Diam-diam Khilmy menenteng termos menuju Ndalem. Dia memang sengaja memelankan langkah. Bak pencuri, padahal wilayah itu jelas masih termasuk gedung dua sendiri.
Tapi tentu bukan tanpa sebab dia begitu.
Lihat di depan sana.
Di dekat tampungan air lebih tepatnya.
Ada Hanin yang sedang berjinjit-jinjit dengan lucunya. Sebab anak 15 tahun itu tidak tinggi, tapi tetap berusaha keras menilik debit air lewat tutupnya yang sangat besar.
Ah, Hanin... Hanin...
Khilmy sampai cekikikan sendiri melihat tingkahnya.
"Berapa, ya..." gumam Hanin pelan. Disana, dia tetap celingukan seperti biasa. Dengan lima jari tangan, dia tampak menghitung sesuatu dengan penuh keseriusan.
Satu detik.
Dua detik.
Tiga detik.
Cekikikan Khilmy pun semakin parah.
Lima detik.
Tujuh detik.
Sepuluh detik.
Ide usil malah timbul begitu saja di pikirannya. Dan saat dia sudah berdiri di belakang Hanin, aksi itu pun siap dilaksanakan seketika.
"Dor!"
"Aduh!"
Hanin terpeleset. Namun Khilmy justru tertawa-tawa melihatnya berpegangan ke tampungan air.
"Hahaha... kena!" seru Khilmy senang.
"S-Siapa?" tanya Hanin sembari berbalik. "Eh? K-Kak Khilmy?"
Khilmy nyengir. "Hehehe... ya. Ini aku. Kamu kira siapa, hm? Syaithonir rojim?"
Wajah pucat Hanin langsung berganti kemerahan. "T-Tidak kok," katanya sembari menggeleng. Senyum kikuk mulai mengembang di bibirnya. "S-Sebenarnya aku sudah tahu itu kakak dari suaranya..."
"Ho... benarkah?"
Hanin mengangguk. "Mn. B-Benar kok," katanya. "A-Apa kakak tidak percaya padaku..."
Mendengar nada kecewa itu, Khilmy pun tertawa keras. "Hahaha... begitu," katanya geli. "Terus kenapa kamu jinjit-jinjit disini, hm? Sedang atraksi, kah?"
"Ah, i-itu..." gumam Hanin bingung. Bola matanya malah bergulir kesana kemari saat Khilmy menatapnya sedekat itu. "Aku... aku Cuma lagi ngecek isi air kok..."
Gemas, Khilmy pun menjentik pelan kening Hanin.
CTAK!
"Aw!"
"HAHAHA.... kena lagi!"
"S-Sakit, Kak..." protes Hanin seketika. Dia segera mengusap-usap bagian itu.
"Masak sih?"
Sebab ruam merah mulai muncul disana, padahal hanya dijentik seperti itu.
"Perih..." keluh Hanin.
Khilmy pun terkekeh. "Wah... wah... sepertinya aku harus minta maf, ya?" tanyanya. Lalu membungkuk sedikit demi sedikit demi menilik wajah cantik itu. "Coba kulihat sini."
Ya, cantik.
Benar-benar cantik dan tentunya langka di pesantren khusus putera ini.
Lihat itu.
Mata yang besar.
Hidung yang mancung.
Bibir yang mungil.
Belum kulit putihnya yang mudah bersemu begitu emosi sedikit saja.
"Umnnh!"
Hanin memejam kaget ketika Khilmy menyentuh keningnya. Mata itu mengerjap-ngerjap, tepat saat suara tawa Khilmy terdengar.
"Pffft... hahaha!"
"K-Kakak..."
"Uwahh... keningmu seperti digigit nyamuk, Nin!" seru Khilmy geli. "Sumpah lucu sekali, tahu! Kk... kk... kk..."
Satu detik.
Dua detik.
Tiga detik.
Rona merah pun langsung menebal penuh di wajah Hanin. Dia membuang muka. Dia tampak kesal, tapi tidak bisa benar-benar marah.
"J-Jangan ditertawakan!" protesnya pelan. "Kan Kakak sendiri yang membuatnya, ugh..."
"Iya-iya..." kata Khilmy senang. "Kalau begitu aku minta maaf, hm?"