webnovel

Pilihan Sulit

Halaman kompleks terlihat seperti kota hantu. Semua kegiatan mondar-mandir dari kegiatan transisi siang ke malam lenyap begitu saja di beberapa sudut dari kejauhan, kami dapat melihat beberapa lampu sorot bersusah payah mencari mangsa di yang meringkuk dalam kegelapan malam.

Layaknya vampir, Leo dengan sigap menghindari arah datangnya cahaya itu. Kami pun mengikutinya dari belakang. Jantungku berdebar-debar, kita benar-benar melakukan tindakan terlarang seperti ini.

Kegelapan adalah zona aman kami sekarang, kalau sampai ada satu butir partikel cahaya mengenai tubuh kami, semuanya berakhir. Aku tidak akan bisa melihat wajah teman-temanku lagi, kalau sampai nasib mempertemukanku dengan mereka, mata mereka pasti akan jijik hanya memandangku. Selain itu, aku pasti akan benar-benar mati.

Aku melihat si kerdil itu menyeberang dari satu jalan ke jalan lainnya, menghindari cahaya lilin yang menghiasi layaknya kunang-kunang. Ia dengan rajinnya mengintip dari pojok bangunan untuk melihat-lihat siapa saja di sisi lainnya.

Namun penjagaan di bagian utara pabrik tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan bagian selatan. Dari kejauhan kami dapat melihat beberapa anggota divisi malam berkumpul menyalakan lampu sorot mereka.

Leo pun terdiam sebentar sepertinya melihat situasi yang tidak kunjung membaik, kemudian memberi sinyal dengan sigap. Sudah beberapa kali kami harus melewati penjaga yang hanya berjarak beberapa meter bahkan senti dari kami.

"Itu dia jalan untuk keluar," bisik Leo. Di tengah jalan, ia menunjuk suatu bangunan gelap yang nampak familiar dihadapanku. Lingkungan bangunan tersebut gelap, bahkan lebih gelap daripada bangunan-bangunan bagian utara.

Sementara dihadapan kita merupakan jalan utama kompleks yang permukaannya dilapisi oleh lampu sorot dari berbagai macam sumber, seluruh jalan utama sudah seperti las vegas saja.

"Bagaimana sekarang?" bisikku kepada Ratna. Namun ia hanya menggeleng sambil memperhatikan Leo yang sedang diam 10 menit. Matanya memperhatikan jalanan utama di depannya dengan penuh perhatian. Pantas saja, banyak divisi malam yang berlalu lalang di hadapan kami.

"Jalanan ini seharusnya tidak seramai ini pada jam segini," Leo terlihat gelisah.

"Memangnya apa yang terjadi?" tanyaku ingin tahu yang ada di balik pikirannya.

Ia tidak menggubris pertanyaanku.

"Sudah berkali-kali kami lewat jalan ini untuk mengantar klien tapi tidak pernah melihat patroli besar-besaran seperti disini," jelas Ratna.

"Sial padahal sedikit lagi!" Leo menggigit keras jempolnya.

Ada sekitar 1 orang per 5 meter di jalan tersebut. Sudah seperti ada kejadian tabrak lari di jalanan dan orang-orang bergerombol di sekitar TKP. Fuad hanya berjongkok melihat lalu-lalang orang di hadapannya.

Ia tampak berpikir namun raut wajahnya tidak jauh beda dengan Leo dimana mereka berpikir keras namun disaat bersamaan bergumam bahwa semua solusi tidak akan mungkin. Lupakan soal 3 orang lainnya di belakang, jari-jari mereka menahan sebatang rokok yang terlanjur dinyalakan.

Hanya sebuah pengalihan yang dibutuhkan untuk membuat mereka menjauh dari jalanan ini. Maksudnya pengalihan seperti penyerangan musuh dari luar atau insiden kebakaran. Tapi seseorang hanya bisa bermimpi kejadian 1 banding semiliar tersebut akan benar-benar terjadi.

