webnovel

Sihir Manipulasi Hati

"Kau yakin masih ingin tetap tinggal disini? Sebentar lagi hujan salju semakin lebat, lho."

Liza menggeleng lemah. Sedikit menyeka setitik butiran air yang mengintip dibalik ekor matanya. Hatinya merasa tersentuh, karena beberapa detik yang lalu ia kembali melanjutkan membaca paragraf terakhir di halaman dairy Bu Rose yang menceritakan tentang bagaimana pertemuan Liza dengan beliau.

**

'Seolah Tuhan telah menjawab setiap untaian doa-doaku yang selama ini tiada henti kupanjatkan.

Tepat di malam ini. Keputus asaanku telah sirna. Walau kini ku tak memiliki rahim lagi, kini ternyata Tuhan memberikanku hal yang ternyata jauh lebih baik. Beliau kirimkan malaikat kecil yang sangat cantik. Anugrah terindah yang hadir dalam hidupku. Seorang bayi mungil yang cantik mempesona.

Liza.

Kehadirannya membuat semangatku untuk hidup kembali lagi.'

**

Hadirnya Liza di kehidupan Bu Rose, ternyata memiliki arti yang teramat mendalam. Liza memang tahu, kalau dialah anak pertama yang diasuh oleh Bu Rose. Tapi siapa sangka, kalau ada cerita dibalik itu yang begitu mengharukan.

Liza seolah hadir di waktu yang sangat tepat. Itu ketika Bu Rose nyaris kehilangan semangat hidup karena rahimnya harus diangkat, sehingga beliau terpaksa kehilangan kesempatan memiliki anak sendiri. Sedih sekali ternyata nasib Ibu Panti kesayangan Liza itu.

"Apa yang tertulis disana hingga kamu menangis?" tanya Kakek Ten yang kemudian ikut sedih melihat Liza menitikkan air mata.

Kembali, Liza menggeleng. Bangkit dan mensejajarkan pandangannya ke Kakek Ten. Lalu mengulas satu senyuman, seolah mengatakan tanpa kata kalau dia tidak apa-apa.

"Bu Rose memang sangat baik. Pasti semua tulisan di buku diary itu berisikan kalimat-kalimat kasih sayang yang membuatmu terharu."

Kali ini Liza mengangguk, setuju dengan ucapan Kakek Ten. "Kakek benar. Aku sangat beruntung bertemu beliau. Hanya saja sedih, karena aku tidak bisa berada disamping beliau saat mengembuskan napas terakhirnya. Andai saja aku pulang cepat bulan ini ..."

Bulan belakangan ini Liza memang sangat sibuk. Belum lagi makin kacau karena gadis itu bertemu dengan Christ. Pria yang hingga kini tidak menyerah untuk memburu jiwanya.

Dan sekalinya Liza memutuskan pulang kampung, dia malah mendapat berita kematian Ibu Pantinya. Ironis sekali.

Kakek Ten lantas menepuk satu bahu Liza dengan lembut. "Tidak ada yang tahu jalannya takdir, Liza. Karena Tuhan-lah yang Maha Mengatur. Jadi jangan jadikan itu penyesalan. Aku yakin Bu Rose tidak ingin kamu bersedih atas kepergiannya."

Liza mengangguk cepat. Mengusap wajahnya agar setidaknya dia bisa lebih tenang.

"Ayo, sebaiknya kita kembali--"

Dan tepat disaat Liza hendak mengikuti Kakek Ten berjalan pulang, mendadak ia merasakan hawa yang sangat tidak enak. Yang seketika membuat perutnya terasa mual.

Pikirnya Liza mengira kalau barangkali dia mual karena masuk angin. Terakhir Liza memang belum makan lagi sesaat ia sampai Bernsbergh. Perutnya kosong jadi Liza langsung menebak kalau dia mual karena hal tersebut. Jadi ia coba menghiraukan itu dan tetap berjalan.

Tapi belum sampai rasa mualnya hilang, Liza kembali dikejutkan oleh suara geraman manusia yang sangat pelan dan tidak jelas bicaranya apa. Mencari sumber suara hingga menelisik setiap sudut hutan dan papan tanda kematian, namun Liza sama sekali tidak melihat barang manusia pun.

Dan herannya, geraman aneh itu seperti terdengar jelas di telinganya. Dan itu sangat membuat Liza langsung merinding. Bulu kuduknya bahkan refleks berdiri sendiri. Tapi meski begitu, entah mengapa Liza sangat penasaran. Dia sebenarnya agak takut, tapi saat Liza mendengar geraman itu mengatakan satu patah kata, dari situlah rasa penasaran Liza semakin tak terbendung.

"Pergi ... Pergi ..."

Seperti itulah yang didengar Liza. Tapi suaranya menggeram, agak bernada marah. Begitu seterusnya tidak berhenti. Suara itu menyuruhnya untuk pergi dan pergi.

