"Jadi gimana, Boss?" tanya salah seorang pemuda sembari duduk di samping sang ketua. Bibirnya terus menghisap rokok yang terselip di sela-sela jarinya.
"Lupain Mikael, jangan serang dia!" jawab sang ketua Warlord sambil tersenyum ke arah satu persatu anak buahnya. Kedua tangan itu pun telah bersendekap dengan begitu angkuh di depan mereka.
"Maksudnya?" tanya satu orang di antara mereka. Tatapannya terlihat begitu bingung saat mendengar jawaban dari sang ketua.
"Kalau kita nggak serang Mikael, terus rencana kita apa?" sahut satu orang lainnya bertanya.
Arah pandang mereka kini tertuju pada Aarav, sang ketua. Mata mereka kompak memincing kala mendengar perintah Aarav yang sungguh berbeda dari biasanya. Rencana apa yang lebih bagus dibandingkan menyerang ketua Antariksa?
"Kita serang kelemahannya, dengan cara nyekap ceweknya!" jawab Aarav sembari menyungging senyum seringai di bibirnya. Senyum yang terlihat begitu merendahkan Mikael dengan segala kemampuan dan orang-orang di sekitarnya. "Kita bakal buat Mikael sukarela dateng dengan sendirinya! "
Seringaian mulai tercetak jelas di bibirnya. Aarav bahagia, sangat bahagia. Karena setelah sekian lama, akhirnya ia menemukan cara terampuh untuk melumpuhkan pergerakan lawannya.
Senyum di bibir Aarav makin melebar saat ia membayangkan seberapa menyedihkan cara Mikael mengemis kepadanya. Pasti sangatlah menyenangkan.
Pemikiran Aarav kembali berkelana pada saat ia sengaja membututi Mikael yang mengantar seorang gadis untuk pertama kalinya. Gadis cantik yang tinggal di sebuah kawasan elit di dekat markas mereka.
Gadis yang sangat ia kenal bahkan sebelum ia menginjakkan kaki di ibukota. Satu-satunya orang yang lelaki itu cari hampir 2 tahun lamanya. Hanya kepadanya lah Aarav tergila-gila.
Dan sekarang ia menemukannya. Bersama dengan seorang lelaki yang menjadi target empuk untuk pelampiasannya. Sebuah kebetulan yang luar biasa.
Dan di sisi lain, seluruh anggota Warlord juga sudah lelah akan kekalahan saat menghadapi Antariksa. Dan sekarang, saatnya mereka mengubah strategi untuk membalikkan keadaan. Walaupun itu harus mengotori tangan. Ya, anggaplah membunuh burung dengan satu batu saja.
Malam ini adalah malam penuh pesta bagi Warlord. Sebuah malam di mana mereka menemukan jalan keluar untuk mengalahkan Mikael walaupun menggunakan cara paling kotor.
Biarlah mereka bebaskan Mikael untuk malam ini. Biarkan lelaki itu mencetak senyum bahagia di bibirnya bersama dengan sang kekasih hati. Namun mereka berjanji, setelah malam ini, tak akan ada senyum yang terukir di bibirnya lagi.
*
Tok! Tok! Tok!
"Assalamualaikum!" Sebuah salam Bagas haturkan di depan sebuah rumah besar bernuansa putih di hadapannya. Rumah dengan desain minimalis yang dipenuhi bunga di pekarangannya.
Di depan pintu sana, sudah ada sebuah keluarga kecil yang datang dengan senyum mengembang di bibir mereka. Oh, tidak. Mungkin terkecuali putra tunggal mereka. Mikael Atha Dayyan.
Wajah Mikael tampak begitu pasrah saat pada akhirnya ia harus mengalah dan ikut serta dalam pertemuan memuakkan yang menyangkutkan masa depannya. Acara makan malam yang jelas-jelas hanya sebuah pancingan untuk Mikael menyetujui perjodohan konyol antara dua keluarga.
Cklek!
"Walaikumsalam, silahkan masuk!" ucap Varah saat wanita itu baru membuka pintu rumahnya. Wanita itu pun langsung mempersilahkan mereka masuk dengan senyum sumringah.
Tiga orang yang baru masuk ke kediaman Dirgantara itu pun langsung disuguhkan oleh sebuah akuarium besar dengan banyak hiasan. Di samping kiri dan kanan juga terdapat pohon buatan yang tampak menyejukkan.
"Apa kabar kalian?" Sebuah sapaan tiba-tiba terdengar dari arah belakang. Di sana tampak Surya yang baru saja datang dari arah ruang keluarga. Senyum pria itu begitu mengembang seolah sebuah kebahagiaan besar bisa berjumpa dengan keluarga Baskara.
