Abi terkejut dengan perkataan seseorang yang meminta putrinya untuk menikah hari ini. Dia langsung menatap ke arah orang yang mengatakan itu dan tidak mengira dengan apa yang sudah dilihatnya.
"Mengapa kau begitu terkejut, Albiansyah?" tanya Mafaz pada abinya Fahira.
"Iya. Kau membuatku terkejut dengan semua yang kau katakan tadi," jawab Abi Albiyansyah.
Mafaz mengatakan jika dirinya sudah memeprsiapkan semuanya dan juga dia sudah membawa putranya ke sini untuk melakukan pernikahan dengan Fahira. Dengan senyum yang lembut dia menatap calon menantunya itu.
"Bagaimana keadaanmu, Nak?" tanya Mafaz pada Fahira sembari berjalan mendekat.
"Alhamdulillah, Fahira sudah membaik," jawab Fahira dengan nada pelan sebagai tanda jika dia menghormati Mafaz.
Umi langsung berjalan mendekat pada seorang wanita paruh baya, wanita itu tidak lain adalah istri dari Mafaz yang bernama Halimah. Mereka berdua memang sudah kenal sejak dulu sebelum mereka menikah.
Almira yang mendengarkan semuanya mendadak semakin kesal dengan yang terjadi pada adiknya. Padahal dia berharap jika pernikahan sang adik dibatalkan sehingga dia bisa menertawakan adiknya itu dengan sepuas-puasnya.
Namun, apa yang diharapkan tidak berjalan dengan apa yang dipikirkannya dan itu membuatnya semakin geram saja. Dia melihat ke arah seorang pria yang sangat tidak sesuai dengan apa yang dilihatnya pada Tuan Mafaz.
Dalam benak Almira berkata jika pria yang akan menikah dengan Fahira adalah pria yang sangat jelek. Dan itu sangat cocok bersanding dengan adiknya yang cacat itu. Namun, dia juga tidak suka apabila sang adik menikah terlebih dahulu dari pada dirinya.
"Abi, apakah tidak sebaiknya menunggu Fahira pulih baru mereka menikah. Lagi pula kedua kaki …," Almira berkata pada sang abi dan menghentikan kalimatnya sehingga menimbulkan pertanyaan di hati Mafaz.
"Sebaiknya, Tuan Mafaz membatalkan rencana pernikahan ini karena saya bukan wanita yang sempurna," sambung Fahira yang sudah tahu niat Almira yang ingin mempermalukan dirinya.
"Kita bukan manusia sempurna dan Abi melihatmu sebagai wanita yang sempurna bagi Azmi benar, Um?" ucap Mafaz sembari meminta bantuan dari istrinya.
"Yang dikatakan oleh Abi Mafaz benar … menurut Umi kamu adalah wanita yang sempurna untuk, Azmi. Jadi Umi harap kamu jangan berkata seperti itu lagi ya," Umi Halimah berkata dengan lembut dan penuh kasih sayang.
Fahira terdiam sejenak, dia tidak tahu haru berkata apa lagi karena dia tidak ingin menikah untuk beberapa tahun ini. Karena masih ada yang harus dilakukan olehnya. Dia pun harus memulihkan kedua kakinya agar bisa kembali berjalan.
"Apa kalian bisa menerima menantu yang lumpuh? Karena Fahira tidak bisa berjalan," Fahira berkata demikian untuk membatalkan rencana pernikahannya.
Umi Halimah menatap suaminya, dia terlihat terkejut dengan apa yang dikatakan oleh Fahira. Namun, sang suami tersenyum dan menganggukkan kepalanya lalu berkata, "Itu tidak masalah bagi Abi."
Mendengar apa yang dikatakan oleh suaminya, Umi Halimah hanya bisa percaya pada suaminya itu. Dia yakin jika sang suami tidak akan pernah salah dalam menilai seseorang. Dan dia pun akhirnya setuju dengan keputusan Abi Mafaz.
"Bagaimana dengan putra Anda? Apakah dia mau menerima istri yang cacat?" Fahira terus berusaha mencari cara untuk membatalkan pernikahannya.
"Sayang …," ucap sang umi untuk menghentikan apa yang dilakukan oleh putrinya itu.
