Amelia memang sangat menginginkan untuk bisa memperdengarkan suaranya secara langsung. Bukan bersembunyi dan membiarkan orang lain yang mengakui suaranya. Sekalipun itu adalah kakaknya sendiri.
David tersenyum senang, memang ini yang dia inginkan. Dia ingin secepatnya mempromosikan Amelia.
"Apa kita pernah bertemu sebelumnya, Jasmine?" tanya David.
"Rasanya tidak, aku tinggal di Korea sejak SMA dan saat melihat kompetisi kemarin aku hanya tertarik ikut dan membawa nama Indonesia."
"Kenapa?"
"Karena, terkadang saat di negeri sendiri kita mendapat kesulitan untuk bisa maju kita perlu pergi dan membuktikan diri di negeri orang. Karena saat kita membawa nama negara kita di negara lain, barulah kita dihargai. Ya, seperti saat ini. Jika aku mengikuti kompetisi di Indonesia belum tentu aku bisa menjadi juara. Tapi, karena aku menjadi juara di negara lain, aku justru mendapat kemudahan di negaraku."
David tertawa kecil, "Itu karena kau baru bertemu denganku. Aku tipe orang yang sangat menghargai bakat orang lain," kata David.
Mata Amelia membulat dan ia menatap David dengan serius.
"Kalau begitu saya boleh mengajukan pertanyaan?"
"Boleh, tanya saja."
"Kenapa anda tertarik untuk bekerja sama dengan saya?" tanya Amelia dengan serius.
David menghela napas panjang, ia meraih gelas minumannya dan menyesapnya perlahan. Setelah itu ia menatap Amelia dengan tenang.
"Awalnya aku melihat penampilanmu di acara itu. Lalu, aku tertarik mendengar suaramu yang betul-betul indah. Jadi aku meminta Patricia untuk pergi ke Korea dan menemuimu," ujar David.
"Ah,anda tertarik karena mendengar suaraku?"
"Tentu saja,Jasmine. Apa lagi yang harus dimiliki oleh seorang penyanyi selain suara yang indah? Ya, dalam memilih talent aku paling rewel dengan kualitas vocal. Masalah yang lain nomor sekian, yang penting suaranya harus enak di dengar."
Amelia menyeringai dan menatap David, "Jika aku bertubuh gemuk, apakah anda akan tetap menyuruh Patricia untuk mencari dan menemui saya?" tanya Amelia dengan santai. Sontak David langsung tersedak dan terbatuk-batuk mendengar pertanyaan Amelia. Patricia hanya mampu menahan tawanya melihat David yang mati kutu.
"Aduh, anda sampai tersedak. Apa ada yang salah dengan pertanyaan saya?" tanya Amelia dengan polos sambil menyuapkan potongan daging ke dalam mulutnya.
"Tidak apa-apa, hanya kebetulan saja potongan dagingnya sedikit kebesaran," jawab David salah tingkah.
'Rasakan! Mati kutu kau dibuat Amelia,' batin Patricia geli.
David hanya mendelik saat melihat Patricia yang sedang berusaha keras menahan tawa. Ia memutuskan untuk tidak bertanya apapun lagi dan meneruskan makannya.
Setelah selesai makan, David langsung mengantarkan Amelia dan Nina kembali ke apartemen tanpa bicara lagi. Dia tidak mau ucapannya menjadi bumerang seperti tadi.
"Apartemenku ada di lantai 10, jika kau butuh se ...."
"Aku akan menghubungi Patricia jika membutuhkan sesuatu, Pak David.Rasanya itu lebih nyaman bagiku," ujar Amelia memotong ucapan David.
"Baiklah kalau begitu aku dan Patricia harus kembali ke kantor, mungkin anda dan Nina ingin beristirahat," ujar David.
"Ya , kami memang sangat lelah dan butuh beristirahat, jadi kami sangat berterima kasih jika anda bisa meninggalkan kami berdua."
Patricia mengikik menahan tawa, sementara David hanya mengangguk dan langsung berpamitan.
"Gadis itu gila!" ujar David.
"Gila? Kau tidak lihat dia begitu cantik, bodynya,woow ...rasanya dulu tubuh Karla tidak seindah itu. Dia juga begitu manis dan bersuara indah."
David mendelik sebal kepada Patricia.
"Kau sedang meledek aku?"
Patricia membelalakkan kedua netranya lalu mengibaskan rambutnya.
"Mana ada sih aku meledekmu, aku ini hanya mengatakan kebenaran."
