webnovel

Ch.39:IPML: Menyayangimu Selamanya

Jeritan, teriakan, tangisan penderitaan, tumpahan darah dan kobaran api menjadi satu kesatuan dari pembantaian besar-besaran yang dilakukan pada seluruh Bangsa Ardhy.

Di tengah-tengah tragedi memilukan tersebut, seorang ibu sedang berjuang mati-matian untuk menyelamatkan anaknya.

"... Ibu berhenti kenapa kita meninggalkan ayah, Bu ...." Niin merengek meminta untuk kembali.

Anetha tidak memberi respon apa-apa, sambil menahan semua beban kesedihan ia terus berlari.

Niin, ia yang belum dewasa, tidak tahu kalau ayah dan ibunya sedang berjuang mati-matian untuk menyelamatkan hidupnya mulai merasa kesal karena diabaikan. Ia meronta minta diturunkan, Anetha berusaha keras menahannya tapi gagal.

"Kalau Ibu tidak mau biar aku saja!"

"Berhenti Niin!"

"Tidak! Lepaskan! Lepaskan!!" Niin meronta berusaha melepaskan tangannya yang ditahan.

"Kita harus lari Niin!"

"Tidak mau!!!" Niin menggigit keras tangan ibunya dan hendak berlari namun tiba-tiba ....

"Niin!"

Jleb!

Dengan sigap Anetha memeluk erat tubuh Niin dan menjadikan dirinya tameng. Pamble tertancap di bahunya seketika itu letupan kecil terjadi yang segera membuat lubang pada tendon, darah mengalir sangat deras.

"Ayahmu ... tidak ingin kita terluka karena itu dia menyuruh kita lari."

"I-ibu?" Niin membelalak, dengan kaku ia melihat ke arah datangya pamble dan menemukan orang-orang berseragam abu-abu hitam bergerak cepat melintasi puing-puing yang terbakar menuju ke arah mereka.

Salah satu dari orang-orang itu terlihat sedang membidik lagi dan dalam tempo cepat pamble melesat dan ....

Jleb!

Darah membuncah keluar. Sekali lagi Anetha dengan begitu sigap melindungi Niin, ia menjatuhkan Niin, menangkupnya dan membuat sebuah perlindungan yang menyelamatkan Niin dari serangan. Ia kesakitan namun masih bisa membuat wajah tersenyum.

Di detik berikutnya lima sampai enam pamble melesat dan menembus dalam bagian belakang tubuh Anetha. "Agh!" Kali ini ia sudah tidak bisa menutupi rasa sakit gila yang ia rasakan saat pamble-pamble tersebut meletup melontarkan darah dan juga serpihan daging.

Niin terbelalak, benar-benar terbelalak seolah matanya akan keluar, napasnya seperti berhenti menatap wajah menderita ibunya.

Chough.

Sejumlah besar darah dimuntahkan Anetha tepat di wajah Niin yang membisu memandang lekat wajah wanita yang lima tahun silam melahirkannya. Wajah wanita itu telah pucat pasih dan sorot matanya berangsur melemah. Tidak lama kemudian suara derak dari pilar-pilar dan dinding-dinding yang terbakar membuatnya tersadar pada kenyataan ketir di hadapannya saat ini. "I-Ibu?"

Dengan lembut, Anetha mengusap air mata yang mengalir di sudut mata putrinya lalu tersenyum tulus. "Ja-jangan menangis sa-sayang, ti-tidak apa-apa, sekarang dengarkan, larilah ... hiks ... ce-cepat!" Air mata dan darah silih berganti menerpa wajah Niin.

Tidak sanggup berkata apa-apa, Niin masih saja cuma bisa menatap gemetar.

"Pe-pergilah Niin, ce-cepat!"

"Tapi ...."

"IBU BILANG PERGI!!!" Seketika Anetha berteriak keras seolah akan menghabiskan semua suaranya, membuat napas Niin terhentak kaget. Teriakan itu terus diulang sampai Niin benar-benar terprovokasi untuk merangkak keluar dari perlindungan ibunya.

"LARILAH JANGAN PERNAH KEMBALI IBU DAN AYAH MENYAYANGIMU!!!"

Sambil berlinangan air mata Niin berlari namun sesaat ia berhenti untuk melihat ibunya untuk yang terakhir kali. Di sana ia melihat ibunya telah berdiri menghadap ke arah musuh, tampak jelas ia merentangkan kedua tangan seolah ingin menghalau semua serangan yang akan melukainya.

Lalu tak lama kemudian akhirnya puncak dari rangkaian ketakutan dan kesedihan itu terjadi. Dengan mata kepala sendiri ia melihat ibunya menerima semua serangan dari puluhan pamble. Selama beberapa saat ibunya masih kukuh berdiri namun setelah serangan gelombang kedua datang ibunya pun tumbang dan sebagai penutup, dinding serta pilar-pilar yang terbakar rebah menimpa tubuh renta itu.

Tidak. Ia tidak bisa menerima perpisahan tersebut.

*

Naara yang melihat semua ingatan itu tanpa sadar menggigit bibir bawahnya sendiri, dada dan perutnya terasa mengencang, kenapa?

