aku mulai merasa ini tidak benar. Seharusnya aku yang berdiri di arena, seharunya diriku sendiri yang akan menghapus semua kegelisahan di hatiku ini, karena itulah aku menjadi lebih cemas dan lebih mendambakan kekuatan..."
"Itu masalahmu sendiri," Sera berkata tanpa ampun. "Jangan bersikap menyedihkan seperti itu, aku tidak percaya jika tiruanku sendiri adalah orang yang begitu cengeng dan mudah putus asa. Karena kamu tercipta dari pemikirannya, seharusnya kamu memiliki sesuatu yang istimewa pada dirimu."
"Lalu, bagaimana aku menemukannya?"
"Cari tahu sendiri," Sera lalu berdiri dan berjalan ke arahnya. "Berdiri."
Mendengar nada memerintah itu, Zora buru-buru berdiri dan menampilkan sikap sempurna karena dia cukup terbiasa setelah dilatih oleh Sera akhir-akhir ini.
Keduanya saat ini telanjang, menampilkan tubuh yang mempesona, dan tidak ada bandingannya. Saat mereka berdua berdiri saling berhadapan, orang bahkan akan salah mengira jika yang dilihat adalah seorang wanita yang berdiri di depan cermin.
Memindai tubuh Zora dari atas ke bawah, Sera mengangguk.
"Mm, bahkan seluruh tubuhmu sama persis dengan tubuhku. Berbalik."
Zora berbalik dan menampilkan punggungnya yang mengkilap. Tetesan air mengalir dari kulitnya ke bawah, hingga sampai di pantatnya yang gagah.
Sera mengangguk sekali lagi sebelum mengulurkan tangannya dan menyentuh punggungnya dengan jari telunjuknya.
Karena sentuhan yang terasa erotis itu, tubuh Zora sedikit tersentak sebelum telinganya menjadi merah. Dia dengan gugup menunggu sambil menundukkan kepalanya ke bawah.
Tapi tanpa diduga, payudaranya tiba-tiba dibelai dari belakang yang membuat mulut kecilnya mengeluarkan erangan.
Setelah Sera puas menyentuh tubuh Zora di sana-sini, dia lalu menyentuh tubuhnya sendiri seolah sedang membandingkannya. Kemudian, dia tersenyum sebelum menyelupkan dirinya sekali lagi ke air panas.
Sebelumnya, dia hanya ingin memastikan tubuh ideal dirinya yang ada di pikiran Asheel. Sebenarnya, itu masih sama dengan dirinya, yang membuatnya sangat senang. Hanya melihat Zora, dia memiliki pikiran apakah tubuhnya memiliki perbedaan dari dirinya yang asli. Misalnya, payudaranya lebih besar, atau tubuhnya lebih melengkung, dll.
Tapi setelah memastikan, keduanya memiliki porsi tubuh yang sama persis.
Zora yang masih terengah-engah lalu dengan gemetar juga menyelupkan dirinya di air panas. Dia mencoba menenangkan dirinya dari pelecehan yang baru saja dia alami.
Sera yang sedang menutup matanya dan menikmati kenyamanan berendam ini, tiba-tiba mengingat sesuatu.
"Oh, iya. Besok adalah hari terakhir kami disini, setelah itu kami akan pergi. Setelah ini, aku akan menulis formula pelatihan untukmu. Pastikan menjadi lebih kuat saat pertemuan kita selanjutnya."
"...."