webnovel

Menyambut Mentari

Kiara menegang dan berkedip, bulu matanya hampir menyentuh wajah Aksa. Ada perasaan hangat yang menyelimuti dirinya.

"Kecuali kamu, tidak ada wanita lain yang diizinkan masuk ke rumah ini. Jika kamu melihat ada orang asing, suruh dia keluar meski aku tidak di sini." Aksa melanjutkan, "Kerja bagus, adikku."

"Dasar!" Kiara mengucapkan satu kata ini dengan keras. Dia gelisah, mengulurkan tangannya dan mendorong dada Aksa dengan keras. Dia berteriak sambil berlari keluar, "Apakah kamu tidak normal? Kenapa masih memanggilku adik?"

Aksa bahkan memanggilnya sebagai saudara perempuannya. Ini benar-benar menjijikkan menurut Kiara. Namun di sisi lain, Aksa mengangkat bahu. Sudut bibirnya sedikit terangkat membentuk senyuman. Dia berbalik tanpa tergesa-gesa, dan berteriak, "Apakah kamu ingin sopir mengantarmu ke bandara?"

"Tidak, aku akan pergi sendiri!" Suara marah Kiara menghilang di luar pintu. Senyum di wajah Aksa berangsur-angsur melebar.

Ramon melambaikan tangannya, memberi isyarat kepada orang lain di ruang tamu untuk keluar. Dia langsung berbisik kepada Aksa sebagai seorang teman, "Aksa, ini cincinmu."

Aksa menoleh dan melirik ke cincin itu, matanya dalam. "Mereka hanya tahu bahwa cincin ini dapat membuat mereka mewarisi harta dari Keluarga Atmadja, tetapi mereka tidak tahu bahwa itu juga bersyarat."

Aksa tidak menerima cincin itu, tetapi justru berkata pelan, "Jika orang yang mendapat cincin ini bukan seseorang dari keluargaku, bahkan jika dia tidak ingin melepaskan cincin ini, dia tidak akan dapat apa pun."

Ramon diam-diam mengangguk. Aksa saat ini diakui sebagai pemimpin Keluarga Atmadja. Dia memenuhi syarat untuk mewarisi bisnis keluarga dengan cincin ini.

"Lain kali jangan sampai lalai." Aksa menggelengkan kepalanya, "Tidak ada waktu lagi untuk mencarinya jika aku kehilangan cincin ini lagi. Aku akan memintamu pergi ke Gurun Gobi untuk mengambil minyak jika hal semacam ini terjadi lagi."

"Ya, Tuan Aksa." Ramon membungkuk dan berbicara dengan hormat.

Di luar, Kiara lari dengan tergesa-gesa. Sopir di rumah Aksa ingin mengikutinya untuk menjemput orangtuanya, tapi karena Kiara takut dicurigai, dia hanya meminta sopir untuk mengantarnya ke stasiun, lalu dia naik taksi ke bandara.

Bandara sudah penuh orang. Pada pukul sepuluh, pesawat yang dinaiki orangtua Kiara tiba di bandara dengan lancar. Mengenakan sepatu kanvas dan membawa tas punggung, Kiara berjinjit di tengah kerumunan. Dia siap menyambut kembalinya orangtuanya. Dia tidak bisa mengatakan betapa bahagianya dirinya. Mungkin kebiasaan menjemput bandara seperti ini yang membuatnya semangat.

Bagaimanapun, Wisnu adalah ayah yang tegas bagi Kiara. Dia membesarkannya sebagai anak laki-laki sejak Kiara masih kecil. Kiara juga hanya memiliki sedikit interaksi dengannya. Berbeda dengan ayahnya, ibu Kiara sangat lembut. Seperti di zaman kuno, kegilaannya pada seni juga patut ditiru.

Kiara sendiri juga menyukai musik dan pertunjukan, tapi dia tidak punya kesempatan untuk benar-benar menekuni hal itu. Namun, dia selalu patuh jika ibunya memintanya mengikuti kursus seni meski terkadang dia sendiri juga agak malas. Oleh karena itu, ia lebih tenang jika orangtuanya tidak ada. Meskipun rumah keluarganya dekat dengan kampus, Kiara memilih untuk tinggal di asrama kampus bersama Donita.

"Kiara!"

Ketika Kiara sedang berpikir, dia mendengar suara yang akrab. Dia dengan cepat kembali dari lamunannya dan menemukan sosok ibunya dari kerumunan. Dia langsung tertawa, melambai, dan berteriak, "Bu! Bu, aku di sini!"

Ibu Kiara yang bernama Erika itu mengenakan rok bermotif dan berwarna gelap. Ada selendang yang dipasang di sekeliling tubuhnya. Rambutnya terurai lembut di pundaknya. Saat dia mengangkat tangan dan melambaikan tangannya, terlihat aura seorang seniman dari dalam dirinya. Kontras yang tampak jelas dengan Kiara ini benar-benar tajam. Tetapi manisnya penampilan Erika diwarisi oleh Kiara.

