Suasana sekolah begitu ramai, pembicaraan para guru itu terdengar begitu mengganggu di telinga Mesya.
Hatinya merasa tak tenang, dia memikirkan keadaan sahabatnya saat ini.
"Pasti, Zahra, sedih banget," tukas Mesya dengan mata berkaca-kaca.
Mesya masih berdiri memandang para guru yang sedang membicarakan ibunya Zahra yang baru saja meninggal itu.
Dan tiba-tiba saja di belakang ada seseorang yang memegang rambutnya dengan lembut.
"Mesya, kamu sedang apa di sini?" tanya wanita itu.
Wanita itu adalah Riska wali kelas Mesya saat ini.
"Kamu pasti juga turut bersedih ya, mendengar Zahra mendapatkan musibah seperti ini?" tanya Riska.
"Iya, Bu Riska, Mesya sedih banget, Mesya ingin bertemu Zahra, apa boleh Mesya ikut, Bu Riska, untuk pergi ke rumah Zahra?"
Riska terdiam sesaat.
"Bu Riska, dan para guru-guru yang lain akan pergi ke sana, 'kan?" tanya Mesya sekali lagi.
"Iya, benar, kami akan ke sana, tapi apa, Mesya, sudah meminta izin kepada orang tua Mesya?" tanya Riska.
Dan Mesya menggelengkan kepalanya.
"Yasudah, nanti biar, Bu Riska berbicara kepada, bu Arumi, bahwa Mesya akan ikut dengan kami," ujar Riska.
"Terima kasih, Bu," ujar Mesya yang tampak gembira.
"Iya," jawab Riska sambil tersenyum dan mengusap-usap rambut Mesya dengan lembut.
***
Sesampainya di rumah Zahra, tampak Zahra sedang menangisi kepergian sang ibu, sambil memegang foto sang ibu dan berdiri tepat di hadapan peti jenazah.
"Zahra," panggil Mesya dengan suara yang lirih.
Zahra pun menengok ke arahnya, "Mesya!" teriak Zahra.
Dan melihat kedatangan Mesya, membuat Zahra sedikit bahagia.
"Zahra, Mesya turut berduka cita ya," tukas Mesya.
Dan Zahra pun kembali menangis, dia segera memeluk Mesya sahabatnya.
"Zahra sudah gak punya, Mama lagi, Mesya!"
"Sabar ya, Zahra,"
"Tapi, nanti gimana kalau, Zahra kangen sama Mama, sekarang saja Zahra udah kangen banget, Mama udah gak bisa bangun lagi,"
"Kan ada, Mesya." Tukas seseorang yang tiba-tiba hadir diantara mereka berdua.
Dua gadis kecil yang sedang berpelukan itu pun langsung melihat kearah, sumber suara itu.
"Ibu?" tukas Mesya.
Arumi pun tersenyum melihat putrinya itu.
"Ibu, kenapa bisa ada di sini?" tanya Mesya.
"Tadi, Bu Riska, menelpon Ibu, kalau kamu ikut kemari, jadi Ibu pun menyusul kalian kemari, sekalian untuk bertemu dengan Zahra dan ayahnya serta menyampaikan ucapan bela sungkawa terhadap mereka," tukas Arumi dengan senyuman ramahnya.
Dan tak berselang lama ayahnya Zahra datang menghampirinya.
"Selamat siang, Bu Arumi," sapa pria itu.
"Selamat siang, Pak Muljito, saya sekeluarga mengucapkan turut berbela sungkawa atas kepergian, bu Rasty, ibunya Zahra," sahut Arumi.
Seluruh orang tua teman-teman Mesya memang mengenal Arumi dan keluarganya.
Karna mereka terkenal sebagai pengusaha sukses yang sangat kaya raya serta dermawan.
"Bapak, Muljito, saya ingin memberikan santunan untuk Zahra mohon di terima ya," tukas Arumi, sambil menyodorkan amplop coklat yang berisi segepok uang kepada Muljito ayah dari Zahra.
"Apa ini, Bu Arumi?" tanya Muljito.
"Hanya sedikit uang, dan semoga bermanfaat untuk Zahra," jawab Arumi.
Dengan segera Muljito membuka amplop coklat itu.
"Wah, banyak sekali!" Muljito pun sampai syok melihatnya.
Dan Arumi pun hanya tersenyum tipis menanggapinya.
"Maaf, Bu Arumi, ini banyak sekali, saya tidak bisa menerimanya!" tukas Muljito.