"Kakek Ten!" Liza kemudian berjalan sejajar disamping kakek itu. "Apa kakek mendengar suara ini?"

Kakek Ten menghentikan sejenak langkahnya. Memandang bingung kepada Liza seraya menggelengkan kepala. "Aku tidak mendengar apapun? Memangnya apa yang kau dengar?"

"Ah ..." Liza terperangah. Menggaruk pelipisnya kikuk. "... mu-mungkin aku salah dengar. Hehe!" cengirnya, lalu kembali mengajak berjalan kakek Ten. Memilih untuk berpura-pura tidak mendengar saja. Toh setelahnya, suara itu tidak terdengar setelah Liza keluar dari white valley.

**

Sementara di sisi lain, yang ternyata tidak jauh dari tempat Liza berada. Tepat di jalan menuju pintu masuk wilayah Bernsbergh ...

DRAP DRAP DRAP!

Derap tapal kaki rusa itu kemudian terhenti, sesaat penunggang itu menarik tali kendali di leher rusa tersebut.

Sang penunggang pria yang mengenakan topeng model iblis seram itu merasakan ada yang aneh dari jalan yang hendak ia lalui. Oleh sebabnya dia berhenti sejenak. Lalu fokus mengamati jalan es tebal itu.

Dan benar saja. Penglihatannya cukup tajam untuk mengenali bekas galian es di jalan itu. Yang itu berarti pernah ada yang melewati jalan ini tidak lama sebelumnya.

Tapi bukan hanya bekas galian itu saja yang menjadi fokus utama pria bertopeng itu. Melainkan ...

"Hemph! Dikira aku tidak menyadari jebakan murahan seperti ini?"

Pria itu lantas mengambil pedangnya sembari melompat turun dari rusa tunggangannya. Kemudian berjalan menarik satu untaian sulur tanaman aneh yang ternyata bersembunyi dibalik jalan galian itu.

Dan ketika tali tanaman itu ditarik, tanaman sulur itu membesar, berubah menjadi tanaman-tanaman pemakan daging yang mengerikan dan berjumlah sangat banyak. Lalu para tanaman itu bergerak cepat menyerang pria bertopeng misterius itu. Hingga tanpa sadar membuat pria itu semakin menjauh dari jalan pintu masuk Bernsbergh.

BRAK! BRAK! BRAK!

"Cih! Selalu saja ada penghalang sialan setiap kali aku akan menemui perempuan itu!" geram pria itu kesal sambil tangannya memotong-motong tiap sulur tanaman yang masih memburunya.

Menjauh sejenak dari jangkauan sulur-sulur aneh itu, pria itu lantas merogoh kantong jasnya. Melihat kalung liontin kristal ungu yang pernah digunakan Liza itu tampak bersinar terang. Cahayanya lebih terang dari sebelumnya. Proa itu semakin yakin kalau sang pemilik liontin itu berada di dekat sini.

Dan bersamaan dengan itu pula, datanglah satu sosok orang. Melompat dari langit, lalu mendarat tepat di hadapan pria itu. Yang tak disangka dialah perempuan yang wajahnya sangat tidak asing.

Mata hijau itu. Lekuk wajah itu. Tidak salah lagi. Wajah dan ciri-ciri gadis itu mirip sekali dengan wajah Aisha, nona tabib hijau. Sudah pasti dia ini adalah Denise. Tidak disangka dia bakal muncul disaat seperti ini!

Dan ketika pria bertopeng iblis itu terkejut dengan kedatangan Denise, salah satu tanaman pemakan manusia itu dengan sigap menarik dan membelit tubuh pria itu. Pedang yang digenggam pria itu direbut paksa juga oleh tanaman sulur itu. Kecepatan pergerakan tanaman pemangsa itu sangat tinggi, jadi gerakan pria itu kalah sigap.

"Tampaknya tanamanku menemukan tangkapan besar hari ini!" ucap Denise dengan jumawa.

Tapi belum selesai, pria itu berusaha melepaskan lilitan sulur itu. Mengeluarkan sihirnya untuk mengubah tangannya menjadi cakar binatang. Lalu menyobek-nyobek tanaman pemangsa itu.

Agak terkejut Denise saat pria itu berhasil menghancurkan tanaman miliknya. Dari situ Denise semakin yakin kalau pria ini jelas bukan makhluk biasa.

Denise tidak menyerah. Dia kembali menebar sihirnya untuk menghidupkan tanaman-tanaman pemangsa yang baru.

"Tanamanku memiliki kepekaan untuk menangkap semua makhluk hitam, baik itu iblis maupun jin. Tapi sepertinya kau bukan hanya sekedar makhluk hitam biasa ya?" ujar Denise yang tanpa henti mengeluarkan sihir-sihirnya, menggerakkan tanaman pemangsa untuk memburu pria itu.

TANG!

Pria itu berusana menghindar, tapi serangan satu tanaman pemangsa Denise mengenai tanduk topeng iblis pria itu. Hingga topeng tersebut lepas dari wajah si pria.

