webnovel

Salah Paham

Hal paling mengesalkan di dunia selain kehabisan stok tisu ketika sedang berada di toilet umum adalah mempunyai saudara seperti Helena.

Gadis yang suka seenaknya dalam bertindak maupun berpikir. Saking lelahnya, Ashley bahkan pernah mengajukan permintaan kepada bintang jatuh yang dia lihat di langit, berharap kakaknya ditukar saja dengan setoples biskuit coklat. Sayangnya, sampai sekarang permohonannya tak pernah terkabulkan. Pasti karena dia telah salah lihat, benda yang Ashley kira adalah bintang jatuh barangkali hanya pesawat terbang dengan lampu yang berkelap-kelip, menjadi sebuah ilusi seakan adalah bintang jatuh.

Ini bukan pertama kalinya kesalahpahaman terjadi, kala dulu banyak sekali. Hampir setiap hari atau paling tidak seminggu lima kali. Seperti sebuah rutinitas dimana Ashley tak sengaja melakukan kesalahan, atau Helena memang suka menyimpulkan segala sesuatu seenak jidatnya. Lebih sering terjadi karena kesengajaan gadis urakan itu.

"Jangan bilang kau—"

"Hey, sudah ku bilang janga menyimpulkan seenaknya sendiri!" potong Ashley hampir mirip sebuah teriakan. Kalau tidak begitu, Helena akan semakin menjadi-jadi dengan segala opini sesat di dalam kepalanya yang Ashley yakini sudah sangat kotor dan berdebu.

"Sekarang sikapmu semakin mencurigakan," Helena memicingkan mata, usahanya dalam memojokkan sang adik.

"Kau pasti habis baca cerita yang tidak-tidak kan?" Ashley membela dirinya. Kini mulai berani beradu argumen, tentu saja harus dia lakukan supaya tak ada lagi aksi perundungan seperti ini. Dia sudah dewasa, perlakuan kejam sang kakak harusnya bisa di hadapi dengan mudah.

"Mana ada!" elak Helena, bersamaan dengan itu rona merah muda mulai menjalari kedua pipinya.

Oh, tidak, sepertinya tebakan asal Ashley tepat mengenai sasaran.

Pemuda tinggi itu tersenyum, dari sini mulai mencium bau kemenangan yang sebentar lagi akan datang. Sangat jarang, bahkan terkesan langka bisa mengetahui kelemahan Helena. Gadis itu terbilang sukses besar menutupi kekurangan diri, tak membiarkan celah sekecil apapun terlihat. Itu pula lah yang selalu membuat Ashley kesal bercampur iri, dia ingin seperti kakaknya dalam hal menutupi kekurangan.

Melihat adanya kesempatan emas —yang mungkin muncul sekali seumur hidup— Ashley akan menggunakannya sebaik mungkin.

"Aku akan bilang pada Ayah dan Ibu tentang apa yang selama ini kau lakukan~" ujar Ashley.

Dalam hati tertawa puas karena sekarang kemenangan ada di tangannya.

Tak ada lagi Ashley yang terus menerus berada di bawah kaki Helena.

Tak ada istilah seorang adik yang selalu kalah dari kakaknya.

Ini adalah masa revolus bagi Ashley, dimana kedudukan dirinya telah melampaui kekuasaan otoriter si gadis setengah iblis. Ashley memasang posisi berdiri tegap, dadanya membusung dengan bangga, senyum kemenangan tercetak jelas di wajahnya.

"Aku juga akan bilang kalau kau berpacaran dengan lelaki!" Helena jelas hanya menggertak saja, tak ada bukti akurat yang menunjukkan bahwa tuduhannya bersifat faktual. Sekedar berusaha terlihat memenangkan argumen, padahal nyatanya dia sendiri yang kabur dari tempat ini.

Untuk pertama kalinya, Helena si ratu ular —tambahan dalam kamus Ashley— menghindari paling duluan.

Ashley bersorak dalam hati, rasanya dia bisa saja berteriak kencang namun pasti hal itu akan membuat dirinya tampak aneh. Maka yang dia lakukan hanya bersenandung kecil dengan wajah berseri-seri seperti baru saja memenangkan lotre jutaan dollar.

Baginya, kemenangan dari Helena lebih berharga dari apapun di dunia ini. Mengetahui kelemahan gadis itu bisa diibaratkan seperti mendapatkan harta karun yang terkubur selama ribuan tahun. Sebagai seorang adik yang selama ini terus menerus merasakan perlakuan kurang menyenangkan dari sang kakak, ini adalah pencapaian terbesarnya dalam hal adu argumen, atau mungkin ini cuman awal saja. Pertanda bahwa sebentar lagi akan banyak kemenangan serupa.