*

"IBU!!!" Tangisan Niin pecah saat kobaran api menghilangkan sosok ibunya dan segera ingin berlari tapi kemudian ia berhenti saat melihat orang-orang berseragam abu-abu hitam semakin dekat dan teringat oleh teriakan ibunya yang memintanya untuk tidak kembali.

Sambil menangis penuh penderitaan ia berbalik dan berlari. Sesekali ia hampir tertimpa puing-puing, terjatuh dan bahkan keadaan semakin sulit saat api terus menyebar dan ia mulai ditembaki, sang pencipta melindunginya hingga pamble selalu meleset darinya. Kobaran api dan kepulan asap memberi gangguan pada pembidik.

Kali ini ia benar-benar sudah tidak sanggup berlari lagi, ia sudah sangat kelelahan, sensasi perih dari lecet-lecet dan bekas-bekas sundutan api terasa menyengat di tubuhnya.

Sekarang apa yang akan ia lakukan ia bingung juga sangat takut dan itu membuat tangisannya semakin menjadi.

"Jadi masih ada yang tersisa yah." Suara berat seseorang membuatnya tertegun. Ia mendongak dan menjadi tegang, orang-orang berseragam abu-abu hitam berdiri di atap bangunan dan mereka mengepungnya dari tiga arah. Seorang dari mereka menarik busur siap menembak.

*

Kedua tangan Naara mengepal, ada perasaan kuat dari dalam yang membuatnya sangat ingin memukul orang-orang berseragam tersebut.

"Me-menghindar!" Tanpa sadar ia membentak, memberi perintah untuk gadis kecil yang cuma diam terbelalak memandangi pamble yang dilesatkan ke arahnya namun bagaimanapun semua yang Naara saksikan hanyalah bagian dari ingatan masa lalu.

*

Niin menutup mata pasrah saat pamble akan mengenainya namun sesuatu berwarna merah muda berbentuk bunga berkelopak lima terbentuk dari bawah kakinya dan dengan cepat mengatup membuat sebuah pelindung. Sekarang ia berada dalam pelukan seseorang yang sangat ia kenal. "Syukurlah tepat waktu."

Niin membuka matanya. "A-Ayah ... hiks ...."

Hans mempererat pelukannya pada tubuh yang gemetar hebat.

"Ayah .. hiks ... ibu ... hiks ... hiks ... ayah ... ibu ... hiks ...." Kesedihan Niin tumpah ruah tak terkendali.

"Ayah tahu sayang ... ayah tahu." Hans berucap dengan nada sesak, mati-matian menahan tangisnya.

Sekitar dua puluh detik berselang, Hans melepaskan pelukannya. Ternyata penderitaan untuk Niin belum selesai, semesta melepaskan satu cambukan lagi kepadanya.

Niin kembali terbelalak saat melihat ayahnya. Wajah pucat mengalirkan darah namun hal paling mengejutkan adalah keberadaan sesuatu yang menyerupai lava panas terlukis di kedua pipi pria tersebut, membentuk pola cabang-cabang.

Tangan Hans terangkat perlahan menyentuh lembut pipi Niin, menatap wajah putri kecilnya yang banjir air mata dengan sangat dalam, seakan-akan itu adalah kali terakhir ia melihat wajah itu. Dari detik ke detik sesuatu yang seperti lava tersebut terus menjalar dan melebar.

Hans menarik senyumnya lalu berkata, "Selama ini saat kau terluka, kau jatuh dan kau menangis ayah selalu bilang, tidak apa-apa sayang berhentilah menangis tapi sekarang ayah tidak akan memintamu berhenti menangis tapi tolong jangan menangis terus. Saat kau merasa sangat sakit, menderita dan kau tidak bisa menambendungnya lagi menangislah, keluarkan semuanya sampai hatimu benar-benar merasa lega. Menangislah saat kau merasa itu perlu. Selalu jujur dengan perasaanmu kalau tidak bisa pada orang lain setidaknya pada dirimu sendiri ...."

Lava tersebut terus bertambah melebar, sambil berkata tubuh Hans perlahan-lahan terurai menjadi abu sementara Niin semakin tersedu-sedu.

"... Ayah dan ibu mungkin tidak ada lagi di sisimu untuk memeluk dan menghapus air matamu tapi kami selalu ada di hatimu. Tadi tertawa sekarang menangis, hari ini menderita besok berbahagia, itulah yang dialami oleh semua orang yang hidup. Jika kau bisa bertahan menghadapi penderitaan kau akan menjadi kuat dan suatu hari kau akan menemukan kebahagiaan ...."

Sosok Hans semakin terurai, lava nyaris menutupi seluruh wajah dan tubuhnya, Niin pun semakin terpekik penuh kesedihan.

"... Angin malam ini berhembus sangat kencang, memukul lonceng kecilku sangat keras sampai hatinya retak, dia akan melewati badai musim dingin yang panjang tapi ... aku percaya dia akan bisa melewatinya. Selama dia tidak putus harapan suatu hari angin musim semi akan datang kepadanya. Jagalah dirimu Ayah dan ibu sangat menyayangimu ...." Kata-kata itu berhenti bersamaan dengan menghilangnya sosok Hans dan seketika itu pun Niin histeris lalu tak lama ia pun pingsan.

hi lagi, terima kasih sudah membaca, jangan lupa tinggalkan jejak ^^

Ogi_457creators' thoughts
Chapitre suivant