webnovel

Rintik Kedua

Dentingan alat makan menjadi satu dari salah dua harmoni yang meruntuhkan senyap. Satu yang lainnya merupakan gemeresak dari lembar demi lembar surat kabar yang diteliti sang kepala keluarga. Makan malam pun umpama sidang terdakwa yang teramat menegangkan. Keluarga Park berkumpul, tapi tidak dengan hati mereka.

Hangatnya seolah musnah ditelan dua harmoni yang begitu dingin.

Sebentar-sebentar Rin melempar lirikan penuh makna pada ayahnya. Nafsu makannya hilang ketika mendapati figur di depan mata Rin cukup tidak cakap dalam membina suasana. Seharusnya gadis ini kuat, selama lima tahun diacuhkan seorang ayah di sisinya. Melarangnya ini dan itu. Mengekang Rin tanpa pernah bertanya bagaimana kondisi Rin menjalani hari, seperti ayah pada umumnya. Tanpa pernah mengolesi jiwa Rin dengan kasih sayang tulus.

Rin tidak paham sebab apa yang mendatangkan sikap ayahnya begitu murka. Ketika yang lain begitu posesif terhadap Rin, justru ayah Rin cenderung menelantarkan. Tidak mau tahu. Bahkan lebih menahan Rin untuk bahagia.

Tahu-tahu, biji mata Rin buram seakan dibatasi oleh embun seperti kaca jendela mobil Park ketika hujan. Tanpa ia mau, pandangan Rin bergerak sendirinya untuk kerap menatap sang ayah penuh lara. Mungkin air mata itu siap membuncah kalau saja Jimin tidak cepat-cepat mengambil sosis di piring Rin.

"Aku suka ini. Buatku, ya, Rin."

Seiras Rin sembarangan makan sosis kesukaannya lancang. Tentu saja Rin terkaget-kaget dongkol. "Ih, itu punyaku, Jim. Aku suka itu."

"Sudah masuk perut." Jimin menjulurkan lidah, meledek. "Nih, lidahku masih bau sosis mau coba?"

"Ih, jorok!"

Spontan Rin memukul lengan kokoh Jimin. Pria itu mengaduh hiperbola sampai kemudian mengukir tawa yang melenyapkan matanya. Ingin rasanya Rin beringsut pergi saat dia menghempaskan tawa. Untuk apa?

Rin ingin tahu seberapa kehilangannya Jimin ketika hampa ia temukan sewaktu-waktu dia kembali membuka mata.

"Kenapa kau memukulku?"

"Aku gemas. Kau menyebalkan."

Jimin tersenyum merasa akan memenangkan argumen ini. Matanya memicing penuh goda. "Menyebalkan, tapi sayang, hm?"

"Ih!" Kedua kali Rin melempar tinju di lengan Jimin.

Rin paham satu tindakan Jimin merupakan caranya sendiri untuk menghibur Rin. Dari dulu cukup Jimin yang tahu keresahan Rin, dan mungkin selamanya seperti itu. Bagaikan mentari menyinari si bumi Rin yang rapuh. Bagaikan Mars menghangatkan Venus. Bagaikan Neptunus menemani Pluto. Itulah Jimin.

Jiminnya Rin.

"Rin!"

Satu panggilan dengan intonasi meninggi membungkam dua remaja separuh dewasa di sana. Ayahnya menghempas surat kabar ke permukaan meja makan, geram. Tatapan sinis diiringi sarkasme mengeksekusi saudara kembar Park. Tepatnya Rin yang merasa sorot mematikan itu hanya tertuju padanya, bukan Jimin.

"Makan malam ini bukan ajang lawak. Berapa umur kalian? Lebih dari dua puluh tahun."

Mereka diam. Sesekali Jimin memastikan Rin telah menundukkan kepala merasa bersalah. Tiba-tiba Rin memutuskan bangun dari sandaran kursi makannya.

"Aku akan mencuci piring-piringnya," tukas Rin nyaris senyap tertelan udara. Tangannya mengumpulkan piring-piring di atas meja, menumpuknya dan segera digiring ke dapur.

"Lihat anakmu itu, Jisoo. Bahkan dia sama sekali tidak mau mendengarkan seluruh nasihatku dan main melengos pergi. Anak macam apa." Ayah menggerundel, meninggikan intonasi.

Bahkan ibu tidak mampu berargumen banyak. Rin sendiri tidak mau dengar. Ayahnya selalu menimpa kesalahan hanya pada Rin, Rin, dan Rin. Padahal sosok Jimin lebih besar di sana. Lebih mencuri perhatian. Lebih bersikap semaunya, seenaknya, dan leluasa.

Sejak Rin buka mata lima tahun yang lalu, ayah tidak pernah mau tersenyum pada Rin. Di telepon, ayah selalu membanggakan Jimin lebih-lebih pada temannya. Tidak pernah nama Rin melintas dalam untaian kata yang terlontar dari bibir ayah.