Yang lebih logis adalah kami butuh seseorang untuk datang ke tengah jalan lalu mengalihkan perhatian mereka. Orang-orang ini pasti mempunyai pikiran yang sama denganku tapi tidak bisa menunjukkan sosok mereka karena takut akan dilakukan penyelidikan terhadap, kecuali ...

Mereka semua menatapku ketika aku mulai beranjak. Segala upaya mereka lakukan untuk menarikku kembali tapi sudah terlambat. Sosokku sekarang berada di tengah jalan bermandikan cahaya lampu sorot. Para prajurit ada yang menodongkan senjatanya ke arahku tapi kebanyakan berlari menghampiriku. Tanganku menjulang tinggi diatas.

"Apa yang kamu lakukan di atas jam malam, kadet?" tanya salah satu orang dengan moncong senapan 1 meter dihadapanku. Silaunya lampu sorot yang terus difokuskan ke arah wajahku membuat lawan bicaraku tidak bisa diidentifikasi.

"Anu, saya ingin melaporkan ada kegiatan mencurigakan di bagian kompleks utara."

"Oiya? Kegiatan mencurigakan apa itu?" tanya seorang lelaki bersuara sangat parau.

"Orang-orang bertudung banyak keluar masuk dari beberapa bangunan."

Suara tertawa terdengar dari gerombolan mereka. "Lalu kamu diluar sini ngapain kecuali hanya melaporkan saja?"

"Nanti akan kuceritakan semuanya aku janji."

Terdapat jeda dan adu bisik-bisik diantara mereka. Apa aku sudah meyakinkan dihadapan mereka? Pikiranku hanya mengulangi kalimat itu saja hanya untuk menenangkanku. Lantas mereka semua dibelakangku, mengikuti kemanapun langkah kakiku menuntun mereka.

Sesampainya di bagian utara kompleks, telunjuk kanan menunjuk pada bangunan yang di bagian kananku. Tempat tersebut hanya berjarak 1 bangunan dari tempat persembunyian mereka. Secepat kilat telunjuk ini mengarahkan tangannya pada bangunan tempat persembunyian yang asli. Seolah tangan ini memiliki sisi keadilannya sendiri dan berusaha untuk meluruskan semua kesalahan yang telah kuperbuat.

"Kau melihat sesuatu di kedua bangunan itu?" tanya suara tadi.

Leherku mengangguk sekuat tenaga berusaha mendapat simpati mereka.

Serentak ia membagi pasukannya menjadi 2. Mereka dengan cepat melintasi diriku bagai hembusan angin kencang, satu menuju bagian bangunan kosong dan satu lagi menuju persembunyian yang sebenarnya.

Sekilas aku dapat melihat atribut dari orang paling belakang. Sebuah lingkaran besar berada tepat di bagian belakang pakaiannya, kira-kira menutupi sebagian besar punggungnya. Gambar sebuah ujung mawar merah dan batangnya berwarna hijau lalu terdapat 3 batang tipis yang terlihat putus dari batang mawar tersebut.

Hanya beberapa penjaga yang tersisa di luar kira-kira 2 atau 3 orang saja. Sesuatu menyentuh pundakku. Reflex, aku menoleh. Seseorang yang periang dan teman baik. Tapi akhir-akhir ini ia tampak sinis.

"Amir, bro, kenapa kau bisa diluar jam segini?" tanya Bobby tak kalah terkejutnya denganku ketika melihat satu sama lain.

"Ceritanya panjang euy, oh iya ngomong-ngomong kau bagian dari mereka," tanyaku heran melihatnya yang divisi siang ikut shift divisi malam.

"Betul, kami adalah Gugus pencabut benalu dari divisi malam. Lebih tepatnya aku hanya sukarelawan sementara, karena mereka sedang butuh-butuhnya mencari orang." Tangannya menggaruk belakang kepala. "Belakangan ini kami menyelidiki suatu organisasi pengkhianat disini, kau baru melihatnya ya di bangunan itu?"

