webnovel

Anak Kecil Itu, Byan!

Dengan susah payah Bening bangkit dibantu petugas kebersihan yang memang sedang mengangkut sampah di tiap bak sampah masing-masing rumah di komplek elit tersebut. Bening terduduk mengusap siku tangannya yang sepertinya terluka, mengingat jaket hoodie yang ia kenakan robek di bagian sikunya. Beruntung cederanya tidak melukai lengannya yang terdapat pen penyangga. Walaupun rasa ngilu ia rasakan karena menahan benturan pada jalanan beraspal.

"Gakpapa, Non?" tanya petugas kebersihan dengan panik. "Maaf ya, Non. Ini pasti saya taruh rodanya sembarangan," sesalnya.

"Gakpapa, Pak. Ini saya yang salah kok. Maaf ya, Pak. Sampah-sampahnya jadi berantakan lagi." Merasa tak enak saat melihat sampah-sampah berserakan dari roda yang terguling akibat ulahnya.

"Gakpapa, Non. Ini sampah bisa dibereskan lagi. Yang penting Non baik-baik saja." menarik motor yang menimpa Bening.

"Non, ada yang luka gak? Ini motornya Non ada yang rusak gak?"

"Motor saya gakpapa kayaknya. Makasih ya Pak udah nolongin." Petugas kebersihan itu mengangguk, kemudian ia pamit untuk membersihkan sampahnya lagi setelah sebelumnya membantu Bening untuk berdiri.

"Ah ya, kamu gakpapa, Dek?" tanyanya pada seorang anak laki-laki yang masih berdiri mematung dan terlihat shock.

Bening berjalan dengan tertatih-tatih menghampiri anak kecil tersebut. Kemudian ia berjongkok menyamakan tingginya dengan anak itu.

"Kamu gakpapa, kan, Dek?" Cemasnya. Anak kecil tersebut yang awalnya diam seketika menangis kencang.

"Sstt...kenapa nangis, Dek? Adek, ada yang luka?" Bening panik memeriksa keseluruhan tubuh anak kecil itu.

"Kakak terluka..." tangisnya. "Gara-gara aku Kakak terluka..." ucapnya berulang dengan sesenggukan.

Bening tersenyum lalu memeluk anak kecil itu. "Kakak gakpapa kok, Dek. Lihat, kakak baik-baik aja, kan? Kakak ini kan wonder women."

"Bukan, kata papih wonder women itu mamihku!" Mengusap air matanya lalu menatap Bening dengan galak.

Bening tak bisa menahan dirinya untuk tersenyum karena ucapan menggemaskan anak tersebut.

"Iya...wonder women itu mamihnya Adek. Sekarang Adek jangan nangis ya..."

"Kakak itu catty women!" Serunya membuat Bening membelalakan matanya.

"Catty women pahlawan favoritku! Kakak lucu kayak Mima. Dan kakak menyelamatkan aku," cerorocosnya khas anak-anak yang membuat Bening semakin sumringah.

"Oke. Anggap aja kayak gitu. Tapi, siapa Mima?"

"Mima, kucing kesayanganku. Aku ke sini mencari Mima. Kata papih, Mima udah mati. Jadi aku gak boleh cari-cari Mima," jelasnya.

"Ooh gitu. Oh ya, nama Adek siapa?"

"Byan."

"Byan anak ganteng, rumah kamu di mana? Kakak anter pulang ya?" ajak Bening.

Sejenak anak kecil itu terdiam lalu menggeleng. "Aku gak mau pulang! Aku mau cari Mima! Papih jahatin aku terus! Papih marah-marah terus! Cuma Mima yang selalu temenin aku!"

"Kalo Byan gak pulang, nanti papih sama mamih Byan nyariin, lho. Ini udah malem. Kasian nanti mereka nyariin Byan," tutur Bening menenangkan.

"Byan gak punya mamih! Papih juga jarang pulang. Kata papih, gara-gara lahirin Byan, mamih diambil Tuhan!" Kembali menangis.

"Cup...cup...anak ganteng, jangan nangis donk..." Bujuk Bening

"Byan gak mau pulang! Byan mau cari Mima!"

"Iya iya, gak usah pulang kalo gak mau. Gimana kalo Byan pulang ikut kakak aja, mau ya?" Byan tampak berpikir lalu mengangguk sambil mengusap air matanya.

"Anak baik." Mengelus rambut Byan. "Ayok, kita pulang!" Bening beranjak berdiri ketika ia memekik kesakitan.

"Kakak kenapa?" Byan cemas.

"Gakpapa. Kaki kakak kram," elak Bening. Padahal kakinya yang terkilir tadi mulai terasa begitu sakit.

"Ayok," menggenggam tangan mungil Byan. Dengan jalan yang tertatih-tatih Bening menuntun Byan, mengajaknya untuk menaiki motor matic-nya.

