webnovel

Mukjizat dan Harapan 1

Pasukan Aliansi .... Mereka dibentuk setelah pembantaian di Kotabaru Ciragam itu. Dengan mengumpulkan elemen pemerintahan yang masih tersisa, mereka menetapkan nama dan atribut pasukan baru tapi dengan mempertahankan konstitusi yang ada pada Pemerintahan Indonesia seperti Pancasila dan UUD 1945 namun mempunyai tujuan utama mengalahkan Pasukan Elang.

Kekalahan demi kekalahan terus terjadi melawan Pasukan Elang yang mempunyai jumlah pasukan jauh lebih kecil. Area yang dulunya luas semakin kecil dan mengecil yang sekarang bertahan hanya beberapa kilometer di depan Kota Sumedang. Parit berlapis-lapis memenuhi kota itu dengan harapan tidak akan jatuh seperti daerah lainnya.

Namun dengan Pasukan Aliansi yang sekarang, hanya menunda kekalahan yang ada. Karena mereka yang sekarang seperti mayat hidup yang berjalan. Mempunyai tujuan sebatas mengalahkan Pasukan Elang, tapi tidak bisa memberikan jawaban yang baik setelah itu. Seperti dimanakah pemerintah selama ini? Berbeda dengan Pasukan Elang yang berusaha hidup dengan keberadaan kabut dan memanfaatkan keberadaanya untuk mengukuhkan kekuasaan di dalam sini.

================================================================

"Siapa namamu lagi prajurit?".

"Prajurit Nova, Nyonya!" ujar prajurit yang sedikit lebih tinggi dariku malu-malu. Gelagat bicaranya seperti anak buahku, setiap nada yang dikeluarkan berusaha untuk membuatku tidak marah. "Kita mau pergi kemana, Nyonya?"

"Terus ke barat Nov."

"Tapi 2 kilo ke arah sana sudah berkabut", jelasnya dengan nada panik.

"Aku tidak peduli!" jawabku tanpa menoleh ke arahnya.

"Siap!"

Pikiranku masih belum tenang setelah pertemuan itu. Tak kusangka aku harus bermain muka di hadapan seorang pengkhianat. Ini gawat, kenapa Pasukan Aliansi begitu saja mau menerima pengkhianat macam Melodi? Bukan hanya itu, orang di belakangku langsung menurut ketika seenaknya diperintahkan olehnya.

Kesimpulan yang dapat ditarik yaitu Melodi punya kedudukan disini dan Amir benar-benar berada dalam cengkramannya. Lalu catatan Melodi yang memicu semua ini ditambah kedudukan Melodi dan kepergian Amir, semua hubungan tersebut dapat memicu perang yang tidak diinginkan antara Pasukan Kompleks dan Pasukan Aliansi.

Padahal kita masih membutuhkan Pasukan Aliansi di barisan depan sementara Pasukan Kompleks memberikan sumber daya pangan untuk melawan Pasukan Elang yang kian menggerogoti.

Selain toko-toko dan merek brand yang sudah terbengkalai, pemandangan di luar tempat menginap itu membuatku tercengang setengah mati. Berbagai poster dan spanduk dipajang sejauh mata memandang.

Seperti poster-poster propaganda yang ada di kompleks, tapi anehnya dengan konten yang berbeda. Lebih menyeramkan dari yang pernah kubayangkan.

Aku mengernyitkan gigi ketika melihat sosok yang muncul di poster-poster itu. Sosok Melodi namun dengan tidak ada namanya yang tertulis beriringan dengan sosoknya, melainkan tulisan 'Sang Penyelamat' besar.

Mataku terbelalak. Kalimat yang sering kujumpai yaitu 'Sang Penyelamat akan membebaskan kita' dengan sosok Melodi yang kecil dihadapan kabut di depannya membawa sebuah tongkat, lalu 'Basmi mereka semua' yang memperlihatkan Melodi berperban dan berkulit gipsum bersama Pasukan Aliansi berdiri di atas tumpukan Pasukan Elang di dekat Kota Ciragam yang terbakar.

Selain itu banyak patung sepanjang mata memandang memperlihatkan sosok wanita berperban dengan sayap malaikat di belakang punggungnya. Tidak ada yang memprotes pemandangan ini, warga sipil dan pasukan aliansi tidak menggubrisnya. Apa Bandung selalu seperti ini? Rasanya seperti belum terbangun dari mimpi buruk.

"Bisakah aku menemui gubernur?", tanyaku menyembunyikan ketakutan.

Matanya menatapku sejenak. "Ia tidak bisa ditemui sekarang, kau harus buat janji terlebih dahulu. Itupun akan makan waktu kira-kira 2 hari agar masuk di jadwalnya", jelasnya.

"Kami berhasil menerobos kabut itu dan menemukan korban dari luar kabut haloo, kabar tersebut harusnya jadi prioritas kan?"

"Maaf ini perintah gubernur. Tunggulah dulu beberapa hari".

Aku tidak berkata apa-apa. Apa hubungan semua ini dengan aku ditahan sekarang? Katanya sih untuk pemeriksaan setelah pertarungan kemarin. Tapi aku sehat-sehat saja kok.

