webnovel

Ch.34: IPML:Malam Badai

Hari telah gelap, hujan pun telah turun mengguyur permukaan tanah.

Cabang-cabang petir memenuhi penjuru langit, hujan yang turun kian lebat seiring dengan angin yang kian berhembus hebat.

Di bawah guyuran hujan tersebut, Isura dan Naara berlari menyusuri jalan desa yang terlihat sangat sepi.

Keduanya sama-sama berharap bisa segera tiba di rumah.

Di sepanjang langkah cepatnya, Isura melirik rumah-rumah warga yang ia lewati.

Setiap rumah terlihat gelap, tidak ada penerangan apapun yang menyala. Seakan rumah-rumah tersebut telah ditinggal pergi oleh para penghuninya. Suasana tersebut terasa sangat janggal.

"Aku harap ini hanya perasaanku saja." Ia menggenggam tangan adiknya lebih erat kemudian berlari lebih cepat.

Mata dua bocah itu melebar ketika melihat rumah yang menjadi tempat tujuan mereka telah rusak parah, separuh bagiannya bahkan sudah tak berbentuk.

Dengan wajah kaget bercampur bingung, keduanya berjalan mendekati puing-puing yang tidak lain adalah bagian rumah mereka.

"Apa yang terjadi?" Naara megedarkan pandangan ke setiap puing-puing.

"Entahlah, Naara." Pertanyaan yang sama pun saat ini ada di benak Isura. Sebuah lubang besar di tembok menarik perhatiannya.

"Kakak!" Naara melangkah cepat menyusul Isura yang entah sejak kapan beranjak dari sampingnya dan kini telah berdiri di dekat lubang dan bersiap masuk. Ekspresi terkejut terlihat di matanya saat mendapati sebuah ruangan yang kacau balau.

Barang-barang tergeletak tak beraturan, pecahan kaca berserakan di sana-sini dan dinding-dinding retak.

"Inikan ... kamar kita, Kak? Apa yang terjadi?" Pandangannya beredar ke setiap sisi dan sudut ruangan.

"Kakak juga tidak tahu." Isura memungut sebingkai foto yang tergeletak di dekat kakinya. Itu adalah foto dirinya dan Naara yang sedang tersenyum lebar.

Bingkai foto itu sudah retak. Ia menatap wajah-wajah yang ada di sana dalam beberapa detik lekat. "Di sini kau terlihat gemuk, Naara," gumamnya, tanpa sadar ia tersenyum tipis.

Gumaman itu terlalu lirih, sehingga tak mampu ditangkap oleh indra pendengaran si Rambut Merah yang saat ini telah menyibukkan diri.

Ia sedang menyusun barang-barang yang tergeletak tak beraturan di sebuah rak.

Isura pun membawa foto tersebut dan meletakkannya di baris teratas rak yang sedang dirapikan Naara.

"Foto itu ...." Naara menatap foto yang baru diletakkan Isura.

"Tadi ini jatuh. Bingkainya rusak, nanti kita perbaiki," jelas Isura kemudian berjalan mendekati pintu ruangan. "Naara, ayo!" sambungnya, mengajak Naara meninggalkan ruangan tersebut.

Suara derik terdengar ketika pintu digeser dan sebuah pemandangan yang mengagetkan telah menyambut mereka.

Dengan mulut terbuka, mereka membeku menatap  noda darah berceceran di sepanjang lantai koridor, bukan hanya pada lantai namun di beberapa sisi dinding pun terdapat noda yang sama.

"K-kakak." Rasa takut hebat mulai menghinggapi Naara ia segera merapatkan diri di punggung Isura.

"Jangan takut, kakak di sini." Isura menggenggam tangan adiknya dan mulai berjalan menyusuri koridor.

Satu demi satu, pintu di sisi koridor dibuka oleh Isura, memeriksa setiap ruangan yang ada.

"Ibu ... apa ibu di sini?" Isura membuka sebuah pintu yang merupakan pintu kamar ibunya.

Karena tidak menemukan siapapun, ia kembali mengajak Naara untuk melanjutkan penyusuran mereka.

Tak lama mereka melangkah, sebuah suara dentuman tertangkap oleh indra pendengaran mereka.

Suara itu terdengar seperti bunyi vas yang jatuh membentur lantai.

"Kau dengar itu?" tanya Isura yang dijawab anggukan pelan dari Naara.

Isura menatap ke lorong gelap yang berada di sisi kanan mereka, itu adalah jalan menuju ruang kerja ayah mereka.

