webnovel

Masing-Masing

Entah sudah yang ke berapa kali hp-ku bergetar. Dan entah sudah ke berapa kali pula aku mengabaikan panggilan dari mama.

Apa yang harus kujawab padanya karena mama pasti akan menanyakan soal kami, lebih tepatnya soal Bening.

Apakah Bening melakukan hal yang sama sepertiku saat mama menelponnya? Ataukah dia selalu menerima panggilan dari mama? Lantas, apa yang ia katakan soal hubungan kami?

Hp-ku bergetar pendek. Kali ini membuatku bangun seketika saat kulihat nama yang tertera pada layar ponselku itu. Satu pesan aku terima dari istriku. Kalian tau? Bagai mendapat lotre berhadiah aku senang bukan kepalang.

Sayang :

Mas, mama telpon. Dua minggu ini, karena setiap kali mama video call aku berada di toko dan terus nyariin kamu, aku bilang kalo Mas lagi keluar kota. Kuharap Mas ngelakuin hal yang sama menjawab pertanyaan kalo mama telpon. Karena mama bilang Mas gak pernah angkat telpon atopun balas pesan mama.

Setelah membacanya, aku merasa lega. Terima kasih karena kamu begitu bijak dalam mengatasi mama yang cerewet.

Aku menatap layar hp-ku dan membaca pesan dari Bening berulang-ulang. Aku membalas pesannya dengan menanyakan bagaimana kabarnya, lagi ngapain, gimana keadaannya, gimana tangannya, gimana kerjaannya di toko, udah makan apa belum, sampai hal-hal yang gak penting dan yang kubenci mengenai Rudy dan Byan, aku tanyakan. Namun, lagi-lagi ia tak membalas pesanku. Semua pesan yang aku kirim bercentang dua tapi tak berwarna. Berati dia memang membatasi privasinya.

Sayang, Mas kangen...

Satu pesan terakhir yang aku kirim malam ini dengan kata-kata yang tak bisa aku tahan lagi. Ya, aku rindu istriku. Benar-benar merindukannya. Rasanya hampir gila karena sosok yang biasanya berada di sampingku saat malam-malamku, memelukku dan bercinta dengannya, kini dirinya berada di tempat yang berbeda.

Aku bukannya tak berani menghampirinya atau menyusulnya ke toko. Awalnya, sering kali aku ke sana untuk membujuknya, tapi sikap Bening yang dingin dan mengabaikanku membuat aku tak melanjutkan usahaku untuk membawanya pulang. Ditambah ada Mario yang menjadi benteng penghalang di antara kami.

Mario rela mengambil cuti kerja dan membiarkan aku kerja keras menyelesaikan project klien sendirian selama dua minggu ini hanya demi supaya aku tidak mendekati istriku. Gila, ini sungguh membuat aku frustasi!

Kalo bukan karena melihat istriku dan dia menganggap Mario sebagai kakaknya, mungkin sudah dari awal aku menghajarnya habis-habisan.

Apa hak Mario melarangku yang adalah suami sah dari istriku sendiri? Dan mengapa istriku tidak membelaku selama dua minggu ini?

Sungguh aneh, ini adalah marah Bening terlama yang pernah kita lalui selama masa pernikahan. Hanya karena masalah waktu itu, dia bahkan tidak meminta maaf lagi padaku setelah menampar suaminya sendiri. Dan malah memilih mengabaikanku.

Tok tok tok

Suara ketukan di pintu terdengar lagi. Erina. Ya, pasti dia yang selalu datang setiap jam tidur malamku. Dan aku akan tetap membiarkannya sampai ia pergi karena kesal.

"Hon, are you sleeping?" Sahutnya dan aku tak menjawab.

"Hon?" Panggilnya sekali lagi.

"Oke, nice dream, Honey. Asal kamu tau aja, aku merindukanmu. Panggil aku jika kamu menginginkannya. Aku siap, Hon! Aku siap kapanpun kamu mau tanpa harus menunggu perempuan yang udah gak mau sama kamu!" Perginya kemudian.

Merindukanku? Menginginkanku? Tapi aku menginginkan istriku saat ini!

Apa yang harus aku lakukan terhadap Erina? Sempat aku mengusir Erina dari rumah setelah pertengkaranku dengan Bening. Namun, dia malah pingsan dan nge-drop. Dokter melarangku agar tidak membuat psikisnya terganggu. Entah apa yang dialami Erina sehingga dokter mengatakan hal tersebut. Yang jelas, saat ini aku terpaksa membiarkannya tinggal di rumahku. Berharap papa dan mama tidak datang tiba-tiba dan tetap tinggal di Hongkong sampai semuanya terkendali dan baik-baik saja.

Ya, aku harap begitu. Berharap hubunganku dan Bening kembali seperti semula.

