Hujan. Waktu yang tepat bagi orang mencari teduh. Berlomba-lomba melindungi diri dari serangan rintiknya yang berhamburan. Awan begitu hebat. Kusamnya mampu kecamkan orang. Teriaknya bisa membuat jantung siapa pun berdegup kencang. Siapa pun berlari dari air matanya. Auranya, tentu membuat tubuh orang menggigil gemetar.
Seperti sosok gadis berambut lurus dan bertubuh mungil di sana yang berdiri mematung di bawah teduh. Merapalkan doa supaya hujan cepat reda. Meski banyak orang lalu lalang di bawah naungan payung berkecimpung dengan dunia milik masing-masing, gadis itu kerap acuh. Yang dia tahu, akan ada yang menyelamatkannya dari petrikor yang memuakkan. Ada seseorang yang akan memanggil namanya sebentar lagi.
Jadi katakanlah gadis ini sedang menunggu seseorang.
Tidak perlu waktu yang lama, sebuah payung telah meneduhi gadis berjaket peach dengan komprang menenggelamkan tubuh mungilnya.
"Rin, ayo cepat naik ke mobil."
Suara tipikal yang terus mengiang di telinga gadis yang dipanggil Rin beberapa tahun ini, mendominasi kalahkan gemirisik hujan. Rin bersyukur sosoknya hadir lebih cepat dari yang dia duga. Jadi tidak butuh waktu lama ia menggigil diterpa dinginnya hujan yang cukup menusuk raga.
"Kau lama, Jim."
"Iya. Dosenku ada urusan lain, jadi diskusi kami diakhiri lebih cepat. Makanya langsung ke kamu."
Jim dari Jimin. Park Jimin. Seseorangnya Rin yang telah melingkupi hidup gadis itu beberapa tahun belakangan. Seseorang yang Rin kenal sebagai cerminan dirinya.
Rin dan Jiminーanak kembar dari keluarga Park.
Jimin selalu paham apa-apa yang dibicarakan Rin yang bertentangan dengan maksud hati sesungguhnya. Seperti ucapan gadis itu barusan. Bagaikan telepati sebagai media komunikasi, Jimin seolah tahu segala yang dipikirkan Rin.
Lantas menjejaki langkah seirasnya, Rin lekas memasuki mobil yang dikemudikan Jimin.
Hujan menggerayangi mobil sedan milik keluarga Park. Akibatnya, jendela tempat Rin menyorotkan pandangan jadi buram ditutupi embun. Sebentar-sebentar jari mungilnya merangkai aksara di sana.
"Kau menyayangiku, benar?" ledek Jimin tertawa. Jimin tahu ketika membagi lirikan sejenak pada kesibukan gadis itu mengukir namanya di jendela mobil.
Oh, tidak, Rin tertangkap basah. Dia cepat-cepat menghapus lagi aksara di sana. Jemari telunjuk Rin beringsut mengusap-usap pelipis sampai memainkan sebagian helai rambutnya sendiriーsalah tingkah. Tindakan yang begitu menggemaskan dalam iris mata Jimin.
Jimin mendenguskan tawa. "Aku juga sayang Rin kok."
"Sebodo, Jim." Rin memutar mata berupaya melenyapkan sipu di wajahnya. Dia tidak butuh pengakuan Jimin ketika menemukan dirinya melakukan hal konyol.
Ayolah, maksudnya mereka tidak lain merupakan saudara kembar. Jangan beri kesan selayaknya pasangan kekasih. Meski kadang sosok Jimin membawa aura romansa dan aksi sepantasnya pujaan hati di sekeliling Rin.
Misalnya, menghalau Rin untuk berpacaran dengan siapa pun. Katakan, bahkan laki-laki mana yang berani memangkas jarak dengan gadis itu ketika Park Jimin yang terus memagari.
Contoh lain, pikiran Jimin yang dipenuhi soal Rin. Perempuan mana yang mampu berhimpit ke pemuda itu ketika ada sosok Rin yang menghambat kisah cinta seorang Park Jimin.
Tidak ada. Pun sampai sekarang belum ada satu rupa lain yang terselip di antara kisah mereka.
Sorot mata Rin terpaku pada pemandangan hujan di luar sana yang menjadi jelas sejak dia hapus embun yang menutupinya. Pelupuk mata itu menyendu. "Jimin, kau tahu?"
"Hm?"
"Mengapa hujan selalu menyesakkan dada setiap kali turun? Aku benci karena tidak tahu alasannya."
"..."
☂ ☂ ☂
To be continued.
Halo, readers! Aku Misa. Sepertinya aku harus up ulang ceritaku ini mengubahnya di kategori fanfiksi demi kenyamanan pembaca. Terima kasih banyak sebelumnya, enjoy the stories!