Brak!
Seorang petarung baru saja terlempar dan berakhir di sebuah pilar. Tubuhnya ambruk sesaat setelah menerima benturan yang sangat keras. Waktu telah berjalan 30 menit namun Naara sudah mengalahkan lebih dari separuh jumlah petarung.
"Selanjutnya."
Seorang pria besar berkepala botak bersenjatakan palu raksasa memasuki arena, disusul pria berkumis bersenjatakan belati, disusul oleh tiga pemuda dengan senjata mereka masing-masing, panah, pedang dan kapak. Tampaknya sekarang mereka ingin main keroyokan.
Dari jauh, Jay terlihat melampirkan senyum miring menatap Naara.
Sementara itu, Naara sendiri juga tersenyum. Ia memosisikan pedangnya lantas berkata, "Maju!" Tantangya.
Serangan pertama dibuka oleh si pria pemegang palu, ia berlari cepat, melompat dan menerjang Naara dengan palu besarnya namun Naara menghindar dengan hanya bergeser dari titik palu akan mendarat namun dalam hitungan mili detik sebuah anak panah akan menembus kepalanya kalau saja dia tidak refleks menunduk.
Brakk!!
Palu menghantam lantai arena sampai retak. Gerakan si botak itu cukup cepat dan tenaganya juga sangat kuat, setelah satu serangannya gagal ia lansung berputar bersama ayunan palu yang mengarah ke Naara dan lagi-lagi Naara berhasil menghindari serangan dengan menunduk namun kali ini ia memberi tendangan ke perut si botak untuk membuat ruang.
Si botak terseret mundur sejauh tiga langkah namun itu belum berarti Naara bisa berhenti untuk sekedar menarik napas karena si pemanah dan dua petarung lainnya juga sedang melancarkan serangan.
Naara dengan gesit menghindar dan menangkis serangan yang datang dari berbagai arah, tidak jarang ia dengan cermat memanfaatkan serangan lawan untuk menumbangkan lawan yang lain.
'Dengan begini staminanya akan terkuras.' Jay tersenyum jahat memandang lurus ke arah Naara.
"Hey, apa gadis yang bernama Hana itu sudah kalian amankan?" Gubernur Dio tiba-tiba membuka suara, dia bertanya pada dua orang bawahan yang membawa Niin ke ruang tahanan dan itu membuat perhatian Jay teralihkan.
"Iya Tuan," jawab salah satu dari dua orang yang ditanya.
"Aku ingin sekarang kalian pisahkan gadis itu dari tahanan lain. Aku akan membuat kesepakatan baru dengan orang itu," titahnya sambil menatap lurus ke arah Naara.
"Tuan apa maksud Anda dengan kesepakatan baru?" Jay bertanya.
"Dia harus jadi anak buahku," jawab gubernur mengusap-usap jenggot.
Sekilas ekspresi terkejut terlihat di wajah Jay lalu sesaat kemudian berganti menjadi ekspresi tidak senang.
*
Di labirin bawah tanah, terlihat Niin dan Binggo sudah hampir menemukan seluruh gadis tergadai. Mereka berjalan menyusuri dan memeriksa setiap lorong karena ternyata ruang tahanan tersusun acak.
"Sebelah sana." Niin menunjuk pintu di lorong sebelah kirinya. Mereka pun bergegas untuk membuka pintu.
"Apa semuanya aman? Kami di sini untuk membantu," ucap Niin pada kelima gadis yang ada di ruangan tersebut.
Menit demi menit berlalu, satu per satu ruang tahanan para gadis tergadai mereka temukan.
*
Brakk! Bugh! Bang!!
Euforia penonton terdengar sangat riuh saat Naara berhasil melumpuhkan kelima lawannya.
Napas Naara terengah-engah, keringat mengalir di wajahnya. Sesekali ia mendesis saat luka-luka yang tersebar di berbagai bagian tubuhnya menimbulkan sensasi perih yang tidak mengenakkan.
"Selanjutnya."
Lagi-lagi pihak lawan ingin bermain keroyokan, kali ini delapan petarung memasuki arena. Naara mengatur napas dan memasang kuda-kuda lantas bertarung kembali. Lawan terberatnya adalah dirinya sendiri, ia harus menahan diri untuk tidak membunuh mereka. Menjadi orang baik ternyata susah.
Ia berkelit menghindari satu tebasan lawan lalu melempar tubuh si penebas ke arah musuh sebelah kiri yang sedang berlari untuk menyerangnya. Ia bergerak, bergerak dan terus bergerak sampai ....
Slash!
"Ahk." Sebuah belati milik musuh berhasil menyayat bahunya cukup dalam dan lebar sehingga darah langsung tumpah namun tidak ada waktu untuk meratapinya. Meski sudah sabar ia tidak bisa terima kalau tidak membalas, luka itu cukup memprovokasinya untuk bertindak lebih galak dan hal itu membuat penonton semakin bersemangat.
*
Kembali ke tempat Niin dan Binggo. Mereka masih melanjutkan pencarian. Total sudah ada enam puluh gadis yang mereka temukan, lima puluh sudah dibawa ke tempat Hana dan warga, sepuluh sisanya berjalan bersama mereka untuk mencari kelima belas gadis yang belum ditemukan.
