webnovel

Gejolak Dua Insan

-Moirai Valentine-

Ada kalanya sikap cerewat berubah bak ikan dalam peti. Diam senyap dan kaku. Apa lagi jika tipe yang sudah serba kalah seperti Maura, satu serangan langsung k.o.

----------------------------------

Beribu-ribu gosip tentang Erlangga Orion Lorenzo selalu Maura dengarkan beberapa hari ini. Otaknya bahkan hampir penuh dengan semua kepribadian dan pengetahuan tak di minta yang menyatakan tentang seorang Erlangga si prince phoenix.

Luna bilang, Erlangga itu tipe cowo sedingin kutub utara yang kesehariannya hanya menggumamkan kalimat pendek.

Saat itu Maura menganggap Erlangga kere, alias pengeretan jika saja ia tidak mengingat jika harta putra tunggal kepala kementrian itu tidak akan habis selama tujuh turunan.

Lagi pula kekayaan tidak bisa di samakan dengan jumlah kalimat yang keluar dari mulut seseorang.

"Nasib lo yang duitnya habis satu turunan diam aja," Luna sempet-sempatnya menggerutu saat itu.

Kampret!

Mira ikut mengagung-angungkan sang prince. Baginya Erlangga adalah pemuda super wah, walaupun Maura tidak peduli seberapa wahnya itu.

'No coment untuk yang satu ini, urusannya balakan ribet jika di panjangkan.'

Lain pendapat para cewe-cewe lain lagi pendapat Gio. Pemuda tukang palak itu mengatakan jika Erlangga adalah salah satu tipe lain di depan lain di belakang.

"Erlangga itu most wanted di sekolah kita. Menurut dari data yang gua selusuri dan amati, ada dua hal yang melekat erat pada sosok most wanted. Pertama, dia itu pasti casanova, dan kedua jika tidak pasti penyuka sesame jenis."

"Jadi Lo hati-hati aja, kencanmu sama dia masih belum ku Acc tau. Selain itu aku gak lepas tangan ya, walaupun sudah ku adukan sama Tante tentang kencan dadakanmu," lanjut Gio saat itu.

Maura hanya memutar matanya bosan. Dalam kaca mata penglihatannya, Gio hanya iri, titik.

Kembali keperadaban. Maura menarik napas panjang. Pandangannya tidak pernah terlepas dari pemuda di sampingnya.

Erlangga membuka beberapa buku besar yang tidak Maura pahami apa judulnya. Padahal dia sendiri yang membawanya tadi.

Tubuh tegapnya bersandar ke lemari dengan kaki tertekuk seraya meletakkan buku di pangkuannya.

Rambutnya acak-acakan, setengah basah oleh keringat seperti habis bangun tidur dan di bangunkannya dengan cipratan air, dan entah kenapa kesan itu membuatnya justru semakin seksi. Iris abu-abunya yang menawan, sangat fokos. Bibirnya sesekali tersunjing.

'Apa ada yang menarik perhatiannya dari buku itu?'

"Err.. Erlangga." Maura membuka suara.

Pemuda itu menoleh dengan mengangkat alisnya, "Apa?"

"Lo sering kesini? Maksudnya ke perpustakaan?"

Maura bukan tipe kutu buku, jauh malah. Tujuannya keperpustakaan hanya untuk menghapali semua judul buku untuk mengalabui Mamanya.

Itu juga yang membuatnya setahun belakangan ini sering menghabiskan menatap rak-rak buku, menghapali judulnya sambil sesekali mencatat jika diperlukan.

Tanpa membaca isinya!

Anggap ia curuang, tapi selama setahun ini juga ia mengetahui siapa saja yang rajin ke perpustakaan, termasuk si Bintang yang selalu tidur di setiap kesempatan.

Tapi tidak dengan Erlang, Maura tidak pernah menemukan pria itu dimanapun, seolah Erlangga tidak pernah menginjakkan kakinya di tempat penuh buku ini.

Lalu kenapa dia sangat pintar?

Erlang mengeling, "Gak, ini pertama kalinya." Ia terkekeh kecil. "Mungkin itu yang membuat penjaga di depan tadi langsung kaku," lanjutnya santai.

Maura mengangguk paham, semua prediksinya benar.

"Lo sendiri, kenapa membawa buku banyak tanpa membacanya?"

"Kan tadi sudah kukatakan, aku hanya mencatat judulnya. Mamaku hanya menanyakan judul buku yang aku baca sepanjang minggu ini. Dia sama sekali tidak menanyakan tentang isinya."