Yeah, lihat saja Hell, orang yang selalu kau anggap payah ini sudah cukup dewasa untuk mengalahkanmu. Ashley memproklamirkan niat balas dendam terhadap kakaknya, dalam hati tentu saja.

Pintu kaca bergerak, tak terlalu banyak menimbulkan decit, tetapi dalam situasi hening macam ini akan sangat mudah bagi suara sekecil apapun untuk terdengar jelas.

"Selamat datang~" sapa Ashley ramah. Sudah menjadi tugasnya selama bekerja di sini, biasanya dia hanya akan berpura-pura tersenyum padahal suasana hatinya diliputi awan mendung. Tuntutan pekerjaan membuatnya harus menutupi perasaan sesungguhnya, kadang bersikap profesional memang tak terlalu melelahkan secara fisik, namun lebih sering mengarah pada mental. Tetapi pada hari ini tak ada kepura-puraan yang Ashley lakukan. Dia sungguh tersenyum ramah sepenuh hati. Matanya bahkan sudah menyipit, nyaris tak terlihat karena ikutan tersenyum.

"Hoy!"

Di ambang pintu utama berdiri seorang pemuda berambut gondrong, melambai ke arah Ashley, sebuah tas kamera menyampir di pundak sebelah kiri. Lantas mendekati meja konter dimana ada Ashley di sebaliknya. Senyuman lebar, membuat pipinya semakin menonjol dan kerutan-kerutan pada mata dan bagian atas bibirnya tercetak jelas. Jenis senyuman yang membuat siapapun orang merasa tak nyaman, terkesan Creepy, seperti peran penjahat ataupun pembunuh berantai yang kerap kali digambarkan pada cerita thriller.

"Senior mau pesan apa?"

Ashley berusaha menutupi kegugupannya. Dia merasakan atmosfer janggal yang berasal dari senyuman si senior, sialnya sebagai karyawan, dia tak bisa seenaknya mengusir. Helena pasti akan menggantungnya di atas traffic light perempatan jalan setelah menelanjanginya. Itu, lebih mengerikan.

"Apapun yang bisa kau tawarkan," Jacob mengubah senyumannya menjadi seringai tipis, atau begitulah yang terlihat di mata Ashley. "...Secara cuma-cuma."

"Cuma-cuma?" Ashley bukannya tak mendengar, dia hanya terkejut atas perkataan seniornya yang terkesan, seenaknya sendiri. Orang macam apa yang datang tiba-tiba ke tempat kerja orang lain untuk meminta minuman secara gratis? Orang di depannya sudah gila.

"Iya, cuma-cuma, gratis, FREE!"

"Anu, tapi Senior, di sini aku hanya-?—"

Jacob tertawa kecil, terdengar seperti sebuah cibiran. "Aku tak percaya akan mengatakan ini langsung, tapi melihat kau sepertinya masih tak mengerti, mungkin memang harus ku jelaskan secara detail meskipun ini terdengar tak etis untuk diutarakan.

'Ya, kalau begitu tak usah dilakukan saja.' Ashley hanya membatin, tak berani mengungkapkan secara terang-terangan.

Jack berjalan lebih dekat, perutnya sudah menempel di sisi meja depan meja. Lalu, pemuda itu mencondongkan tubuhnya ke arah Ashley, yang mana membuat lelaki bertubuh tinggi berjalan mundur. Tetapi, sebelum hal itu terjadi, Jack dengan cepat menahan lengan Ashley. Jarak mereka semakin hilang, seiring dengan tubuh Ashley menegang panik.

"Bukankah aku harus mendapatkan bayaran karena memberikan informasi paling privasi pada orang asing sepertimu?"

"Eh?"

Hidup tak sepenuhnya berjalan tanpa adanya timbal balik, apalagi di kota besar seperti tempat ini. Salahkan Ashley yang masi bersikap naif, menganggap semua orang mau memberikan bantuan tanpa pamrih. Segalanya tak ada yang gratis. Begitulah yang sering dikatakan sang kakak ketika dirinya berambisi untuk hidup di kota besar. Walau kadang wanita itu menyebalkan, tetapi kebanyakan ucapannya benar secara mutlak.

Dan, lagi-lagi, Ashley harus merelakan gaji bulan ini terpotong.

Chapitre suivant