"Hah , kau dari tadi hanya menahan tawa dan terlihat senang sekali melihatku menderita," kata David. Patricia hanya terkikik, "Aku menahan tawa karena memang kau ini lucu sekali. Biasanya kau yang selalu ketus kepada gadis- gadis. Tapi, sekarang kau yang harus berpanjang sabar menghadapi Jasmine."
David menghela napas panjang, "Tapi, aku seperti sudah lama mengenal Jasmine. Suaranya , tatapan matanya, dia mengingatkan aku kepada seseorang," kata David lirih.
"Ah, kau ini memang halu. Semua wanita cantik kau bilang pernah bertemu," kata Patricia.
David menggelengkan kepalanya, "Tidak, aku yakin sekali aku mengenal dia. Mungkin dulu aku pernah bertemu dengannya entah di mana. Karena aku yakin sekali jika aku pernah bertemu."
"Terserah kau saja."
"Kau bisa bantu menyelidikinya?"
"Hah?! Kau ini waras atau tidak? Heh, posisiku ini adalah wakilmu, bukan polisi yang harus menyelidiki orang lain."
"Aku lihat dia cukup dekat denganmu. Aku yakin dia pasti mau bicara jika denganmu."
"Iya, tapi apa yang harus aku ketahui? Sudah jelas kan, dia itu mendapat beasiswa sejak SMA di Korea. Jadi, dia lama tinggal di sana. Jasmine tidak punya orangtua, dia dulu tinggal di panti asuhan," tukas Patricia.
David menghela napas, "Ah, jadi dia yatim piatu?"
"Ya! Sudah jelas yatim piatu apa lagi yang mau diselidiki? Dasar aneh!"
"Dia ... ah, sudahlah. Besok siapkan lagu yang akan dia pilih," ujar David.
"Tidak perlu kau suruh, aku sudah mempersiapkan segalanya."
David mengacungkan jempolnya sambil tersenyum, Patricia memang bisa dia andalkan.
"Omong-omong , Pat, kau tidak berniat mencari kekasih? Aku lihat kau ini tidak pernah mau dekat dengan lelaki. Kau masih normal,kan?"
"Huaaa! Kau ini benar-benar ya, kau mau tangan kanan atau tangan kiriku yang meninjumu? Aku laporkan pada ibuku nanti!"
"Hei ... Jangan bawa- bawa ibumu, dong. Dasar pengadu!"
"Bisa gila aku punya sepupu tidak waras seperti dirimu. Dengar baik-baik, David, aku belum mempunyai kekasih karena aku ingin mendapatkan yang baik di antara yang terbaik. Jadi, tunggu saja tanggal mainnya nanti," jawab Patricia.
Gadis itu memang belum memikirkan untuk memiliki kekasih. Dia masih betah melajang, karena ia memang ingin menemukan pria yang terbaik dalam hidupnya.
Sementara itu, di apartemen, Amelia tengah membereskan pakaiannya. Perlahan ia membelai lemari pakaian itu. Kamarnya tidak berubah sedikitpun, Amelia membuka jendela kamarnya. Satu yang ia sukai dari unit apartemennya ini adalah balkon kamarnya. Dulu, hampir setiap malam Amelia duduk di balkon sambil menikmati udara di malam hari dan menghitung bintang.
Amelia menoleh ke sudut kamar, ia tertegun saat melihat gitar miliknya. David ternyata tidak membuangnya, bahkan gitar itu tidak berdebu sama sekali. Amelia ingat, dulu ia membeli gitar itu dari gaji pertamanya. Tapi, ketika ia meninggalkan apartemen ini, dia memang sengaja meninggalkannya.
Perlahan Amelia meraihnya, lalu memainkannya dengan penuh perasaan.
'Listen to the song here in my heart
A melody I start but can't complete
Listen to the sound from deep within
It's only beginning to find release
Oh, the time has come for my dreams to be heard
They will not be pushed aside and turned
Into your own all 'cause you won't
Listen
Listen, I am alone at a crossroads
I'm not at home in my own home
And I've tried and tried to say what's on mind
You should have known'
"Suaranya Mbak Jasmine memang merdu ... Maaf, aku nggak ketuk pintu. Habis pintunya juga terbuka sih."
Amelia menoleh, Nina tampak sedang berdiri di pintu kamarnya sambil membawa kotak make up miliknya.
"Nggak apa-apa, Nin. Itu kotak make up milikku?"
"Iya, Mbak. Oya, Mbak Tasya tadi menelepon, katanya dia mengirimkan pesan. Tapi, Mbak belum membalasnya."
Amelia menepuk dahinya, ia lupa jika ia akan melakukan video call jika sudah di apartemen.
"Terima kasih, ya Nin."
"Sama-sama , Mbak."