"Mn, s-soalnya di gedung dua tadi... masakan lauknya dari kacang—"
"Hmph, begitu," sela Zaki dengan senyuman. "Alergimu ternyata ada sampai sekarang." kekehnya pelan.
Dia perhatikan gerak-gerik Hanin. Mulai suaranya yang memarau. Bola matanya yang berair. Hingga caranya ingin pergi sesegera mungkin.
"Mn."
Adik sepupunya itu menggigit bibir. Seperti biasa untuk menahan takut. Jemarinya pun bergeliatan, terus mendorong lengannya jauh.
"Kalau begitu mau makan nasi gorengku?" tanya Zaki. Pun terbiasa mengabaikan semua itu.
Semakin tak nyaman, Hanin pun menggeleng menolaknya. "Umn, t-tidak."
Hanin menggeram saat Zaki merebahkan kepala di bahunya. Tak tahan geli. Sebab rambut-rambut itu mulai bergesekan dengan lehernya.
"Kenapa, hm?"
Hanin menggeleng sekali lagi. "T-Tidak apa-apa kok, Kak..." bisiknya nyaris tak terdengar. "A-Aku sudah minum teh hangat sebelum datang kesini."
"Benarkah?"
Hanin mengangguk sesegera mungkin. "Mn."
"Tumben sekali..." desah Zaki heran.
Terlalu canggung, Hanin pun menundukkan kepala. Tapi dia menahan diri untuk tetap tenang lebih lama. "Mn, t-tadi Kang Yusuf bilang samean mau bicara soal Bapak, ya..." katanya hati-hati.
Kening Zaki mengernyit. "Oh? Dia bilang begitu?" tanyanya. Kentara sengaja tak tahu menahu.
"I-Iya. Makanya samean menganggilku kemari," angguk Hanin. "Kan... Bapak juga sempat nelpon kemarin—"
"Hahah... detail sekali si Yusuf itu..."
Tawa Zaki yang mendadak itu... tentu memuat Hanin bingung seketika. Dia mencoba menoleh. Lalu menilik ekspresi di wajah itu pelan-pelan. "M-Memangnya... kondisi Bapak semakin parah ya, Kak?" tanyanya cemas. Kali ini dia mencoba berani menatap Zaki. Meski remasannya di lengan itu semakin kuat karena urgensi.
"Tidak juga," jawab Zaki seringan angin.
"E-Eh?" kaget Hanin. Tak habis pikir. "T-Tapi, kenapa—"
"Kubilang tidak ya tidak. Apa kau dengar?" sela Zaki. Gemas, ditelitinya kedua mata cantik itu. Alis yang hitam. Bulu mata yang panjang-panjang. Baru kemudian ke ekspesi polosnya yang langka.
"L-Lalu, yang tadi itu—"
"Aku bohong... paham?"
DEG
Seketika, Hanin pun terbisu. Bibirnya membentuk segaris tipis. Pun wajahnya mulai dipenuhi gurat kekecewaan.
Zaki justru menyeringai.
"Aku bohong dan Cuma ingin memanggilmu. Titik," jelasnya sembari meraih wajah Hanin. Diusapnya tiap tetes air mata yang mulai jatuh ke pipi itu. "Memangnya kau bermasalah, hm?"
Hanin tidak terisak, namun dari matanya terpancar luka yang begitu dalam. "P-Padahal... kupikir ada apa-apa sama Bapak..."
Zaki mendengus geli. "Hmph, jadi kau lebih suka dapat kabar buruk, ya?" tanyanya. "...mungkin Pakde Fathkur operasi atau sekarat, misalnya?"
DEG
"A-Apa?"
Hanin terlihat pucat, namun Zaki jutru tertawa melihatnya.
"Hahaha... naif sekali kau ini..." kata Zaki. "Bukannya itu mudah terjadi, hm? Harusnya kau bersyukur. Coba kalau keluargaku mengabaikan kondisinya. Pasti Pakde sudah dikubur dari dulu-dulu."
Dalam hitungan detik, air mata Hanin pun menderas begitu saja.
Tes...
Tes... tes...
Tes...
Tes... tes... tes...
Terus berjatuhan seperti hujan. Membasahi wajah, lengan, hingga pangkuannya sekalipun.
Senyuman Zaki justru melebar. Bukannya apa. Sebab emosi selalu membuat Hanin lebih cantik daripada yang pernah dilihat orang lain. Benar-benar cantik. Sampai-sampai sulit dibandingkan dengan apapun di pesantren khusus putera ini.
Lihat itu.
Kulitnya yang memerah. Nafasnya yang bersesakan. Pun bereaksi sangat lambat, meski bibirnya mulai dikecup paksa.
"Umnnnh..."
"Sssst... diam dulu."
"K-Kakak—"
"Kubilang jangan bergerak, paham?"
Jemari Hanin menggeliat lembut di genggaman Zaki. Dia gemetar. Dia menggeram dan didorong rebah tanpa sadar. Tahu-tahu, dia segera berpaling begitu kesulitan mengambil napas.
"Ugh... s-sudah..." keluh Hanin. Dia mendorong pelan bahu Zaki.
"Hei..."
Tapi tentu ekspresi marah langsung menghiasi wajahnya.
Hanin pun berkedip-kedip gelisah. "A-Aku tidak bisa, Kak—"
"Mau sampai kapan kau menolakku, hm?" sela Zaki. Dia menggamit dagu Hanin agar kembali menghadapnya. "Bukankah kau sudah kusentuh lebih dari ini?"