webnovel

DILAYANI AYLA

Meski sudah mulai dekat, tapi Abian masih belum mau tidur satu ranjang dengan Ayla. Dia lebih memilih tidur di sofa ruang tamu. Dengan selimut tipis dia terlihat nyenyak menikmati mimpi indahnya.

Samar-samar dia mendengar suara berisik dari arah dapur. Mula-mula ia hanya diam dan menganggap itu hanya ulah kucing liar saja. Tapi pikirannya terus terganggu karena suara orang menghidupkan kompor. Tak lupa suara wajan beradu dengan sutil juga terdengar.

Abian segera bangun dan berlari ke arah dapur. Ia melihat Ayla sedang memasak. Abian mengucek mata untuk memastikan kalau apa yang ia lihat ini bukanlah mimpi atau halusinasi saja.

Benar, itu Ayla. Dia masak? Wait! Sejak kapan istri manjanya itu bisa masak?

"Kak Ay, ngapain?" tanya Abian sambil mendekati Ayla yang sedang sibuk mengaduk sayur.

Ayla tersenyum. Dia mengenakan celemek yang pernah Abian pakai waktu pertama kali mereka pindah rumah. "Masak," jawabnya.

Abian melihat ke arah meja makan yang sudah penuh dengan makanan. Ada ayam goreng, nasi putih, tahu goreng, setoples kerupuk, dan ikan asin. Semua itu Ayla yang masak? Batin Abian menolak untuk percaya itu.

"Ayo makan, kamu harus cobain masakan pertama aku," pinta Ayla sambil meletakkan sepiring bakwan menuju meja makan.

"Ini semua Kak Ay yang masak?" tanya Abian tak percaya.

Ayla memutar badan untuk berdiri berhadapan dengan Abian yang berdiri di belakangnya. Ia berkacak pinggang sambil menatap suaminya.

"Kenapa? Gak percaya aku bisa masak? Ini masakan aku tau," tukas Ayla.

Pria berjambang tipis itu cuma cengar-cengir sambil garuk-garuk kepala. Takut salah bicara, Ayla sudah mulai sering marah sekarang. Abian cuma takut kejadian tadi malam terjadi lagi. Lebih takutnya di marahi sang papa mertua, karena tidak bisa membahagiakan anak mereka.

"Kamu mau makan dulu, atau mandi dulu?" tanya Ayla sambil melepas celemek, kegiatan masaknya sudah selesai.

"Aku mau nyuci baju dulu," jawab Abian lalu menuju kamar mandi.

Tapi Ayla segera menarik tangan Abian, dia bermaksud untuk memberi tahu Abian kalau pakaian kotor sudah di cuci olehnya tadi pagi. Ya, Ayla sengaja memasang alarm pagi-pagi sekali untuk melayani suaminya.

Pagi ini Ayla ingin belajar menjadi istri yang sesungguhnya. Karena semalam Abian sudah mau ngobrol banyak dengannya, Ayla jadi semakin semangat untuk berubah. Berubah menjadi istri yang melayani suami lahir batin.

"Ya udah, kalo gitu aku mau nyapu aja," kata Abian. Ia lekas mengambil sapu lantai yang tergantung di samping pintu dapur.

Tapi ternyata Ayla sudah lebih dulu membersihkan lantai keramik rumah mereka. Bahkan sudah di pel. Sejak pagi Ayla sudah membersihkan rumah. Ayla sengaja bekerja diam-diam, karena kalau Abian tau, dia pasti tidak akan membiarkan Ayla mengurus rumah.

Takut gak bersih lah, takut kecapekan lah, takut ini lah, takut itulah. Dasar Abian.

"Mendingan kamu mandi aja, aku udah siapin air hangat buat kamu mandi," ucap Ayla.

Tinggal di daerah dataran tinggi seperti Garut memang memiliki suhu udara yang jauh di atas rata-rata. Ayla sadar, karena dia selalu mandi dengan air hangat. Untuk itu dia menyiapkan air hangat untuk Abian.

Abian sendiri merasa tak enak karena Ayla sudah rela bangun pagi hanya demi melayaninya. Memang sih, itu sudah menjadi tugas istri. Tapi bagi Abian itu agak aneh. Mendengar cerita Rani—mama Ayla yang selalu bilang kalau Ayla itu manja, membuat Abian merasa aneh melihat sikap Ayla.

Tidak mau ambil pusing tentang itu, Abian memilih menurut dan mengambil handuk.

Selesai mandi, Abian sudah di tunggu di meja makan oleh Ayla. Dia duduk berseberangan dengan Ayla. Tapi perempuan itu malah pindah tempat duduk agar bisa bersebelahan dengan Abian. Membuat laki-laki bertubuh tinggi itu gugup.

"Kamu mau ayam?" tanya Ayla, ia mengambilkan nasi dan lauk pauk yang Abian butuhkan.

"Iya," jawab Abian.

"Tempe?" Abian mengangguk.