"Baik, baik!" jawab Bagas sambil bersalaman dengan Surya, Papa Aleena.
Mendengar itu, Surya hanya bisa tersenyum lega. Sungguh ia masih tak bisa menyangka bahwa rekan kerjanya akan segera menjadi besan karena pernikahan putra-putri mereka.
"Mari, duduk-duduk!" lanjut Surya sembari mempersilahkan mereka untuk duduk di kursi ruang makan mereka.
Bagas dan juga Karina pun langsung duduk dengan senang hati di kursi yang telah mereka siapkan. Senyum mereka masih belum luntur sejak menginjakkan kaki di rumah keluarga Dirgantara. Entah karena apa.
Sedangkan Mikael, lelaki itu hanya diam tak bersuara. Mulutnya membisu seolah tanpa mau mengucapkan apa-apa. Kalau saja sang ayah tidak mengancam akan mengambil semua fasilitasnya, lelaki itu tak akan pernah mau masuk ke rumah itu dan membuat senyum palsu di bibirnya.
"Mikael,"
Sebuah panggilan yang tiba-tiba terdengar sontak mengundang perhatian Mikael. Lelaki itu menoleh ke arah Varah sembari menaikkan satu alisnya. "Hm?"
"Hust! El, nggak boleh gitu! Nggak sopan!" tegur Karina dengan sedikit berbisik ke arah sang putra. Matanya pun melotot memperingatkan Mikael agar menjaga tata kramanya.
"Apa sih, Bun? Orang Mikael nggak ngapa-ngapain!" jawab Mikael membela dirinya. Nada bicaranya pun ikut berbisik mengimbangi suara sang bunda.
"Itu namanya nggak sopan, Mikael!"
"Udah, nggak papa kok, Rin! Namanya juga anak muda!" ucap Varah mulai menyela perdebatan antara ibu dan anak di sana. Senyum hangat pun ia tunjukkan kepada Mikael yang tak lama lagi akan menjadi menantunya.
"Kamu masih ingat kami, kan?" tanya Varah melanjutkan ucapannya. Tatapannya terlihat sedikit berharap bahwa ada ingatan baik di benak sang pemuda, walaupun itu hanya sedikit saja.
Mendengar pertanyaan dari Varah, senyum Mikael perlahan mulai terlihat di bibirnya. Lelaki itu menatap dengan begitu intens ke arah sepasang suami istri di depannya sebelum menjawab pertanyaan dari calon mertuanya.
"Tentu saja. Lagi pula, siapa yang bisa melupakan orang semenarik kalian berdua?" jawab Mikael menampakkan ekspresi meledek di depan Surya serta Varah, istrinya. Dan tentunya dihadapan kedua orang tuanya.
"Mikael!" Sentakan itu kompak terlontar dari bibir Bagas dan juga Karina. Keduanya pun sama-sama menajamkan penglihatan ke arah sang putra yang sungguh tak bisa menghormati orang yang lebih tua.
Mikael hanya diam tanpa mau menyahuti sentakan orang tuanya. Lelaki itu hanya ingin mengambil jalan aman untuk menyelamatkan seluruh aset yang telah diberikan sang ayah kepadanya. Mikael tak mau kehilangan itu semua hanya karena ucapan sepele tak bermakna.
"Maafin anak kami ya, Sur! Mulutnya memang susah buat dikendalikan," ucap Bagas meminta maaf mewakili Mikael yang masih diam membisu di tempatnya. Lelaki itu bahkan berlagak seolah tak terjadi apa-apa.
"Nggak papa kok, Gas! Aku memang salah pada saat itu! Karena aku masih belum mengenal kalau dia itu anakmu!" jawab Surya sambil sedikit menundukkan kepala. Jujur saja, pria itu merasa sedikit malu di depan Mikael. Sikapnya yang terlalu berlebihan pada saat itu sungguh ia sesali sekarang.
"Oh, iya! Sebentar! Aku panggil dulu Aleena- nya!" pamit Varah yang langsung diangguki empat orang yang ada di sana. Wanita itu pun bergegas pergi untuk menjemput calon mempelai wanita.
Mikael yang sebelumnya tengah dilanda kebosanan kini mulai penasaran. Apakah Aleena sudah tahu perjodohan ini sejak lama? Bagaimana reaksinya? Dan mengapa gadis itu tak mencegahnya? Sialan!
Terlalu banyak pertanyaan yang hinggap di kepala Mikael sampai-sampai lelaki itu tak menyadari jika seorang gadis cantik telah berdiri tepat di depannya. Gadis yang menggunakan dress dengan panjang selutut yang berhasil mencuri perhatiannya.
"Cantik!"