Dan sesuai dugaan. Pria misterius itu sudah bisa ditebak. Siapa lagi pria yang terakhir kali mengambil kalung milik Liza, dan siapa lagi pria yang selama ini mengejar Liza? Hanyalah Christ orangnya. Pria gila itu nyatanya masih berusaha keras memburu Liza. Padahal Raja Leon dan Devilaro melarang keras Christ untuk mencari dan menyerap jiwa Liza.

Tapi, Christ tidak begitu peduli sekarang. Persetan dia nanti mendapat hukuman serangan magis lagi dari dua Raja Kegelapan itu. Karena yang ada pikiran Christ saat ini hanyalah untuk menuntaskan rasa laparnya.

Christ kali ini tidak mau membuang waktu. Dia pun berinisiatif melakukan penyerangan kepada Denise secara langsung. Berusaha memenggal kepala gadis itu dengan pedangnya.

Tapi saat pedang Christ nyaris menyentuh batang leher Denise, tiba-tiba Christ merasakan tubuhnya seperti lemas. Ada rasa kosong yang luar biasa mendadak menyerang hatinya. Seperti perasaan sunyi yang menyakitkan. Ini bukan seperti terintimidasi atau semacamnya, melainkan rasa hampa itu membuat emosinya mendadak bercampur aduk. Pun energi dalam tubuhnya juga ikut berantakan. Itulah yang kemudian mempengaruhi pergerakan Christ. Christ menduga kalau ini pasti adalah sihir dari Denise. Tapi sihir ini sungguh aneh!

"Saat ini kau pasti sedang bingung dan bertanya-tanya, tiba-tiba energimu jadi kacau dan tubuhmu terasa aneh. Aku benar, kan?"

Christ menggeram. Hendak mengeluarkan sihirnya, tapi justru yang keluar adalah bara api dari tangannya yang tidak terkontrol. Bahkan nyaris saja Christ membakar dirinya sendiri. Tapi sepertinya Tuhan masih menginginkan Christ hidup.

Energi milik Christ yang kacau ternyata mempengaruhi output sihir yang dihasilkan. Untuk pertama kalinya Christ mengalami hal langka seperti ini.

"Siapa kau? Sihir apa yang kau gunakan padaku?!" bentak Christ keras.

Denise tertawa. Mendekat pelan kepada Christ seraya tangannya terentang. Mengeluarkan sihirnya untuk mengontrol tanaman-tanaman pemangsa itu agar membelit kembali tubuh Christ.

"Setiap makhluk pasti memiliki hati. Pun makhluk dari kegelapan sepertimu."

Kali ini, Denise mendudukkan dirinya di singgasana yang ia buat sendiri dari tanaman-tanaman pemangsa yang berkumpul membentuk sebuah benda mirip kursi megah.

"Aku adalah orang yang mampu memanipulasi hati setiap makhluk. Aku bisa memberikan rasa kosong dan sakit hati yang mendominasi hatiku saat ini kepada orang lain. Dengan kata lain, aku memberimu 'rasa sakit' di hatimu. Ketika hatimu kacau, maka kau tidak bisa mengendalikan dirimu sendiri. Bahkan untuk mengendalikan energi cakra dan mengeluarkan sihir."

Dijelaskan seperti itu Christ mulai mengerti, kalau saat ini dia mungkin sedang berhadapan dengan seseorang yang mampu mengendalikan cakra jantung. Dengan kata lain ... bisa saja kalau Denise ini adalah penyihir putih bermata hijau. Atau mungkin ... keturunannya. Karena hanya penyihir putih bermata hijau lah yang bisa menggunakan sihir dari energi cakra jantung.

Dan seperti yang telah diketahui, bahwa seseorang yang mampu mengendalikan cakra jantung, itu artinya dia bisa mengeluarkan sihir yang berhubungan dengan penyembuhan dan cinta. Kemampuan itu yang hanya dikuasai oleh penyihir putih bermata hijau dan keturunannya.

"Hemph! Lalu apa bagusnya dengan kemampuanmu itu--aarrgghh!"

Mendadak, Christ merasakan sesak yang luar biasa di dadanya. Juga ada perasaan sedih dan kecewa yang tiba-tiba menyesakkan dadanya. Jangan-jangan ini ...

"Hah ... hah ... hah ... Argggh!" Christ terengah-engah. Lalu menggeram lagi. Begitu seterusnya. Rasa sakit itu betul-betul menyiksa hatinya.

"Bagaimana? Sakit bukan?" tanya Denise remeh, sembari menyungging seringaiannya. Tampak puas sekali melihat Christ menderita.

"Hah ... hah ..."

"Hahahaha!" Lagi, Denise tertawa mengerikan.

"Pelajaran bagimu! Jangan pernah remehkan rasa kosong dan sakit hati seorang manusia! Apalagi dari seorang wanita!!"

**

To be continued.

Chapitre suivant