"Udah mau pulang, Non?" Sahut petugas kebersihan yang telah selesai membereskan sampah yang tadi tercecer akibat ulah Bening.

"Ya, Pak," jawab Bening. Ia sudah duduk di atas motornya hendak dinyalakan.

"Motornya gakpapa 'kan, Non?"

"Emm...gakpapa kayaknya, Pak. Saya tinggal ya. Sekali lagi maafin saya ya. Dan makasih udah bantuin tadi." Bening melajukan motornya dengan Byan yang dibonceng berdiri di depannya.

***

Sudah hampir jam sembilan malam. Orang yang aku tunggu tak kunjung datang. Berkali-kali aku melirik pada pintu besar utama. Katanya lagi otw dan bentar lagi sampai. Tapi ini udah lebih dari setengah jam yang lalu ketika terakhir kali dia menelponku. Apa sebaiknya kususul saja? Sungguh, ini membuatku frustasi!

Apalagi ditambah papa sama mama yang terus-terusan menanyakan menantu kesayangan mereka yang sudah sampai atau belum. Mereka terlalu cemas berlebihan.

Kegiatan berjalan mondar mandir yang aku lakukan terhenti ketika mendengar suara motor yang memasuki gerbang utama lalu berhenti setelah memasuki garasi. Kuintip lewat kaca jendela, kulihat Bening memarkirkan motornya.

Motor? Sejak kapan Bening memiliki motor? Ah, ya aku baru ingat saat lusa lalu ia pun menaiki motornya saat kami pulang dari kelab milik Rudy.

Mengingat soal motor membuatku menjadi trauma. Aku sudah susah payah untuk tidak mengingat kejadian di waktu lampau. Bukan takut karena ajal yang hampir saja merenggut jiwaku jika bukan karena seseorang yang menjadi tameng untuk menyelematkanku. Tentu saja bukannya aku tak ingat kejadian waktu itu, tapi aku benar-benar tak ingin mengingatnya.

Saat itu justru aku berpikir jika lebih baik aku pergi dari dunia ini daripada hidup tanpa Erina. Rasanya separuh hidupku menghilang di saat kepergiaannya. Kedengarannya lebay, bukan? Tapi bagi orang yang sedang kasmaran mungkin akan merasakan hal yang sama sepertiku. Apalagi jika seseorang itu yang tubuh dan jiwanya sudah melekat dengan jiwa dan tubuhmu juga.

Aku tak ingin mengingat karena ulah teledorku itu merenggut paksa hidup seseorang. Orang itu, masih teringat jelas ketika darah yang mengalir deras dari kepalanya selalu menghantui mimpi-mimpiku. Darah yang seakan mengalir ke arahku itu terus saja menempel dalam bayangan mataku. Butuh waktu yang cukup lama bagiku untuk bisa menghilangkan trauma itu. Walaupun hal itu masih saja terbayang sampai sekarang.

Dan begitu kurang ajarnya aku yang tak pernah kutanyakan bagaimana keadaan orang yang menolongku waktu itu. Semata-mata karena aku takut, takut jika orang itu meninggal karena diriku...

"Dari mana aja, kamu?" tubuh Bening berjingkat ketika ia sedang memarkirkan motornya.

Memangnya aku hantu sehingga membuat ia menegang seperti itu?

"M-mas..." Bening berbalik memasang senyuman yang dipaksakan. Wajahnya memucat. Ya, benar, aliran darah di wajahnya seakan menghilang.

"Kenapa baru pulang jam segini? Saya membiarkan kamu pergi bukan berarti bisa pergi dan pulang seenaknya aja." Aku menyemburnya dengan kekesalan.

"I-iya maaf, Mas." Menundukkan kepala. Ada yang salah dengan ekspresinya. Gerak tubuhnya juga tak biasanya.

"Om, jangan marahin catty women aku!" Tiba-tiba seorang anak berseru padaku. Dia muncul di balik tubuh Bening. Sejak kapan anak itu ada di situ?

"Om jahat! Om galak sama kayak papih!" Teriaknya kemudian.

Aku kehilangan kata-kata. Kekesalanku semakin bertambah. Udah pulang telat, membawa sosok anak kecil yang menjengkelkan pula. Siapa juga anak kecil itu?

Bening membekap mulut anak kecil itu. Memberi syarat supaya ia terdiam.

"Mas, maaf ada sedikit insiden tadi waktu di perjalanan ke mari," jelasnya. "Dan tolong ijinkan Byan tinggal di sini untuk sementara," mohonnya.

Aku menelisik tajam anak kecil itu. Sorot matanya tak pandang takut saat menatapku. Ada luapan amarah yang ia pendam saat melihatku. Wah, anak kecil ini seperti Bening yang tak pantang menyerah menghadapiku.

"Siapa anak kecil itu?"

"Ini Byan,"

"Siapanya kamu?"

