webnovel

Perpisahan

"Tolong buka semua sel disini!" tanganku memberikan semua kunci satu-persatu kepada Pencabut Benalu. Mereka menatapku sesaat namun setelah itu mulai berhamburan mencari kunci yang sesuai pada setiap sel. Tidak lama kemudian para tawanan berhamburan keluar memenuhi lorong universitas yang sepi.

Pergerakan mereka tidak bisa terkontrol seperti hewan buas yang merindukan habitatnya setelah terkurung selama bertahun-tahun. Teriakan orang-orang terdengar menggaung di seluruh lantai. Setiap individu tidak peduli siapa yang diinjaknya selama perjalanan keluar. Mereka hanya ingin menghirup udara luar meskipun rela mati terinjak di tengah jalan. Tak lama kemudian suara tembakan meletus tepat di bawah lantai yang kupijak, lalu diiringi rentetan tembakan lainnya, setelah itu suara senjata api menghilang. Jumlah peluru yang ada di senjata mereka tidak bisa menghentikan laju para tawanan ini.

Mendadak lantai ini kembali kosong. Hanya meninggalkan aku dan Pasukan Benalu lain yang berhasil menyempil di tembok sembari menahan laju para tawanan. Clara dengan sigap memberikan gestur kepada anak buahnya untuk maju perlahan. Sosoknya berjalan paling depan memberi visual tentang apa yang dilihatnya, termasuk memberi estafet pistol yang ditemukannya ke anak buah belakang dari para penjaga yang tak sadarkan diri. Diikuti oleh Syarif yang membopong Sadik, tubuhnya masih lunglai namun kakinya masih dapat merespon dengan berjalan dan terus berjalan tanpa sepatah katapun. Aku yang dibelakangnya hanya bisa mengatur nafas tenang.

Huru-hara dapat terlihat dari pintu masuk gedung universitas. Suara tembakan masih terdengar keras di sebelah barat. "Ceritakan padaku Mir apa yang terjadi disana?" Clara menatapku sembari berlari.

"Ada pertempuran besar disana!" jawabku sibuk mengambil nafas.

"Apa Pasukan Elang? Kenapa mereka datang dari arah kabut?"

"Itu bukan Pasukan Elang ra! Monster-monster itu keluar dari persembunyian mereka."

Matanya langsung melotot sedemikian rupa. "Apa yang sebenarnya mereka cari disini?" gumamnya kecil.

Mulutku terkunci rapat. Jika ia mengetahui bahwa kejadian ini ada kaitannya langsung denganku, tidak mengerti lagi apa yang akan dilakukannya padaku sebentar lagi.

"Berhenti disitu! Hey kalian!" seseorang terdengar seperti berbicara pada kami. Aku dapat melihat orang-orang berseragam coklat berlari disamping kami. Meskipun warga biasa pada berlarian di samping kanan kami, namun tatapan mereka tertuju pada kami saja.

Perlahan tangan mereka merogoh casing senjata namun tim Pasukan Benalu di belakangku menembakkan senjata duluan. Tidak peduli dahulu Pasukan Aliansi yang merupakan teman kami, peluru dari teman-temanku mengarah langsung ke kepala mereka. Pasukan kompleks di belakangku sudah sangat marah dikhianati dan sekarang apa yang dilakukan mereka sudah menjadi tanpa ampun. Tembak sampai mati!

Aku mengaktifkan mataku dengan 2x kedipan mata, tiba-tiba sebuah simbol aneh muncul sesaat untuk menandakan akan aktifnya mata tersebut. Orang-orang yang melihatku di sebelah kanan tiba-tiba terjatuh serentak. Dengan 2x kedipan, penglihatanku kembali normal. Sisa Pasukan Aliansi kemudian berhenti mengejar ketika melihat tumbangnya pasukan mereka di bagian depan.

Namun di depan beberapa personil berdiri begitu saja menghadang jalan kami. Senjata berat mereka diarahkan siap menembak. Clara menghentikan langkahnya lalu perlahan-lahan menjatuhkan pistol yang digenggamnya. Dalam jarak seperti ini, pistol tidak ada apa-apanya dengan bidikan menggunakan senapan berat.

Sekali lagi aku menggunakan kekuatan terkutuk ini. Para prajurit dihadapanku rubuh seketika. Semuanya menahan rasa kaget dan terus melangkah maju. Tidak ada yang mengeluarkan sepatah kata pun melihat keanehan yang terjadi. Mereka dengan cepat memungut senapan besar dari tentara yang tak sadarkan itu. Keluar dari kota ini adalah satu-satunya prioritas kami.