Rin muak, tapi tidak benci. Rin kesal, tapi tidak murka. Lantas tangannya menggosok-gosok piring dengan sangar. Busa yang memenuhi piring dan tangan Rin tercampur dengan tetesan bulir air asin yang lancang melaju di permukaan pipi lembut Rin. Sesekali ia seka bulir-bulir itu dengan lengannya yang tidak bermandikan busa.

Hujan masih setia membasahi tanah di luar sana. Rin menyaksikan dari wastafel tempat cuci piring, tepat di sana tersemat jendela yang membatasi luar rumah. Tersorot orang lalu lalang bersikeras bergelut dengan payung-payungnya, mencekal hujan menerpa diri mereka lebih ganas.

Rin tidak peduli. Upayanya bergumam mengabaikan sang hujan. Karena begitu menyesakkan.

Tiba-tiba sepasang tangan terimpresi tangguh mencampuri aktivitas Rin. Dengan lembut ia bilas piring-piring agar tidak membuat kegaduhan. Rin berusaha tidak menggubris. Ia layak menebak siapa pemilik tangan yang tidak mudah goyah itu tanpa memastikan sekalipun.

"Ayah tidak pernah melihatku." Suara Rin parau, agak gemetar.

Diam-diam Jimin mengukir senyum. "Aku tahu. Tapi ayah menyayangimu, Rin."

"Dia tidak pernah mengajakku makan malam bersama."

"Aku pun tidak. Ayah memang keras."

Piring terakhir usai dipenuhi busa. Rin mengopernya ke Jimin, lalu membilas busa yang mendandani kulitnya beberapa waktu silam. Tugas bagiannya selesai. Kini telapak tangan Rin bertengger di pinggir wastafel, menghadap Jimin untuk mengesankan minat pada percakapan ini.

"Aku tidak pernah menganggapnya sebagai ayah selama lima tahun ini, Jim. Tidak pernah," gumam Rin lugas, namun hampir tertelan desis hujan di balik jendela. Rin memandang Jimin nanar.

Ada jeda beberapa saat di antara mereka. Jimin menyelesaikan bilasan piring terakhir dan menatanya di rak piring. Sentuhan akhir ia keringkan tangannya yang lembab dengan handuk kecil yang tergantung di sana. "Dia ayahmu."

"Jimin, kumohon dari sisi mana aku harus berpikir bahwa dia adalahー"

Aroma sabun cuci piring di tangan Jimin menyusuri kepala Rin, begitu menyengat indera dan membuat candu. Jemari yang nyaris mengerut menyusup lembut masuk di pangkal helaian rambut Rin. Lembutnya tangan Jimin mengusap-usap kepala mungil Rin, berhasil menghanyutkan gadis itu pada rasa terlarang. Sensasi dinginnya merasuk ke kulit kepala Rin sampai ke jiwa. Senyum Jimin tak kunjung terulum. Cukup pahatkan ketenteraman.

"Tidak perlu mencemaskan sikap ayah. Masih ada aku. Kau tidak sendirian. Ada ibu juga pastinya."

"Jimin, kau tidak paham..."

"Aku paham. Aku paham dan percaya padaku. Sampai kapan pun, aku tidak akan meninggalkan Rin. Park Soorin akan selalu bersama Park Jimin. Bagaimana kalau kita buat pernyataan itu besar-besar di pintu kamar ayah, hm?"

Tidak kuasa Rin menerima segala perlakuan Jimin, meredam nestapa. Meski kalimat terakhir diucapkannya bermaksud jenaka. Tawa renyah itu mengambang di udara. Intermezo klasik yang tidak bisa dilewati siapa pun.

"Kenapa kau begitu melindungiku, Jim?"

Agak tercenung sebentar, lantas Jimin kembali ukirkan senyum. Jemari Jimin merambat ke pipi Rin untuk menyeka air mata yang pernah mengotori permukaan wajah lembut sang adik. "Karena aku sayang Rin. Bukankah sesederhana itu?"

Jantung Rin tergemap. Kondisinya sama seperti hantaman dentum meriam. Mungkin ini kesekian kali Jimin menemukan wajah Rin bersemu merah.

Memang menyesakkan ketika Rin dapati hujan melanda Seoul. Namun, lebih menyesakkan ketika dirinya begitu naif menafsirkan rasa yang berbahaya untuk terselip di antara jalinan kuat hubungan saudara kembar.

☂ ☂ ☂

To be continued.

Halo, readers! Tertarik dengan ceritaku? Sulit ya jadi Rin, untung Jimin akan selalu sigap untuk saudara kembarnya, hihihi. Wait for the next chapter, please, thank youuu!

mizzarella15_creators' thoughts
Chapitre suivant