Pria yang sedari tadi hanya berdiri memperhatikan apa yang sedang terjadi di depannya berjalan mendekat. Mendengar dan melihat yang sudah terjadi, dia bisa menilai jika wanita yang akan menjadi istrinya itu sedang mencari cara untuk membatalkan pernikahannya.
"Azmi, apakah kamu mau menikah dengan wanita yang sudah Abi dan Umi pilihkan untukmu?" tanya Abi Mafaz pada sang putra.
"Azmi, menerima semua keputusan Abi dan tidak peduli dengan kekurangannya," jawab Azmi yang membuat Fahira terkejut.
Fahira tidak mengira jika usahanya sia-sia setelah mendengar apa yang dikatakan oleh seorang pria. Dia melihat pria itu menggunakan sebuah kacamata yang begitu tebal dan juga ada jambang yang lebat.
Pria itu memang terlihat tidak tampan tetapi ada sesuatu yang aneh dengannya dan Fahira merasakan akan hal itu. Nalurinya sebagai seorang agen rahasia kembali berjalan.
Sang abi pun berjalan mendekat pada istrinya untuk membicarakan pernikahan Fahira. Dan dia merasa jika pernikahan ini terlalu mendadak di tambah lagi Mafaz ingin membawa Fahira langsung ke rumahnya setelah pernikahan ini. Apabila sang dokter sudah mengizinkan untuk ke luar dari rumah sakit.
"Apa kalian serius dengan apa yang dibicarakan ini?" tanya Abi pada sahabatnya itu untuk meyakinkan kembali.
"Aku sudah menyiapkan semuanya, bukankah kemarin aku sudah meminta semua dokumen tentang Fahira? Dan aku sudah mempersiapkan pernikahan hari ini. Karena Azmi akan pergi ke luar negeri untuk beberapa bulan," jelas Mafaz.
Fahira kembali menatap pada pria yang akan menjadi suaminya itu tetapi dia masih belum bisa menerima keputusan untuk pernikahan ini. Azmi pun melihat ke arah Fahira, dia yakin jika wanita yang sedang duduk di atas ranjang rumah sakit itu ingin berbicara dengannya.
"Umi dan Abi … apakah Azmi boleh meminta waktu sebentar untuk berbicara dengan, Fahira?" tanya Azmi pada kedua orang tua Fahira dan kedua orang tuanya.
Mereka saling memandang tetapi tidak begitu lama mereka semua memberikan izin serta waktu untuk mereka berdua berbicara. Namun, ada hal yang harus diperhatikan oleh Azmi agar tidak melebihi batasannya.
"Mengapa kau tidak ingin menikah denganku? Apakah aku terlihat buruk rupa?" tanya Azmi pada Fahira.
"Bukan. Bukan masalah tampang atau penampilanmu yang menjadi masalah. Yang menjadi masalah adalah aku," jawab Fahira.
Azmi mengatakan jika masalah tidak bisa berjalannya Fahira itu bukan maslah baginya. Dia akan menerima semua kekurangan wanita yang akan menjadi istrinya itu dan tidak peduli dengan omongan orang lain.
"Kau belum tahu siapa aku sebenarnya dan aku tidak ingin membuat semuanya menjadi kacau," timpal Fahira yang tidak bisa menjelaskan semuanya pada Azmi.
"Aku tidak peduli akan hal itu. Namun, yang pasti kita harus menikah semua ini demi umi dan abi kita. Apakah kau tidak melihat mereka begitu berharap besar pada pernikahan kita bisa berjalan dengan lancar hari ini?" jelas Azmi pada Fahira.
Fahira menghela napasnya, dia sudah tidak bisa berkata-kata lagi dan juga sudah tidak bisa menolak lagi. Sebab dia melihat pada umi dan abinya, dia pun sudah tidak ingin membuat mereka berdua merasa sedih. Serta dia tidak mau melihat rasa iba dari kedua mata kedua orang tuanya.
"Aku tahu kita belum saling mengenal dan tidak ada rasa cinta tetapi aku akan menghormatimu sebagai istriku. Bagaimana apa keputusanmu?" Azmi kembali berkata pada Fahira.