Kres.
Kres.
Kres.
Begitulah suara gunting yang mulai memangkas habis rambut Geni. Membuat helai-helai panjangnya berjatuhan begitu saja. Di bahu, di pangkuan, bahkan di lantau dapur kantin yang dia duduki.
Khilmy, selaku pihak yang ditugasi Kiai Nasiruddin melakukannya justru tampak ingin menangis. "Ampun, Gen.." rajuknya takut. "Habis ini jangan pukuli aku, ya. Kan ini utusan Abah... kamu ngerti, kan?"
Geni justru ingin tertawa. "Apa, sih... Kang," katanya geli. "Ndak usah berlebihan kenapa. Ini kan keputusan dari saya juga."
Di depan mereka, Mirza jadi tak fokus mengoseng nasi goreng. "Habis kita berdua juga ndak tahu kalau kau baru nolong orang," katanya kaku. "Jadi ya maaf saja kalau tadi aku pengen marah..." tambahnya tanpa menoleh.
Jaga image.
Jaga harga diri.
"Iya, kang. Saya sudah biasa kok dianggap begitu," kata Geni seringan angin. "Lagipula penilaian kalian itu ndak sepenuhnya salah. Saya kan memang suka berkelahi."
Kening Mirza mengerut. "Jadi kabar kamu pernah malak itu juga bener?" tanyanya frontal. Sampai-sampai Khilmy melotot lebar karenanya.
"Mirza!" seru Khillmy. "Kamu barusan nanya apa, Geblek!"
"Lho, niatku kan pengen mengenal. Bukannya menginterogasi atau apa," bela Mirza tanpa dosa.
"Tapi, kan... itu agak keterlaluan..."
"Ndak papa kok, Kang Khilmy," kata Geni. "Saya kan memang pernah melakukannya."
"Heee? Yang bener kamu, Gen?" tanya Khilmy heran.
"Iya..." aku Geni sembari tersenyum tipis. "Bapak pernah mengajari yang lain-lain juga malahan," katanya seolah-olah itu bukan apa-apa.
"Astaghfirullah... Geni!!" seru Khilmy sampai-sumpai lupa menggerakkan gunting di tangannya sendiri.
Geni justru meringis-ringis. "Nggih, ngapunten kalau dulu saya nemen, Kang." Katanya. Membuat Khilmy semakin gemas.
"Geni!"
Tok-tok.
"Nama Geni sekarang jadi Abdul Ghony, Khil..." sela Zuhri. Sang ketua pesantren Darul Amin yang entah sejak kapan berdiri di ambang pintu.
"Lho? Kang Zuhri?!" kaget Mirza.
Zuhri tersenyum lebar. "Assalamualaikum..." katanya. Terdengar begitu ramah meskipun guratan-guratan lelah tampak jelas pada wajahnya.
"Waalaikum salam.... monggo, Kang. Duduk." Kata Khilmy mewakili.
Zuhri pun masuk dan duduk di sebelah Khilmy. Meletakkan tas hitamnya di pangkuan, padahal benda itu masih terlihat basah akibat tertimpa rerintik hujan.
"Kok njenengan ada disini, Kang?" tanya Mirza penasaran.
"Iya. Bukannya kemarin masih di Pati buat mbahas aliran kejawen baru itu?" tambah Khilmy.
Zuhri pun terkekeh. "Lagi pengen pulang saja kok..." jawabnya asal. "Besok saya baru lanjut lagi buat nyelesein semuanya."
"Ho... begitu," kata Khilmy sok paham. Lalu mulai menggunting rambut Geni lagi.
"Tapi kok sudah tahu nama baru Geni?" tanya Mirza lagi.
"Ghoniy, Mir..." koreksi Zuhri.
Mirza pun nyengir. "Iya, Ghoniy." Katanya. "Terlanjut manggil dia Geni, sih... iya kan, Khil?"
"He-em. Makanya nama itu jadi terkesan seperti panggilan sayang Abah ke bocah ini. Iri sekali kan..."
Geni tersenyum kecut.
Zuhri justru tertawa-tawa.
"Hahaha... soalnya tadi saya sowan sebentar ke Ndalem," katanya senang. "Makanya Abah sempet cerita macem-macem juga ke saya."
"Begitu," gumam Mirza. Lalu menyuguhkan senampan paket makan malam untuk Zuhri. "Nah, monggo, Kang. Makan aja dulu baru nanti lanjut lagi."
"Oh, suwun," kata Zuhri. "Tapi kalian bertiga sudah makan belum?"
Khilmy meletakkan gunting dan menyisir pelan rambut baru Geni. "Kami santai, Kang," katanya. "Nanti kalau para santri sudah kebagian semua, paski kami tetep bakal makan bareng kok."
"Subhanallah... begitu?"
Mirza terkekeh pelan. "Biasanya bagaimana... Kang Zuhri ini," katanya sembari mengangkat nampan lain berisi dua porsi. "Kalau begitu saya duluan, Kang. Mau nganterin ini ke kantor soalnya."
"Oh... buat Zaki dan Yusuf, ya?"
"Nggih, Kang. Mereka nanti kan lembur lagi."
"Wah... kalau begitu titip salam buat Zaki, ya?"
"Salam bagaimana, Kang?"