Kalau mereka masih tidak akan memberikan aku izin untuk kembali ke kompleks setelah kira-kira 3 hari, aku akan menemukan jalan keluarku sendiri. Tidak peduli aksi itu akan menghancurkan nama baikku atau memicu perang lainnya. Sebelum itu tapi aku harus bertemu dengan gubernur dulu.

"Oh ya, anda pasti kaget dengan pemandangan semua ini", tawa Nova tiba-tiba.

Aku menatap Nova balik, ingin sekali aku mengguncang kedua bahunya, "Apa yang terjadi pada tempat ini?"

"Suatu hari, Kedatangan Sang Penyelamat dan utusannya memberikan keajaiban pada kota ini. Dengan keajaiban itu kami melihat sosok yang dapat menyelamatkan tempat ini dari gempuran Pasukan Elang. Ia memberi harapan pada tempat ini bahwa ada jalan untuk menghilangkan kabut. Ehem ... Secara singkat, kami semua melengserkan gubernur yang kerjaannya menyengsarakan rakyat itu dan mempersilahkan wanita di poster itu untuk memimpin pasukan ini bersama Bandung dan Sumedang," jelasnya dengan tersenyum.

"Jadi sekarang gubernur benar-benar telah tiada? Kalo gitu kenapa membohongiku?"

"Sebelumnya aku kira kalian warga kompleks sulit menerima kenyataan di tempat ini, tapi sepertinya aku salah," jawab Nova sedikit tertawa.

"Kami jujur tidak peduli apa yang terjadi pada pemimpin kalian, yang kami sulit terima adalah fakta bahwa kalian tidak mengirim utusan kalian ke kompleks untuk berdagang."

Nova menarik nafas. "Jadi begini ... Sang penyelamat memutuskan untuk tidak berhubungan dengan pasukan kompleks lagi."

"Kalian tidak bisa membatalkan perjanjian secara sepihak begitu saja."

"Terus apa yang akan kompleks lakukan kalau kenyataannya seperti ini?" tanyanya dengan wajah datar.

Aku hanya bisa menatap diam lawan bicaraku. Tidak kusangka kehormatan kami diinjak-injak oleh orang-orang yang telah dicuci otaknya. Ingin sekali kusuruh dia menarik ucapannya. Tapi entah kenapa aku bisa mencium aroma kejahatan pekat mengalir di udara.

Jika aku melakukan tindakan bodoh, seluruh tempat ini akan bereaksi melawanku. Tetapi ini sangat sulit dipercaya oleh akal sehat, kadet yang hilang di kompleks dapat mengambil alih 2 kota besar di area dalam kabut, namun bukan itu saja, pasukan yang dulu paling berpengaruh sekarang mulai mengagung-agungkan namanya. Bagaimana ia dapat melakukannya?

"Apa aku tawanan kalian?" tanyaku memastikan.

"Tidak, kecuali kalian sudah menjawab pertanyaan terakhir dari Sang Penyelamat," jelas Nova.

"Pertanyaan apa itu?" tanyaku bingung.

"Apakah kalian siap menjadi salah satu dari kami?" ujarnya perlahan, "Waktu kalian sampai besok untuk menentukan jawaban yang tepat di hadapan sang penyelamat, ia akan senang dengan orang-orang yang telah menantang maut di hadapan kabut".

Aku terdiam. Kenapa sih aku mengejar si bodoh itu? Andai saja kubiarkan dia kabur. Sekarang berkatnya, entah masuk perangkap apa aku. Tidak ada kata ya untuk penyihir itu. Akan kubuat jalan keluarku sendiri dan memberitahukan keanehan ini kepada kompleks. Tapi aku harus menyingkirkan pengganggu satu ini dulu.

"Sekarang kau akan membawa kita kemana Nov?", tanyaku.

"Aku hanya sebagai pemandu selama anda disini, terserah nyonya mau kemana asal masih di dalam kota ini", jawabnya.

Mataku tidak bisa mengalihkan penglihatannya pada bangunan yang samar-samar tertutup kabut dari kejauhan. "temani aku lihat kabut yang ada disana".

"Siap!", ujarnya santai dengan senyuman tak mengenakkan.

"Ngomong-ngomong sudah berapa lama kamu menjadi prajurit?" tanyaku penasaran.

"Sejak sebelum kejadian di Ciragam, Nyonya!" ujarnya sedikit tertawa. Kabut yang samar-samar terus melambai dari kejauhan. Kakiku mulai bergetar, tanganku tidak nyaman ketika tidak digerakkan.

Hawa dingin menyelubungi semakin kaki kulangkahkan. Nafas semakin tidak beraturan. Tapi sensasinya berbeda daripada saat peperangan itu. Padahal masih belum mendekatinya. Apa aku takut? Tentu, aku sangat takut. Setelah melihat makhluk itu secara langsung ingin membunuh kami.

Tidak pernah terpikirkan olehku untuk masuk ke dalam sana. Kalau bukan karena tindakan bodoh dan gila Amir aku pasti belum pernah merasakan rasa takut begitu dahsyatnya. Tapi kenapa perihal kabut baru terlintas di kepalaku? Apa kesibukan di kompleks membuatku lupa kalau kita semua yang di dalam lingkaran kabut sangat kesusahan?

Chapitre suivant