*
Naara berguling menghindari terjangan seorang musuh pengguna palu namun sesaat setelah ia bangun sebuah tendangan menghantamnya dari belakang sampai ia tersungkur, sesaat setelah itu tubuhnya kembali ditendang sampai terguling-guling sejauh beberapa meter.
"Ahk." Rasa nyeri menjalar di seluruh tulangnya. Tiga detik ia memejamkan mata lalu secara nekat ia memegang mata pedang musuh yang hendak ditusukkan ke arahnya. Si pemilik pedang terlihat terkejut dengan tindakan Naara lalu di detik berikutnya tubuhnya tertarik dan terlempar ke sebuah pilar.
Naara baru saja menegakkan diri, darah segar mengalir dari telapak tangannya. Selangkah, dua langkah, tiga langkah ia ambil lalu berlari menyerang musuh dan perkelahian pun kembali terjadi.
Krak!
"AA!"
Kali ini ia tidak tanggung-tanggung dalam memukul bahkan tidak segan mematahkan tangan lawannya, beberapa detik berselang ia kembali mendapatkan pedangnya yang tadi terjatuh.
Slash! Slash! Slash!
Ia melakukan tebasan dalam gerakan seperti seorang penari. Dari waktu ke waktu bercak dan genangan darah tersebar di berbagai sisi arena.
Brak!
Petarung terakhir baru saja terjatuh, Naara mengangkat pedangnya, berniat untuk menusuk perut petarung tersebut namun ....
{"Guru jangan membunuh mereka."}
Gerakan tangannya tiba-tiba berhenti saat kata-kata Niin mendadak terngiang di kepalanya. Ia pun menurunkan pedangnya dan berbalik
"Selanjutnya!"
Pria yang sedetik lalu merasa nyawanya akan melayang hanya bisa mengembuskan napas lega. Tak lama beberapa orang masuk dan mengangkatnya keluar karena ia sudah tidak bisa bergerak.
*
Binggo dan Niin sudah berhasil menemukan seluruh gadis tergadai, sekarang mereka berjalan menuju jalan rahasia yang telah dibuat Binggo.
"Tetap jalan bersama, jangan sampai berpisah," ucap Binggo memimpin jalan para gadis. Pasalnya tempat di mana mereka berada sekarang memiliki banyak sekali lorong yang bisa membuat tersesat.
"Ahk."
"Hey, kau tidak apa-apa?"
Salah satu gadis tiba-tiba jatuh beruntung tubuhnya langsung ditahan oleh Niin hingga tidak sampai membentur lantai. Niin melihat wajah gadis itu sangat pucat dan lemah setelah itu ia melihat ke gadis lainnya, kondisi mereka semua terlihat tidak jauh berbeda. Udara dingin tempat itu pasti menjadi salah satu faktor. Belum lagi selama ditahan mereka tidak diberikan makanan yang layak.
"Binggo."
"Um. Baiklah."
Binggo merendahkan diri. Niin membantu gadis yang dipapahnya untuk duduk di punggung Binggo setelah itu ia meminta dua gadis lagi untuk ikut duduk, ia memilih gadis yang terlihat paling lemah dan butuh segera ditolong.
Sementara Binggo mengantar ketiga gadis itu, Niin dan yang lain lanjut berjalan menyusuri lorong sesuai arah yang sudah diberitahu Binggo.
*
"Di-dia hebat sekali."
"Aku dengar dia bertarung untuk peliharaannya."
"Apa katamu? Peliharaan?"
Obrolan-obrolan tersebut berasal dari bangku penonton, mereka tercengang dan merasa kagum pada kehebatan Naara. Waktu yang diberikan masih sepuluh menit dan ia baru saja menumbangkan petarung ke 70, 71, 72, 73, dan 74.
"Selanjutnya."
"Jay, turunlah," perintah Gubernur Dio kepada Sao–kepala ajudan yang sejak tadi berdiri di sampingnya.
"Tidak kusangka aku akan turun," ucap Jay turun dari tangga menuju arena. Semua orang langsung melihat ke arahnya.
"Lihat itu pimpinan ...."
"Orang itu benar-benar memaksa pimpinan turun tangan."
Kali ini obrolan tersebut berasal dari para penjaga gerbang yang ternyata ikut menonton.
Di sisi lain arena, Henri dan beberapa petarung yang sudah dikalahkan juga ikut melihat Sao yang sekarang tengah berjalan memasuki arena.
'Aku harap kau menang,' batinnya saat beralih melihat Naara.
Sama seperti Henri, semua petarung juga pro pada Naara, bagaimanapun juga Jay sudah banyak terlibat dalam kejahatan yang dilakukan Gubernur Dio.
Sesaat setelahh Jay berdiri tepat di hadapan Naara, seseorang masuk memberinya sebuah pedang jenis rapier lalu pergi.
"Huh. Bersiaplah menjilat sepatu." Sedetik setelah Jay berkata seperti itu ia melesat dengan kecepatan hebat untuk menyerang Naara.
Henri dan temannya langsung merasa tegang, mengra hal fatal akan mengenai Naara.
Klang!
Naara menahan ujung rapier Jay dengan baik, itu membuat Henri dan semua petarung bernapas lega.