webnovel

MSL - BAB 5

Aku memilih sebuah terusan dengan warna nude dan potongan paling sederhana di dalam lemari itu. Kurasa itu satu-satunya pakaian yang pantas ku kenakan karena yang lain terlalu glamour bagiku. Aku tidak biasa berpakaian terlalu mewah, karena aku memang terlahir untuk tidak mengengal apa yang disebut kemewahan sama sekali.

"Sir." Aku menunduk sekilas untuk memberikan hormat padanya karena kulihat dia sudah duduk di meja makan lebih dulu daripadaku. "Maaf membuat anda menunggu." Sesalku.

"Gaun itu sangat cocok untukmu." Jawabnya.

"Duduklah."

"Thanks."

"Pilih makanan yang kau suka." Katanya dan aku melihat semuanya tampak lezat di atas meja, tapi aku harus tahu diri, jadi kupilih salad, piring yang paling dekat denganku.

"Makanlah daging, kau terlalu kurus." Katanya lagi sambil menatapku dan menukar piring salad yang kuambil dengan sepiring steak dengan daging premium dan saus yang tidak bisa kusebutkan namanya tapi tampak sangat lezat.

"Bagaimana, kau menykai pekerjaanmu?" Tanyanya dan itu membuatku menatapnya.

"I love it." Jawabku dengan senyuman, entah mengapa aku merasakan pipiku memanas.

"Good." Dia tersenyum menatapku. "Don't forget to report me by email."

"I'll report you to night." Jawabku yakin, aku benar-benar tidak ingin mengecewakannya.

"Ok, you can check your virtual account when you finished your dinner."

"You pay me?" Tanyaku ragu, dan dia tersenyum. "Yep."

"As that fast? anda bahkan belum tahu hasil kerjaku."

"I know I can count on you." Jawabnya, dan kulihat sepanjang obrolan kami, dia bahkan tidak memasukkan sepotong makananpun ke dalam mulutnya.

"Oh ya, aku hampir melupakan sesuatu." Katanya mengejutkanku. "Aku tidak bisa mempekerjakan dengan anak dibawah umur, jadi aku harus tahu berapa usiamu sekarang?"

"Dua puluh tahun." Jawabku.

"Ok good."

"Selesaikan makan malammu, aku ada pekerjaan di ruanganku. Kau bisa bertanya pada pelayan dimana ruanganku jika kau butuh sesuatu. Enjoy the meal."

"Thank you Sir."

Dia meninggalkanku begitu saja, entah apa yang akan dia lakukan yang jelas, dia pasti orang yang sangat sibuk. Aku jadi berpikir, dunia ini mengapa begitu tidak adil. Dibagian lain kota ini ada sebuah panti asuhan dengan rumah yang sempit dan beberapa anak tanpa orang tua yang tinggal dalam banyak keterbatasan. Tapi di sini, ada seorang pria yang tinggal tanpa anggota keluarga lainnya, dia punya cukup banyak kamar untuk di tempati, sangat banyak makanan untuk dinikmati tapi disia-siakan olehnya.

Andai makanan ini bisa ku bawa pulang untuk anak-anak dipantiasuhan tempatku dirawat dulu. Aku termenung menatap steak yang sudah terhidang di hadapanku, bagaimana bisa aku makan makanan seenak ini sementara adik-adik panti asuhanku mungkin saja belum makan.

***

"Bisakah aku membungkus makanan itu?" Aku mengirim pesan singkat pada Mr. Christ, setelah mempertimbangkan dengan sangat lama, apakah aku harus meminta padanya atau tetap bertahan dengan rasa gengsi dan malu yang ada pada diriku.

Ponselku langsung bergetar.

"Kau ingin membungkus makanan?" Tanyanya dengan suara bingung.

"Ya." Anggukku malu, aku memegangi keningku, entah bagaimana aku harus menyembunyikan wajahku sekarang ini.

"Untuk apa? Kau akan menginap malam ini. Makanlah sepuasmu." Imbuhnya.

"Em . . . aku ingin membawa makanan itu ke panti asuhan karena kupikir kau sudah tidak membutuhkannya di sini." Jujurku, oh sial . . . mengapa aku jadi seperti peminta-minta sekarang ini.

"Berikan aku alamatnya, supirku akan mengantar makanan ke sana sekarang juga."

"Apa?" Aku terkejut mendengar kalimatnya.

"Berapa orang yang tinggal di tempat itu?"

"Dua puluh lima orang." Jawabku.

"Aku pastikan mulai sekarang mereka tidak akan kelaparan. Berikan aku alamatnya."

"Thank you." Mataku berkaca dan aku tidak bisa menahan getaran dalam suaraku. Aku hampir menangis kurasa, oh tidak, sudah menangis lebih tepatnya.

"Selesaikan makan malammu, dan istirahat." Dia mengakhiri panggilannya dan aku menangis tersedu di meja makan. Beberapa orang memperhatikanku kurasa tapi mereka berusaha tidak mendekat dan memberikan ruang untukku menangis.

Chapitre suivant