"Baby, are you ok?" tanyanya begitu melihat Arsyilla.
Sarah panik saat suaminya menelpon, dengan cepat dirinya meluncur kesekolah Arsyilla, bahkan tak sempat berganti baju.
"Yes, I'm ok." Arsyilla memeluk Sarah erat untuk meredakan emosinya, pelukan Sarah sangat mujarab bagi Arsyilla.
"Apa yang terjadi?" Sarah mengelus pelan punggung putrinya.
"Apa ambulance itu sudah membawa guruku Ma?" Arsyilla balik bertanya.
"Baru saja, sekarang jelaskan apa yang terjadi." Tuntut Sarah.
"Ak--,"
"Ma, masuklah dulu." Suara Dhika mengintrupsi keduanya.
"Hai mantu," sapa Sarah pelan saat melihat Dhika keluar dari ruangannya untuk menemui ibu mertuanya.
"Ayo sayang," ajak Sarah.
"No Ma, Aku sudah selesai bicara dengan Pak Mahar, kalau Mama ingin ikut denganku, ayo. Tapi jika ingin bicara dengannya, Aku pergi." Sarah menatap kedua anak muda yang baru resmi menjadi suami istri ini dengan tatapan bingung.
"Saya akan jelaskan," ucap Dhika. Sarah mengangguk pelan, lalu masuk keruangan menantunya.
Dhika melihat Arsyilla pergi menjauh dengan pikiran yang sulit, gadis itu tidak pernah merasa takut pada dirinya sekalipun.
"Silahkan duduk, Ma." Dhika dengan sopan menawari ibu mertuanya untuk duduk di sofa.
"Terima kasih, Nak."
"Boleh Mama tau apa yang terjadi?" Tanya Sarah pada menantunya.
"Syilla menyerang temannya dengan bola basket, dia berpikir jika gadis itu yang menyebabkan guru favoritenya jatuh pingsan akibat menolongnya dari lemparan yang Syilla duga di tujukan untuknya."
"Jika Cia bilang begitu maka benar adanya, bukan Mama membela Cia karena putri Mama, tapi Mama sangat tau sifat Cia seperti apa," ucap Sarah lembut.
"Saya harus bertindak profesional di sini Ma, saya tidak bisa mengabaikan kesalahannya meskipun tindakan itu tidak sepenuhnya salah."
Sarah mengangguk dan berkata, "ya Mama setuju untuk itu, Cia selalu bertindak di luar kendali jika dirinya sedang marah."
"Maaf membuat Mama repot datang kemari, Syilla menghubungi Papa tanpa bisa saya cegah."
"Tidak masalah, untuk anak tidak ada kata merepotkan, Nak." Sarah tersenyum hangat, lalu mereka mengobrol ringan sebelum Sarah pamit.
****
"Saya tidak membenarkan adanya tindakan kekerasan dalam bentuk apapun di sekolah ini."
Suara Mahardhika mengalun dengan tenang, namun sarat amarah yang begitu kuat.
Viona merasa tersindir untuk ucapan kepala sekolah yang ia sukai, dirinya menampar Arsyilla karena entah kenapa gadis itu membuatnya selalu emosi, apalagi semenjak sering berurusan dengan Dhika.
"Ini tidak hanya berlaku untuk Ibu Viona saja, jika siswa melakukan pelanggaran selesaikan di ruang Bp, itulah fungsinya di sekolah ini."
Mata Mahardhika menatap semua guru yang berada di ruang rapat Sj High School.
Mereka semua berusia lebih tua darinya, tapi itu tidak membuatnya takut untuk menegur.
"Mmaaff pak," cicit Viona.
"Pak Romi, putar cctv." Viona kembali menahan malu karena permintaan maafnya di abaikan oleh Mahardhika.
Dhika meminta rekaman cctv dari pihak keamanan sekolah untuk melihat dengan detail apa yang terjadi, di sana sangat jelas terlihat jika Maya dengan sengaja melempar keras bola basket kearah Arsyilla, dan pak Ramlan muncul di belakang remaja itu untuk menghalau bolan agar tidak melukai Arsyilla.
"Pak Ramlan memang sangat dekat dengan Arsyilla, gadis itu sudah seperti cucunya." Salah seorang guru membuka suara saat melihat hasil rekaman itu.
"Ya dan setau saya Arsyilla juga sangat menyukai Pak Ramlan dalam artian sebagai seorang guru, anak itu selalu bersikap sopan," jawab guru pria membenarkan.
"Wajar Arsyilla marah, lihatlah tindakkan siswi itu sangat keterlaluan, dia dengan sengaja melempar bola bahkan sebelum Pak Romi memberi materi pembelajaran."
Dhika tidak mendengar apapun yang di katakan oleh para dewan guru, fokusnya tetap pada layar ccttv, atau lebih tepatnya pada wajah marah Arsyilla.
"Bagi siapapun guru yang melakukan tindakan kekerasan secara fisik atau verbal, saya akan menuntutnya atas nama sekolah."