"Bu!" Kiara berlari ke arah ibunya. Dia memeluknya, mendorong koper untuknya, dan menyapa ayahnya, "Ayah!"

"Ya." Wisnu sedikit mengangguk, dengan sedikit senyum di wajahnya. Dia penuh energi, fitur wajahnya lembut, dan dia juga pria yang tampan ketika dia masih muda.

"Kalau begitu ayo pergi!" Kiara berkata bahwa dia akan segera mengajak mereka pulang, tapi tiba-tiba dipegang oleh ibunya.

Erika tersenyum pada Kiara, "Apakah kamu lupa? Kemarin, ketika ayahmu menelepon, dia berkata akan membawa seorang gadis dari desa, kan? Mengapa kamu tidak bertemu dengan anak itu? Bukankah kamu terlalu cuek?"

"Oh! Ya, ya, aku lupa. Di mana dia?" Kiara baru ingat. Dia melihat ke arah yang ditunjuk ibunya, lalu sedikit tertegun. Dia benar-benar tidak menyalahkan dirinya sendiri karena tidak menyapa gadis yang dimaksud karena gadis itu berdiri dua meter dari ibunya. Dia juga tidak pernah melihat ke sisi Kiara.

Gadis desa itu hanya membawa tas di pundaknya. Dia mengenakan pakaian biasa dan tidak terlihat seperti orang dari kota. Namun, gadis kecil itu benar-benar memiliki aura yang kuat. Beberapa fitur wajahnya kaku, tapi tampak polos. Dia memiliki postur tubuh yang baik.

"Namanya Mentari." Wisnu memanggil gadis itu dan berkata pada Kiara, "Kiara, dia baru saja diterima di Universitas Jakarta tahun ini, dan dia adalah mahasiswa baru di Jurusan Seni."

"Oh, halo." Mentari menatap Kiara dengan takut-takut. Dia terkejut bahwa anak dari Wisnu dan Erika ini sangat cantik. Bintang-bintang di TV bahkan tidak akan terlihat cantik dibanding dengan Kiara.

Ketika Kiara mendengar kata-kata 'Jurusan Seni', dia merasakan sedikit sakit di hatinya, tetapi dia tidak menunjukkannya di wajahnya. Dia mengangguk dan tersenyum enggan, "Halo, namaku Kiara. Ayah dan ibuku mengambil namaku dari Bahasa Polandia. Artinya kurang lebih tidak pernah kehilangan cahaya."

Wisnu dan Erika saling memandang dengan senyum di wajah mereka saat mendengar ini.

"Nama yang bagus, artinya juga bagus. Guru, anak kalian sangat cantik, kalian pasti sangat bahagia," kata Mentari dengan tulus.

"Iya, tentu saja mereka bahagia." Kiara mengangguk. Dia merasa sedikit getir, tapi tidak mengatakan apa-apa lagi. Dia hanya berkata, "Masih terlalu pagi, ayo pulang. Setelah kita kembali, saatnya makan siang."

"Ya, ayo pergi!" Erika setuju, dan setelah mengangguk, mereka berempat berjalan pulang bersama.

Sepanjang perjalanan, Kiara mengetahui tentang pengalaman hidup Mentari dan mengetahui bahwa dia adalah seorang anak dari keluarga yang sangat miskin. Dia diterima di universitas dan menjadi kebanggaan seluruh desa.

Kiara tidak bisa menahan perasaan sedikit kasihan pada Mentari, dan kesannya terhadap gadis ini pun sangat baik. Dia mendengar bahwa Mentari ingin punya banyak uang di rumah, jadi keadaan keluarganya tidak akan sulit. Dia berharap bisa menghasilkan lebih banyak uang. Meski tidak menyebutkan berapa uang yang ingin dihasilkan, setidaknya dia hanya ingin membiarkan dirinya dan keluarganya hidup bahagia tanpa memikirkan masalah ekonomi.

Kiara memiliki kasih sayang yang tak bisa dijelaskan untuk gadis-gadis yang mandiri dan berkembang dengan kemampuan sendiri seperti Mentari.

Ketiga orang yang baru saja kembali dari perjalanan jauh ini tidak bisa memasak. Kiara, yang tidak terlalu ahli dalam memasak, akhirnya mengambil celemek dan bersiap untuk memasak untuk mereka bertiga.

Saat sedang mencuci sayuran, ponsel Kiara berdering. Setelah menyeka tangannya dan melihat nomor telepon yang aneh, Kiara ragu-ragu untuk menjawab, "Halo? Siapa ini?"

"Sedang apa?" Suara laki-laki yang rendah dan magnetis datang, dan tiba-tiba menghantam hati Kiara. Dia menatap dengan sedikit gugup pada orangtuanya yang sedang membersihkan kamar untuk Mentari, lalu berbisik, "Aksa? Apakah itu kamu? Kenapa meneleponku?"

Chapitre suivant