"Aku tak sengaja melihat mereka diam-diam dalam kegelapan, makanya aku lapor kalian. Ngomong-ngomong apa ada kamar kecil disekitar sini?" Aku berusaha terlihat gelisah.

Bobby menarikku menuju 3 orang yang berkumpul di tengah jalan. Ia meminta izin pada salah seorang disana yang mungkin atasannya di lapangan. Namun hanya dibalas dengan membuang tangan kanannya seolah tidak peduli.

Bangunan tempat kamar mandi terdekat tidak begitu nyaman meskipun menurut standar kompleks yang pas-pasan. Tidak bisa dibedakan antara jalanan berlumpur atau kamar mandi di bangunan ini. Semuanya hanya berwarna coklat namun anehnya tidak sebau yang kukira. Ya sudahlah lagian ini hanya buang air kecil.

Bobby berada tepat di luar pintu kamar mandi tanpa kusadari.

"Ayolah Mir, jadi kenapa kau berada di luar sini sendirian?"

"Baiklah By, akan aku beritahu tapi jangan kaget atau beritahu yang lain ya!"

"Percayalah nggak akan kuberitahu yang lain, jawabnya tertawa.

Aku mengambil nafas dalam. Berusaha mengeluarkan keraguan di ujung lidah. "By ini penting banget, aku sebenarnya ingin kabur dari tempat ini."

Bobby tertawa. "Emang gimana cara keluar dari sini?"

"Aku mendapat bantuan dari beberapa orang yang bersedia membantuku kabur, dan sekarang menungguku", jawabku dengan wajah sedatar mungkin.

Wajah Bobby berubah tajam. Ia mulai menghalangi jalan keluarku dari toilet. "Dan dimana orang-orang ini Mir?"

"Aku tidak bisa memberitahumu dulu, kecuali kalau kau ikut denganku sekarang, kita mulai hidup kita masing-masing di luar kompleks tanpa terikat aturan tempat ini lagi."

Ia mundur perlahan. Matanya melebar. Aku baru saja menaruh harapan pada seorang teman, semoga dia sadar bahwa ada kehidupan yang lebih baik di luar tempat ini. "Darimana kamu tahu kalau di luar lebih baik daripada di dalam sini, perang terjadi dimana-mana Mir di dalam kurungan kabut ini. Jadi orang-orang ini yang memberitahumu hal tidak meyakinkan ini?" jelasnya menepuk bahuku.

"Bukan mereka yang memberitahuku untuk pergi dari sini, tapi Melodi."

Bobby menjambak rambut pada pelipis kiri kanannya. "Dimana dia sekarang?"

"Di luar," jawabku singkat.

"Lah bagaimana pacarmu mengontak dari luar?"

Tanganku menyerahkan lipatan surat dari kantong celana pdl. Bobby langsung menggeleng setelah membacanya.

"Ini tak membuktikan apa-apa Mir, bisa saja orang-orang yang kau maksud itu menuliskan surat ini untuk menjebakmu saja." Tangannya melepas sehelai kertas itu begitu saja di atas lantai kotor.

Kepalaku memanas, aku langsung memungutnya. "Kau salah By! Aku mengenal tulisan khas ini yang hanya dimiliki oleh Melodi. Ia memanggilku agar tidak terus diam di tempat tidak jelas ini. Ini pilihanku!".

Sebuah pukulan menabrak pipi kiriku. "Lalu kamu akan melupakan kami begitu saja begitu ya Mir? Baru beberapa jam yang lalu kita berenam bersumpah agar terus selalu bersama sampai kabut ini berhasil ditaklukkan. Jangan-jangan ... jangan-jangan yang tadi itu adalah upacara perpisahan untukmu?"

"Jika kau ingin pergi denganku, ayo! mereka menunggu. Kalau tidak, jangan halangi aku!"

"Kau tahu Mir, kayanya kau harus berhenti sekarang." Ia melaju ke arahku.

Chapitre suivant