"Makasih, Kak."

Ayla tiba-tiba menggebrak meja dan membuat Abian yang baru saja hendak menjual sesendok nasi ke mulut mendadak tersedak.

Ayla menatap Abian jengah. Sampai kapan dia sadar kedudukannya? Suami istri tidak seharusnya memanggil 'Kakak' kan?

"Ayla, bukan Kakak!" hardik Ayla sebal.

"Astaghfirullah, maaf, Ay. Aku lupa. Aku janji gak akan kaya gitu lagi," sesal Abian sambil ikut berdiri agar sejajar dengan Ayla.

"Janji?"

Ayla mengeluarkan jari kelingkingnya, bermaksud untuk mengaitkan kedua jari kelingking mereka sebagai tanda janji. Seperti anak kecil.

Abian tersenyum canggung. Meski jantungnya bertabuh kuat, tapi sebisa mungkin ia terlihat biasa saja. Ia mengeluarkan jari kelingkingnya dan mengaitkan kedua jari mereka.

"Janji!" ucap Abian tegas.

Selesai makan, mereka mencuci piring bersama. Romantis sekali, meski Abian tidak banyak bicara. Tapi ini sudah cukup membuat Ayla senang.

Selesai adegan cuci piring bersama, Abian memutuskan untuk pergi ke kebun teh. Katanya Ayla mau ikut Abian ke kebun, tapi Abian melarang. Katanya Ayla akan bosan nanti, lagian di kebun bukan tempat bagi wanita cantik seperti Ayla. Itu tempat pekerja.

Sekilas senyum terukir di wajahnya saat Abian menyebut dirinya 'cantik'. Senengnya beda gitu. Tapi Ayla memaksa, mau tak mau Abian menuruti kemauan istrinya itu.

"Eh, pengantin baru datang," sapa Mang Ade yang tengah duduk santai di pohon besar di tengah hamparan kebun teh.

"Udah lama kali, Mang," jawab Abian ikut duduk di samping mang Ade.

Ayla yang sama sekali tidak kenal dengan pria berkalung sarung itu cuma senyum-senyum saja, berusaha ramah pada orang Abian kenal.

"Gimana, Ay? Udah di apain aja sama Abian?" tanya Mang Ade pada Ayla.

Abian menyikut Mang Ade cepat. "Mang! Apaan, sih?!" sergah Abian.

Ayla cuma senyum canggung. Tidak tau harus jawab apa. Kalau jawab jujur, itu artinya dia membuka aib sendiri dong. Iya, bagi Ayla kehidupan rumah tangga nya adalah aib yang tak patut di ketahui orang lain kecuali keluarga mereka.

"Di apa-apain gimana? Orang Abian aja tidur di ruang tamu," ucap Ayla membatin.

Tidak banyak percakapan yang terjadi setelah itu. Mang Ade pergi tak lama setelah ada salah satu pekerjaan yang datang menghampiri nya, katanya ada orang yang mencarinya di rumah.

Sedangkan Abian berkeliling kebun untuk mengontrol kegiatan pekerjaan lain yang sedang menyemprot hama.

Alhasil, Ayla duduk sendirian di bawah pohon. Entah pohon apa namanya, yang jelas pohon itu sudah berdiri sejak Abian kecil. Pohon berdaun lebat itu menjadi saksi bisu pertumbuhan Abian. Karena sejak kecil, Abian kerap kali bermain di bawah pohon itu.

"Jadi itu istri kamu," kata salah satu pekerja kebun yang usianya tak jauh beda dengan Abian.

"Iya," jawab Abian datar.

"Cantik, beruntung ya kamu. Kalau Daniel gak pergi, mungkin kamu gak akan punya istri secantik itu," katanya lagi.

"Udah, kerja yang bener. Disini sering banyak ulat, semprot ni," kata Abian mengalihkan pembicaraan.

Dari kejauhan, Ayla hanya melihat suami brewoknya asik bicara dengan para pekerja. Mau ikut ke sana, tapi Abian pasti akan melarangnya. Dari pada di suruh pulang, lebih baik Ayla diam di sini. Di bawah teduhnya pohon besar.

Sorenya, sekitar pukul 4 sore. Abian mengajak Ayla pulang. Di jalan, mereka sempat berbincang. Karena Abian tidak membawa motor, jadi mereka jalan kaki.

"Maksud dari bapak-bapak tadi apa?" tanya Ayla sok polos.

"Bapak-bapak siapa?"

"Bapak yang tadi ngobrol sama kamu di bawah pohon besar."

"Oh, itu mang Ade," jawab Abian.

Wanita berambut panjang itu cuma mengangguk. Jadi itu yang namanya mang Ade.

"Omongannya gak usah di pikirin," kata Abian lagi lalu mempercepat langkahnya.

Di belakang Abian, ada Ayla yang senyum-senyum. Ia berlari mengejar Abian yang sudah jauh di depan.

Chapitre suivant