"Emmb...dia...aku..."

"Gak jelas!" Pungkasku. "Kamu pikir di sini panti sosial yang menampung anak-anak terlantar?" Dari keraguannya aku sudah mengerti jika ada yang tidak beres dengan anak kecil itu.

"MAS!" Bening meninggikan suaranya.

Wah, sekarang dia mulai berani melawanku. Tidak, sejak awal dia memang berani menghadapi dan membantahku.

"Apa itu? Kamu berani berteriak sama suami sendiri?" Aku tak kalah kesal.

"Mas..." Lirihnya, dia menurunkan intonasinya, mencoba mengalah. Dan mengapa bukannya bangga aku menjadi merasa bersalah.

"Mas tolong, ya? Biarin Byan tinggal di sini untuk sementara," mohonnya kembali. Ucapannya yang terasa lemah, seperti menahan sakit.

"Kakak cantik," anak kecil itu bicara.

Kakak cantik? Aku semakin kesal mendengar anak itu memanggil Bening seperti itu.

"Kakak, Om itu gak mau Byan di sini. Gakpapa Byan mau lanjut cari Mima lagi."

"Nggak!" Bening hendak berjongkok namun kemudian memekik. "Akh!"

"Kenapa?" Seketika aku mencemaskannya.

"Om jahat! Kakak cantik ini udah kesakitan. Om malah marah-marahin kakaknya!" teriak Byan histeris.

"Ada apa ini?" Yang ingin dihindari akhirnya datang.

"Pah?"

"Ada apa ini? Mama denger suara ribut-ribut di sini," timpal mama.

"Mantu mama sayang, kamu baru pulang, Nak?" Mama langsung berhambur menghampiri Bening dan memeluknya.

Ma, yang anak mama tuh aku atau Bening? Mengapa mama sesayang itu padanya? Bukannya ikut menegur, mama malah mencemaskannya? Sedang tadi ketika dia belum pulang, mama malah memarahi serta mengomeliku terus-terusan, seakan aku yang salah.

"Siapa anak ganteng ini?" Perhatian mama tersita akan anak kecil yang sedang berdiri di sebelah Bening.

"Namanya Byan, Ma," terang Bening. "Ma, maafin Bening, Bening gak maksud pulang telat," sesalnya.

"Gakpapa, Sayang. Mama mengerti," ujar mama.

Ingin rasanya aku memaki mama saat itu. Mengerti katanya? Lalu di mana pengertian mama padaku ketika tak henti-hentinya mengomeliku hanya karena Bening tak kunjung pulang?

"Ayok, cepat masuk. Udah malem, kamu juga harus istirahat," ajak mama.

"Iya, Ma. Aww!" Bening memekik kembali ketika berjalan. Hampir saja ia terjatuh jika mama tak segera menahannya.

"Kamu kenapa, Nak?" Mama khawatir.

"Gakpapa, Ma. Ini tadi..."

"Kakak cantik tadi jatoh waktu nolongin Byan. Kakak cantik menghajar roda sampahnya sampe terguling." Anak kecil itu memungkas ucapan Bening.

"Kakak cantik catty women-nya aku! Dia pahlawanku yang hebat!" Bangga anak kecil itu kemudian.

"Hah? Beneran kamu jatoh?" Pekik mama. "Coba liat mana yang sakit?"

Sebenarnya aku begitu terkesiap saat mendengar anak itu bicara. Tak hanya mama, papa pun yang mendengarnya segera panik. Sedang aku hanya berdiam mematung di ambang rasa bersalah. Aku terus saja mengomelinya, tanpa mau mendengar penjelasan dari istriku.

"Dasar suami gak tau diri!" Pukulan mama mendarat sempurna di punggungku. Membuyarkan kediamanku.

"Itu istrinya kesakitan bukannya dibantuin malah diomelin!"

"Bantu istrimu masuk, Lam. Udah malem juga," perintah Papa bersamaan dengan anak kecil itu yang dituntun mama masuk ke dalam rumah.

Aku menatap Bening. Wajahnya semakin memucat. Membuat rasa yang semakin bergemuruh dalam dada. Aku mempercepat langkahku ketika ia hendak melangkah dengan tersenyum yang dipaksakan karena menahan sakit.

Tanpa bicara aku mengangkat tubuhnya ke dalam kungkungan kedua lenganku. Bening memekik dan meronta ingin diturunkan. Aku menatapnya tajam supaya ia diam. Membawanya masuk ke dalam rumah yang entah mengapa banyak sekali yang berkecamuk dalam pikiranku.

Rasa kesal, khawatir dan sedih jadi satu. Aku sungguh tak ingin terjadi sesuatu padanya. Wajah pucatnya membuat rasa takut muncul. Takut yang tak bisa dijabarkan hanya dengan sekedar kata-kata...

Chapitre suivant