Setelah mengatakan hal itu Dhika pergi meninggalkan ruangan dan sekolah.
Para guru berkumpul sepeninggalnya Dhika membahas hal yang masih hangat ini, mereka mengagumi kepemimpinan Dhika, hingga mengabaikan fakta bahwa Dhika telah mengatakan Arsyilla merupakan tanggung jawabnya.
Hanya Viona yang yang masih berkutat dengan ucapan pria itu, dirinya tidak tau apa maksud dari perkataan Dhika.
***
Arsyilla pergi ke mini market setelah mengunjungi guru favoritenya di rumah sakit, ia meminta sang ayah untuk memberi perawatan yang terbaik, dan juga meminta suster pribadi untuk menjaga pasien itu 24 jam mengingat gurunya itu tidak memiliki keluarga.
Arsyilla memilih banyak makanan ringan dan mi instan, ia membeli sampai masa skorsnya berakhir.
Saat Arsyilla sedang sibuk memilah makanan yang akan dirinya beli, trolli belanjaannya di pegang oleh seseorang sehingga membuat Arsyilla mendongakkan wajahnya untuk melihat siapa pelakunya.
Ternyata Alfandi.
"Bisa singkirin tangan lo?" Arsyilla menatap cowok itu tidak suka.
"Ci, aku mau ngomong." Ada rasa yang aneh di hati Fandi, saat Arsyilla bersikap begitu dengannya.
"Gue nggak punya waktu, jika lo pikir itu penting, chat aja ntar gue baca pas ada waktu senggang." Arsyilla mengambil trollinya dan pergi meninggalkan Fandi.
"Aku tau kamu marah dan kecewa saat aku belain Maya, tapi please jangan salah paham Ci."
Langkah Arsyilla terhenti, menarik nafas pelan dirinya berbalik melihat cowok yang hampir bertahta di hatinya.
"Gue nggak peduli, mau lo belain Maya atau apapun, toh kita bukan sepasang kekasih," ucap Arsyilla dingin.
"Justru itu, aku mau tanya kenapa kamu chat aku semalam seperti itu, apa aku buat kesalahan sama kamu?" Fandi mendekati Arsyilla.
"Itu keputusan gue, dan lo harus hargai itu kayak gebetan gue yang lain."
Arsyilla berjalan kearah kasir dan membayar semua tagihannya dengan kartu credit miliknya, dia memakan dua bungkus ice cream untuk menenangkan emosinya yang meledak-ledak.
"Cia, beri aku penjelasan yang masuk akal, aku pikir kedekatan kita selama ini, itu karena kita memiliki rasa yang sama." Fandi memegang tangan Arsyilla yang ingin keluar dari mini market.
"Lepas!" Arsyilla menatap nyalang tangan Fandi yang berani menyentuh tangannya.
"Ok, next kita bicara, kamu terlihat sangat kacau, sekarang aku antar pulang." Fandi membuka pintu minimarket untuk mereka berdua.
"Nggak perlu repot-repot, gue bisa pulang sendiri." Fandi mendesah lelah, namun entah apa yang membuatnya bertahan.
"Tapi kamu nggak bawa mobil kan Ci?"
"Darimana lo tau, lo ngintilin gue sampek kemari, terniat banget sih lo." Tidak ada lagi tatapan hangat yang biasa Fandi terima.
"Mau gimana lagi Ci? Kamu menghindar dari aku." Hanya Fandi yang masih menggunakan panggilan formal pada Arsyilla.
"Sekarang gue perjelas biar kita nggak perlu bicara di kemudian hari, gue udah nggak minat pacaran, mau hidup tenang."
"Cuma itu? Alasan yang nggak masuk akal Ci." Arsyilla sudah kepanasan karena teriknya matahari.
"Ya emang lo ngarep alasan apa dari gue? Dan satu hal lagi, ternyata gue nggak ada rasa sama lo, pacaranpun nggak ada gunanya." Fandi merasakan hatinya sakit mendengar ucapan Arsyilla.
"Udah jelas kan lo?" Tanpa menunggu jawaban Fandi, gadis itu sudah pergi dengan taxi yang sudah ia pesan sebelumnya.
Sedangkan Fandi hanya bisa menatap nanar kepergian gadis yang telah memberi rasa nyaman untuknya.
Di dalam taxi Arsyilla menutup matanya, untuk meredam perasaan, ia menyukai pemuda itu, tapi ia tidak akan menjadi manusia bego akut demi perasaan yang belum terlalu berkembang.
Dia tidak menyangka pemuda yang di pikirnya baik dan lembut, mendekatinya hanya untuk niat terselubung.
"Dasar cowok bego, mau-maunya aja lagi di manfaatin si Maya buat ngejatohin gue," gumam Arsyilla kesal.
Ya, hari itu dialah yang menahan tangan Gabriel agar tidak masuk menyerang sepasang sejoli yang ada di gudang.