Sungguh konyol, aku yang awalnya tak peduli dengan pernikahanku. Kini, aku sangat berharap hal-hal buruk tidak menganggu pernikahan yang baru tiga bulanan ini aku bina. Seharusnya aku senang Erina kembali, namun rasanya seakan ada batu besar yang menimpaku ketika perempuan yang aku nikahi menjauh dan memilih hidup masing-masing saat ini.

***

Hp-nya bergetar dan terus bergetar. Bening membaca satu persatu pesan yang dikirim Aslam padanya. Hatinya selalu goyah apalagi ketika melihat pesan terakhir yang dikirim Aslam padanya sebelum hari esok pasti akan terjadi hal yang sama.

Sayang, Mas kangen...

Air matanya menetes. Kehamilannya yang bertambah dua minggu itu semakin membuatnya menjadi lebih sensitif. Bening mengusap perutnya yang masih rata sambil berucap dalam hati.

Aku, kami juga kangen kamu, Mas...

Sudah dua minggu Bening memilih menjauh dari Aslam setelah kejadian waktu itu. Bukan kejadian di mana ia menampar Aslam. Tapi kejadian keesokkan harinya setelah ia sudah merasa tenang dan berniat meminta maaf pada suaminya.

Pagi itu, Bening pulang ke rumah. Hendak memberi kejutan untuk meminta maaf pada suaminya. Hal yang tak disangka-sangka terjadi ketika ia memasuki kamarnya. Pemandangan yang seharusnya tak ia lihat membuat ia mengurungkan niatnya. Bening bersembunyi dibalik dinding dalam kamarnya saat ia hendak menuju ruang ganti di mana suaminya pasti sedang bersiap akan berangkat kerja.

Erina sedang memakaikan jas kerja pada tubuh suaminya. Tangannya bergelayut manja melingkar pada leher Aslam. Sikap mereka seakan hendak bercumbu.

Bening marah dan merasa kesal. Berani-beraninya mereka melakukan itu di saat dirinya tak ada. Ingin rasanya ia melabrak mereka saat itu juga. Namun, rasanya tak pantas, karena Erina adalah wanita yang dicintai suaminya. Haknya sebagai istri mungkin ada karena buku nikah dan ijab kobul yang diucapkan Aslam di depan penghulu dan para saksi. Di atas ranjang maupun di rumah besar bak istana ini, ia kalah dari Erina yang menjadi perempuan no.1 di hati suaminya.

Bening menutup mulutnya, takut jika suaranya terdengar. Kilas bayangan kejadian yang hampir sama melintas dalam ingatannya. Bayangan ketika ia tak sengaja memergoki pria yang sedang mencumbu kekasihnya. Ia berusaha mengingat, hal itu malah membuat kepalanya terasa sakit dan hampir roboh. Tak sengaja tangannya yang mencoba mencari pegangan malah menjatuhkan salah satu kado yang masih terbungkus rapi yang berada di sudut ruang kamarnya. Suara kado yang terjatuh itu mengalihkan kegiatan mereka dari dalam. Sebelum ketahuan, Bening segera berlari meninggalkan kamarnya.

Saat sudah berada di bawah, ia berpapasan dengan mbok Narti. Wanita paruh baya itu khawatir karena nona mudanya turun dari tangga dengan berderai air mata dan terlihat tidak sehat.

"Kenapa, Non? Apa acara surprise-nya berhasil? Trus, Mas Aslamnya di mana?" Tanyanya cemas.

Bening menggeleng dengan mengusap air matanya. "Gakpapa, Mbok. Mbok aku harus pergi lagi."

"Non, apa gak sebaiknya tunggu Mas Aslam dulu buat anterin Non ke toko?"

"Gak usah, Mbok. Dan tolong jangan bilang-bilang Mas Aslam kalo aku ke sini. Mbok harus janji jangan pernah kasih tau Mas Aslam tentang hari ini," pintanya dengan sorot mata penuh harap dan memohon.

"Non, tapi ini gak bener. Non harus bertindak. Den Aslam dosa kalo dibiarin..." Nada suara mbok Narti bergetar. Bening tau kalo mbok Narti pasti tau sesuatu yang sebenarnya tidak seperti yang ia bayangkan.

"Non harus mengajak Den Aslam ke jalan yang benar. Non jangan biarin mereka. Kalo nyonya sama tuan tau, si Mbok gak tau harus bilang apa..." Memurus jemari telapak tangan Bening yang terasa dingin.

"Mbok!" suara teriakan Aslam dari atas sana membuat Bening segera melepas tangannya dari mbok Narti.

"Maafin aku, Mbok. Aku harus pergi. Mbok tolong janji, jangan pernah bilang sama Mas Aslam kalo aku ke sini," mohon Bening kembali.

"Mbok!" Teriak Aslam sekali lagi. Suaranya sudah mendekat.

"Mbok, kumohon..." Harap Bening dan kali ini mbok Narti mengangguk.

"Mbok!" Suara Aslam sudah mendekat dan Bening benar-benar berlari.