"Kakak ..." Naara menyembunyikan diri di punggung Isura.

"Jangan takut, kakak di sini." Tangan yang masih menggandeng tangan adiknya menarik untuk pergi ke sumber suara namun Naara tidak bergerak. Ia terlalu takut untuk pergi sementara itu Isura merasa  jawaban dari semua kekacauan yang terjadi ada di dalam sana.

"Naara, kau tunggu di sini, yah."

"Tapi, Kak–"

"Kakak akan segera kembali."

Naara bergeming, menatap punggung Isura terus menjauh, selang beberapa detik sebuah kilat diiringi ledakan  petir dari jendela menyambar penglihatannya. Itu cukup membuatnya lari ketakutan menyusu Isura.

"Naara? Bukannya kau tidak ingin ikut?" ucap Isura sesaat setelah Naara tiba di dekatnya.

"Aku tidak bilang kalau aku tidak ingin ikut." Naara berucap dengan wajah berpaling dari Isura, ia terlalu gengsi mengakui kalau ia takut petir.

Isura tidak merespon. Ia hanya menatap Naara dengan seksama.

"Hmm, begitukah ...." Isura tersenyum jahil lantas menempelkan diri pada Naara. "Kau takut petir kan," bisiknya dengan nada menggoda.

"A-apa? Aku? Takut petir? Tidak!"

"Benarkah ..."

"Te-tentu saja."

Isura tidak merespon lagi, ia menatap Naara tanpa berkedip, membuat orang yang ditatap merasa gugup.

"Sekarang a-ada apa?"

"Hm." Isura tersenyum. "Tidak ada apa-apa. Ayo pergi!" Ia kembali menggenggam tangan Naara dan melanjutkan langkahnya.

Baru saja mereka melangkah masuk, sebuah pemandangan yang tidak jauh berbeda dari sebelumnya telah menyambut mereka.

Noda darah berceceran di sepanjang lantai di depan mereka. Semakin mereka berjalan, semakin mencekam pula suasana yang ada di dalam lorong.

Pintu berwarna coklat di dinding sebelah kanan yang berada beberapa langkah  lagi di depan menjadi tujuan mereka.

Baru saja Isura mengangkat tangan untuk memegang knop, terdengar suara seseorang dari balik pintu.

"Olivia, seharusnya kau tetap diam dan tidak melawanku. Takdir dari percobaan yang gagal hanyalah dilenyapkan."

Keterkejutan benar-benar ia rasakan. Ia melirik Naara yang nampaknya tidak mengerti apa-apa.

Rasa takut, cemas, bingung dan penasaran kini bercampur aduk dalam hati dan pikiran Isura.

Dengan pelan, ia kembali mengangkat tangan untuk memegang knop pintu. Satu tarikan napas dalam yang ia ambil sebelum memutar knop tersebut.

Pintu telah dibuka, ia dan Naara diam-diam mulai mengintip dari celah tipis pintu yang terbuka.

Mata mereka membulat penuh, tak percaya dengan apa yang mereka saksikan.

Seorang wanita berambut putih berseri panjang tertikam oleh pedang pria berambut merah yang tak lain adalah ayah mereka.

Darah mengalir deras dari setiap luka di sekujur tubuh wanita yang beberapa tahun lalu telah melahirkan mereka berdua.

"IB ...."

Dengan cepat Isura membekap mulut Naara yang hendak berteriak menyaksikan itu. "Jangan berisik," bisiknya dengan tangan masih menutup mulut adiknya.

Mereka sama-sama gemetar sekarang.

Dengan perasaan berkecamuk, kedua kakak beradik itu masih bertahan di depan pintu, mendengarkan pembicaraan dua orang yang ada di dalam.

"Olivia, kau harus tau kalau Naara itu sudah tidak punya masa depan. Jika bukan aku yang melenyapkannya maka orang lainlah yang akan melakukannya."

Kepala Naara tertegak, beku, matanya terasa kaku bahkan terlalu kaku untuk berkedip dan hal yang tak jauh berbeda pun terlihat dialami Isura.

"Te-teganya kau, Thougha. Sebagai ibunya, kau pikir aku bisa diam saja s-saat tau kalau seseorang sedang berusaha melenyapkannya!" ucap wanita itu penuh kegeraman.

hi dear, terima kasih sudah membaca. jika kamu menyukainya silahkan vote, review atau komen ^^

Ogi_457creators' thoughts
Chapitre suivant