# Seks adalah dua tubuh yang terjerat nafsu. Tapi bercinta, kau butuh dua hati untuk sejalan dan saling mengerti.
.
.
.
Pagi, Aleta bangun dengan kepala yang sangat pusing. Dia berharap bisa melihat pemandangan di kanan maupun di kiri. Dia berharap jika Lucas masih ada di sana, maka Aleta akan pergi terlebih dahulu untuk menuju kamar mandi.
Sungguh. Rasanya kotor sekali. Aleta ingin menyentuh air. Aleta ingin pergi dari sini. Dia tak ingin tidur lebih lama atau bisa bermimpi buruk telah berhubungan seks dengan pamannya sendiri. Ini gila! Ini sudah tidak waras! Namun ketika Aleta meraba ke sisi kanannya, wajah Lucas ternyata ada di sana.
DEG
Aleta pun menarik tangannya. Dia berharap bisa segera bisa beringsut mundur, tapi Lucas mengambil pergelangan itu dan menaruhnya di pipi. "Aleta, pagi…" sapa lelaki itu dengan suara yang teramat lembut.
Bulu kuduk Aleta sampai meremang lagi karenanya. "L-Lepas…" pinta Aleta pelan. Dia gemetar. Dia terlihat sangat takut, tapi Lucas justru menarik punggungnya mendekat dan mendekapnya di dalam kehangat selimut tebal itu.
"Kuemu masih utuh. Tidak ingin memotongnya sekarang bersamaku?" tanya Lucas.
Aleta pun menggeleng pelan. "Tidak…" katanya. "Yang kumau kau pergi. Paman, bisa cepat pergi dari sini?"
Aleta memukul dada Lucas dengan kepalan tangannya. Lucas jutru mengambil tangan itu dan mengecup bagian telapaknya. "Tidak… tidak… kita harus bangun bersama sekarang," kata Lucas. Lalu mendekatkan kue tart Aleta yang lilin-lilinnya sudah pendek dan padam. "Kau kan belum mencicipi kuemu. Bagaimana?"
"Tidak mau…"
"Kau mau melewatkan 'make a wish?'"
Jawaban Aleta sangat tajam. "Boleh aku memohon kau yang mati saja?"
DEG
Lucas hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia menarik nampan mendekat, dia memotong kue itu secuil, menaruhanya di piring, dan menyendok satu suap untuk Aleta.
"Buka mulutmu," kata Lucas. "Ini potongan pertama."
Aleta membuang muka. "Kau tidak pernah mendengarkan permintaanku."
Lucas tetap menyodorkan sendok itu di bibir Aleta hingga masuk perlahan-lahan. "Permintaanmu tidak untuk kebaikan. Bagaimana bisa aku mengabulkannya?"
Aleta meremas selimut dan memegangnya erat-erat. Rasanya malu sekali. Dia tahu semalam Lucas sudah melihat segala sisi tubuhnya, tapi menghadapinya lagi sangat-sangat sulit.
"Bagus… bukankah kue cokelatnya sangat manis?"
"Tapi... tapi aku harusnya tidak berharap kau yang mati…" kata Aleta. Justru dia menangis dan mengulum kue dalam mulutnya itu dengan kesulitan. Dia mengusap mata yang basah dengan punggung tangan. Rasanya sakit sekali menjadi seperti ini. "Kau dibutuhkan banyak orang. Aku tidak. Jadi aku berharap aku saja yang mati…"
Lucas justru mendekapnya. "Kau tidak boleh mati karena aku masih membutuhkanmu," katanya. "Kau jangan salah paham, Aleta. Aku menyentuhmu karena mencintaimu. Kau pikir aku akan melakukan ini ke sembarang orang?"
"Tapi aku… aku tidak boleh seperti ini denganmu…" kata Aleta. "Kandung atau tidak, kau adalah pamanku. Aku tidak mau jadi seperti ini."
"Dengar, Aleta. Kau harus mengingat kata-kataku dengan baik kali ini," kata Lucas. "Apapun yang kulakukan padamu… suatu saat kau pasti akan mengerti. Kau hanya harus fokus kepada kesehatanmu saat ini. Jalani terapinya dengan baik. Latih kedua kakimu. Jika kau bisa, itu akan mengubah segalanya."
Aleta tidak mengatakan apa-apa. Dia hanya meringkuk di ranjang itu hingga Eve datang. Padahal Lucas sudah sempat ingin membantunya mandi juga, tapi saat lelaki itu akan menggendong tubuhnya … Aleta tak tahan lagi dan memilih mengusirnya pergi.