"Itu tidak seberapa bagi kami, Pak, dan saya memberikannya untuk Zahra, semoga bermanfaat untuk Zahra terutama untuk pendidikannya," tukas Arumi dengan gayanya yang sangat santun dan elegan.
"Tapi, Bu—" Muljito menyodorkan amplop itu ke arah Arumi lagi.
Tapi dengan segera Arumi menangkisnya dan mendorong tangan Muljito agar menerima uang itu kembali.
"Saya tahu bisnis, Pak Muljito, sedang bangkrut, saya mohon terima ini, dan saya akan menjamin bisnis, Pak Muljito akan kembali bangkit dengan bantuan dari perusahaan kami," tukas Arumi.
Akhirnya Muljito pun mau menerima uang itu.
"Baik kalau begitu saya terima uang dari, Bu Arumi. Dan saya sangat berterima kasih banyak kepada, Bu Arumi, pantas saja di luar sana, orang-orang memuji-muji kebaikan keluarga, Bu Arumi. Karna Anda dan suami Anda benar-benar orang yang sangat dermawan," puji Muljito.
"Terima kasih," jawab Arumi dengan menundukkan tubuhnya sesaat.
"Anda benar-benar seperti malaikat bagi kami," puji Muljito sekali lagi terhadap Arumi.
"Malaikat pencabut nyawa." Celetuk Arumi.
Dan seketika Muljito terdiam karna kaget mendengar ucapan dari Arumi itu.
"Mak-sud, Bu Arumi?" tanya Muljito.
"Ah, tidak! Saya ini hanya bercanda, Pak," jawab Arumi sambil tertawa kecil.
"Oh, begitu ya," ucap Muljito yang tampak sangat kaku dan salah tingkah.
Setelah memberi santunan itu, Arumi mengajak Mesya untuk pulang.
Dan kehadiran Arumi di prosesi pemakaman itu, seperti memberi secercah harapan bagi, Muljito.
Karna dirinya yang baru saja mengalami kebangkrutan serta di tinggal oleh sang istri kini mendapat santunan banyak uang, serta perusahaannya sudah di jamin akan kembali berjaya berkat bantuan dari keluarga Arumi.
***
Di sebuah meja makan itu, sudah tersusun rapi menu makan malam aneka olahan daging.
"Ayo, silakan di makan!" ujar Arumi menyemangati yang lainnya untuk makan malam.
"Salamat makan, Ibu! Selamat makan semuanya!" sahut Arthur penuh semangat.
"Ini, daging yang baru saja Ayah dapat tadi malam lo!" tukas Charles penuh bangga.
"Ayah, memang hebat, dari mana, Ayah, mendapatnya?" tanya Arthur.
"Ya, tentu saja dari rumahnya, Zahra!" jawab Charles.
Dan hal itu seketika membuat Mesya sangat terkejut.
'Ibunya Zahra meninggal dengan tubuh terpotong-potong, dan sebagian tinggal tulang belulang tanpa daging, apa jangan-jangan ...?' batin Mesya.
"Mesya ... kamu sedang memikirkan apa sih, Sayang?" tanya Arumi.
"Ini, daging apa? Kenapa Ayah bilang kalau ini dari rumah Zahra, apa jangan-jangan ini daging—"
"Ssst ... jangan berpikir yang tidak-tidak, Mesya! Kamu pasti berpikir kalau kami sudah membunuh ibunya Zahra dan mengambil dagingnya, 'kan?" tanya Arumi dengan tebakan yang tak meleset.
Dan seketika Mesya pun terdiam.
"Tidak, Sayang! Kami bukan orang sekejam itu," ujar Arumi.
"Kalau pun memang daging ibunya Zahra, memangnya kenapa?" celetuk Arthur sambil tertawa-tawa.
Seketika Mesya pun kembali kaget dan menatap tajam ke arah Arthur.
"Arthur, sudah jangan bercanda terus!" ujar Arumi.
Sementara David tampak menjatuhkan garpu dan pisaunya ke atas piring dengan kasar.
Ting!
Seketika semua melihat ke arahnya, David.
"Aku sudah selesai makan, apa aku boleh kembali ke kamarku?!" tanya David.
"Silakan," jawab Arumi.
David melirik sesaat ke arah Mesya, dan berlalu pergi.
Mesya pun memandangi David yang mulai menjauh.
'Kenapa, Kak David, seakan bertingkah aneh dan tidak suka mengobrol bersama kami,' batin Mesya.
To be continued