"Kreatif." Ucap Erlang.

Entah itu pujian atau cemoohan. Erlang selalu menggunakan kata itu untuk menunjukkan sesuatu yang aneh.

"Aku tau.. well, lalu bagaimana dengan keluarga Lo, maksudku Mama dan Papamu?"

Erlang terdiam. Ia sudah menutup buku di pangkuannya, kemudian menghembuskan napas panjang.

"Tidak ada yang khusus dan special. Saat libur weekend waktuku lebih banyak bersama teman-teman dibandingkan dengan mereka." bisiknya dingin.

Maura paham jika Erlang sedang tidak ingin membahas tentang keluarganya.

"Lalu tentang kisah asmara Lo?"

"Tidak ada."

"Pacar pertama?"

"Tidak ada."

"Whatt?? Seriuosly?"

Maura berteriak nyaring. Beruntung tidak ada orang lain di perpustakan itu, ia juga tidak yakin penjaga depan mendengar teriakannya mengingat tempat ini sangat luas dan err.. sedikit sunyi.

"Kenapa sekaget itu."

Kekehan pelan Erlang membuka kilas-kilas dan gambaran absurd di dalam benak Maura.

Pria ini tidak punya pacar, ralat. Erlangga sang prince phoenix, most wanted tiga tahun tak tergantikan, justru tidak pernah punya pacar.

Apa dunia sedang bercanda atau dianya yang terlalu parno, mengingat ternyata dunia ini masih adih terhadap kaum rendahan seperti dia tentang jodoh.

'Kalau dia bukan casanova berarti kemungkinan lainnya dia adalah penyuka sesama jenis.'

Gerr..

Kenapa kalimat sakral yang mengerikan dari Gio yang malah terlintas di benaknya.

"Kau bukan penyuka sesama jenis bukan?" selidik Maura waspada.

"Kenapa sampai berpikir ke arah sana?"

Erlang menatapnya dengan tatapan yang sulit di artikan. Ia tidak lagi memangku buku besar. Tubuhnya semakin condong ke arah Maura.

"Err.. ma-maksudnya itu hanya teori. Lo gak pernah jalan dengan cewe manapun di sekolah kita, selain itu kayanya si Gilang dan Bintang lebih mendominasi keadaan selama ini."

Erlang mengangguk, memahami kalimat yang di jelaskan oleh Maura tanpa mengobah posisisnya.

"Gilang itu terlalu cerewet dan Bintang itu pria aneh. Kalo pun aku penyuka sesama jenis, ya pasti pilih-pilih juga kali." Gumamnya setengah menahan tawa.

Entah kenapa Maura setuju dengan yang satu ini. Bintang si aneh dan Gilang yang kelewat ramah.

Mereka berdua mengerikan, untuk ukuran laki-laki.

Damn it!!

Maura menyunjingkan bibirnya, tangannya mengusap-usap tengkuk yang terasa basah oleh keringat, apa Ac-nya mati? Kenapa ia merasa panas.

"Erlaang apa lo merasa pa-"

Degh…

Maura menggantungkan ucapannya saat pandangannya tertubruk dengan iris abu-abu kebiruan yang tengah menatapnya balik.

Wajah tampan Erlangga hanya berjarak beberapa inci dari wajahnya, hembusan napas panas dari ampunya bisa ia rasakan.

Maura tidak tau sejak kapan pria itu sedekat ini dengannya. Otaknya tidak bisa berpikir jernih lagi, tertutup oleh detakan jantung yang suaranya bak roda perang yang melaju kencang.

Aliran darahnya menghangat, mungkin terbakar saat Erlangga semakin mengikis jarak di antara mereka.

Maura tersendak, dalam hitungan detik yang terasa bagai mimpi, jantungnya berhenti mendadak saat Erlang menarik kepala belakangnya dengan kuat. Jarak wajahnya dengan Erlang terkikis sempurna, hingga hidung mereka nyaris bersentuhan.

Maura repleks memejamkan matanya rapat-rapat menunggu sesuatu yang akan terjadi setelahnya.

Nyaris..

"Sedang apa kalian?"

Degh..

Suara tidak asing yang di dominasi dengan kebencian serta kekesalan menghentikan keajaiaban yang baru saja akan mereka nikmati.

Maura membuka matanya, melotot sempurnya menatap siapa yang menghentikan kegiatan mereka.

Erlang sudah beranjak ke posisinya sedia kala, sedikit memberi jarak darinya.

Bersambung…

Chapitre suivant