"Hadeuhh...maklum faktor U ya. Dipanggil-panggil dari tadi gak nyahut," ujar Erina bersedekap menuruni anak tangga di belakang Aslam.

"Mbok, tadi apa ada seseorang yang masuk ke dalam kamar? Ato itu Mbok yang masuk untuk beres-beres?" Tanya Aslam ketika sampai di hadapan Mbok Narti.

"Mbok gak tau, Den. Mbok dari tadi siapin sarapan di dapur," jawab Mbok Narti bohong.

"Beneran? Lantas, kenapa kado-kado itu bisa jatuh..." selidiknya lalu bergumam heran.

"I-iya, Den."

"Trus kenapa Mbok gugup gitu? Dan...Mbok kayak abis nangis. Mbok lagi gak sembunyiin sesuatu dari Aslam, 'kan?" Tuduhnya telak.

"Nggak, Den. Mbok permisi ke dapur lagi ya, Den..." pamit Mbok Narti pergi meninggalkan Aslam dan Erina yang berdiri mematung.

***

Aku bangkit dari tempat tidur setelah dirasa Erina sudah pergi di depan pintu kamar. Aku memutuskan pergi ke ruang kerjaku yang berada di sebelah kamar. Tempat ketika aku susah untuk tidur dan memilih menyelesaikan pekerjaanku karena Mario masih mendemo tidak bekerja dan memusuhiku.

Rasanya seperti aku kembali ke masa itu. Masa di mana aku belum bisa move on karena ditinggal Erina dan kecelakaan itu. Kecelakaan yang entah apakah orang tersebut masih hidup atau tidak.

Tabrakan itu...

Darah itu...

Gadis itu...

Arrgh, mengapa aku teringat kejadian yang membuat mimpi-mimpi buruk itu muncul kembali?

Gebrakan di meja membuatku kaget sendiri. Tanpa sengaja tanganku mengklik aplikasi CCTV pada layar laptop yang sedang kugunakan kemudian menampilkan file-file yang tersimpan di dalam folder menurut tanggal masing-masing.

Entah datang dari mana jiwa kepo ini muncul. Mengingat hal ini aku teringat istriku yang selalu ber-kepo ria akan semua tindakanku dan lainnya. Dan...itu membuatku semakin merindukannya.

Aku mencari tanggal kejadian dua minggu yang lalu. Dengan malas, aku mengklik file di dalamnya satu persatu. Seperti iseng-iseng berhadiah, aku menyimak semuanya dari awal. CCTV yang terpasang di beberapa titik sudut ruangan dalam rumah ini menampilkan dengan jelas semua kejadian hari itu.

Berawal mulai dari pintu gerbang pagi itu. Betapa terkesiapnya diriku ketika melihat siapa sosok yang turun dari tukang ojol dan berhenti beberapa saat di depan gerbang. Aku bisa melihat jelas dia menghela nafas lalu memasang senyuman di wajahnya ketika ia sudah memperhitungkan yang entah apa di dalam benaknya.

Cantik...

Pagi itu, dia memakai dress di bawah lutut berwarna baby pink dibalut long coat berwarna broken white yang terlihat senada dengan dress yang ia kenakan. Tak lupa sepatu kets putih dan tas kecil yang ia sampirkan ditubuhnya selalu menjadi ciri khasnya. Rambutnya ia gerai dan diikat setengah. Terlihat cerah dan segar. Dia, sungguh manis dan feminim. Istriku...

Setelah cukup lama memandangnya dengan kagum, kemudian aku mengklik pada layar CCTV berikutnya saat ia memasuki gerbang. Mulai dari satpam dan sopir yang menyapanya. Kemudian tukang kebun yang sedang berada di halaman. Dan juga...Mbok Narti saat dia masuk ke dalam rumah menuju tangga yang aku rasa dia akan menuju ke kamar kami.

Dugaanku tepat dan benar saja. Dia berhenti di depan pintu kamar kami yang memang di pasang CCTV di atasnya. Kemudian ia memasuki kamar.

Tahukah kalian aku sampai ikut meloncat dari kursi kerjaku? Aku menunduk memperhatikan gerakan yang tadi. Kuputar mundur ke belakang dan benar saja sosok itu memasuki kamar kami. Lalu, ke mana dia setelahnya? Mengingat aku tak pernah melihatnya saat itu.

Setelah kuperhatikan waktunya adalah ketika aku mungkin sedang mempersiapkan diri berangkat kerja. Seharusnya pagi itu kami bertemu. Dan benar saja, sosok itu, Bening, istriku keluar dari kamar dengan berlari.

Berarti, suara benda dan kado-kado yang terjatuh itu...dan...Mbok Narti...

Argghh, aku menyingkirkan berkas-berkas yang ada di atas meja. Memukul meja dengan keras. Lalu meremmas rambutku.

"MBOK NARTII!!!"

Bagai orang yang kesurupan aku berteriak malam itu, membuat penghuni yang ada di dalam rumah terbangun seketika.

TBC

Chapitre suivant