"Jalanan di depan langsung menuju pada Tol Pantura, kita akan kembali pulang!" Clara menunjuk jalanan biasa di samping jalan utama yang mengarah ke Kota Sumedang sembari mengumpulkan kembali nafasnya. Mereka kemudian berbaris rapi sambil melangkahkan kaki mereka ke arah jalan itu. Kemudian matanya menatapku yang tidak pergi bersama mereka.

"Kau tidak ikut?"

Aku menggeleng. "Tidak … kau hendak menangkap penjahat sepertiku untuk diadili?"

"Oh iya aku hampir lupa statusmu," ia sudah tidak semarah sebelumnya namun malah terlihat lelah. "Kau mau pergi kemana?"

Kenapa wanita ini ingin tahu sekali? "Ke Ciragam! Ada urusan penting disana."

"Mau bunuh diri masuk sana? Mening sekalian diadili di kompleks, kau bisa bertemu teman-teman semeja kita sebelum dipenjara. Itu semua lebih baik daripada mati konyol di kota terkutuk itu. Belum lagi Kota Sumedang yang menjadi area peperangan di ujung jalan ini. Tapi yah terserah kamu!" Sosoknya langsung berlari mengikuti pasukannya.

"Sepertinya aku akan berada di Sumedang lebih lama," sebuah teks tertulis jelas di mataku. Sudah 5 menit teks ini muncul di hadapanku saat berbicara dengan Clara, tapi ia seperti tidak menyadarinya.

"Temui aku di Sumedang! Ada yang ingin kubicarakan!"

"Tertanda William Faustus"

Apa yang sebenarnya keparat itu inginkan? Aku menatap matahari pada jalan dibelakangku perlahan-lahan menghilang. Hawa dingin berembun mulai berhembus dari setiap hembusan nafas ini. Jalanan di depanku perlahan diselubungi oleh kegelapan. Tanganku menggopoh korek api yang isinya sisa 4, lalu menerangkannya pada dahan terdekat yang aku temui.

Tunggu dulu … kenapa jalanan di hadapanku masih dapat kulihat? Arah cahayanya bukan berasal dari batang pohon, melainkan mereka hanya terlihat namun dengan warna abu-abu. Semua benda di hadapanku antara berwarna hitam pekat atau abu-abu, tidak ada warna pelangi. Aku menjatuhkan batang pohon yang sudah terlanjur terbakar ujungnya. Aku merasakan sensasi hangat pada saraf-saraf mataku.

Di sepanjang jalan, warga mulai menaruh lilin yang dapat terlihat dari jendela mereka. Namun tidak seorang pun yang keluar. Layaknya kota hantu di tengah malam. Sebuah poster tertiup kencang oleh angin dingin. Untung tanganku dapat menangkapnya sebelum terbang kemana-mana.

Sebuah tulisan besar terpampang memenuhi seluruh permukaan kertas. Seolah-olah sang penulis poster ingin pembacanya langsung mengerti apa yang dimaksudnya.

"Bahaya Bandit!"

Bandit? DI area pengawasan Pasukan Aliansi? Jadi maksudnya tidak adanya prajurit disini sudah kejadian yang wajar? Namun suara anak kecil terdengar tidak jauh di depan. Ia dan empat anak lainnya terlihat sedang bermain. Empat anak lainnya dapat kulihat bersembunyi tidak jauh dari satu anak yang sedang menutup mata sembari menghitung mundur.

Anak pencari kemudian berlari namun kedua tangannya diangkat setinggi bahu. Semua benda yang berada di depannya ia raba untuk beberapa saat. Sesekali aku dapat melihat seorang anak berlari melewati si anak pencari begitu saja. Si Anak pencari berteriak 'siapa itu?' berulang-ulang. Sebenarnya seberapa gelap sih tempat ini menurut mereka? Lalu kalau memang situasinya segelap ini, kenapa mereka bermain petak umpet?

"Toloooong!" salah seorang anak yang kepalanya ditengadahkan dari belakang pagar tiba-tiba menghilang. Aku langsung berlari mengikuti erangan di belakang salah satu rumah tersebut. Sekelompok pria sedang menyeret anak itu ke dalam hutan.

Chapitre suivant