Pendidikannya telah usai, resmi sudah Krisnanda menyandang gelar yang baru. Tiba waktunya untuk mengucapkan salam perpisahan dengan Melbourne, dia akan pulang kembali ke Bali. Menghabiskan waktunya kini untuk mencari pekerjaan, memulai perjalanan untuk mewujudkan satu per satu angan yang pernah disematkan. Banyak sekali hal yang ingin dia capai seiring dengan perjalanan waktu yang akan dia lalui nanti. Termasuk, bersama dengan Sonya adalah salah satu hal yang dia inginkan.
Sampai di rumahnya, dia disambut harum masakan bik Wati. Masakan yang amat sangat dia rindukan. Meletakkan barang-barangnya begitu saja, langsung menuju ruang makan, memuaskan kerinduannya.
"Pelan-pelan makannya den," ucap bik Wati.
"Iya bik, aku kangen banget sama masakan bibik," ucap Krisnanda dengan mulut penuh.
Ayah dan ibunya hanya tertawa melihat tingkah Krisnanda kemudian menyusul, makan bersama dengannya. Setelah sekian lama akhirnya mereka bisa makan bersama. Entah kapan terakhir kali, mereka makan bersama setelah hari itu.
Hari-harinya terasa sedikit melegakan, setidaknya dia tidak perlu lagi memikirkan tugas kuliah yang menumpuk atau kegiatan kampus lainnya yang datang silih berganti. Dia bisa lebih banyak bersantai, walau perlahan terasa semakin membosankan. Apalagi Sonya pun mulai lebih sibuk. "Aku pengen banget lihat dia," gumannya. Tiba-tiba teringat akan lagunya yang belum selesai dia buat, bahkan hampir terlupa. Mengambil gitarnya, mulai menyusun satu per satu melodi. Tiba-tiba handphonenya berdering, nomor yang tidak dikenal. Dia hendak mengabaikannya, tetapi akhirnya dia jawab juga ,"Siapa tahu penting," ucapnya.
"Hallo kak Krisnanda, aku Sindi. Kakak masih ingat kan?" ucap perempuan di seberang.
Krisnanda terdiam, sedikit terkejut. "Apakah dia Sindi yang ada di pikirannku?" tanyanya dalam hati. Sindi yang dia kenal adalah adik kandung dari perempuan di masa lalunya, Dwi Anitha. "Untuk apa dia menghubungiku?"
"Kamu Sindi adiknya Dwi Anitha?" tanya Krisnanda.
"Iya kak. Aku pikir kakak udah lupa sama aku. Kakak di rumah kan? Aku mampir sebentar ya," ucap Sindi.
"Iya, aku tunggu."
Setelah beberapa saat Sindi tiba, ternyata masih ingat dengan alamat rumahnya. Krisnanda menyambutnya, mengajaknya masuk dan mempersilakannya duduk.
"Udah lama banget ya, kamu apa kabar?" tanya Krisnanda.
"Kabarku baik kak. Kalau kakak apa kabar?" tanya Sindi.
"Seperti yang kamu lihat, aku juga baik-baik aja. Lalu, bagaimana dengan pak Dirman dan bu Sukma?" Krisnanda menanyakan kabar orang tuanya.
"Orang tuaku juga baik-baik aja kak. Walau semenjak hari itu, semua sudah jauh berbeda," jawab Sindi, tatapannya mulai meredup.
"Semuanya baik-baik aja kan?" tanya Krisnanda memastikan.
"Iya, semuanya baik-baik aja kak. Tapi, sampai saat ini ibu masih ingat akan kak Anitha. Ibu masih belum menerima, masih tidak percaya kalau kakak sudah pergi. Ibu sedang menjalani terapi sekarang untuk menghilangkan traumanya. Syukurlah, kondisi ibu semakin membaik. Walau sesekali masih berteriak dan berlari ke sana sini untuk mencari kak Anitha," jelas Sindi, suaranya semakin berat.
Krisnanda terdiam, hayalnya jauh kembali ke masa lalu, teringat kembali akan sosok itu.
"Aku juga nggak bisa bohong kak, aku juga sangat merindukan kak Anitha. Kalau ada kesempatan, aku ingin lihat kakak lagi, walau cuma sekali," ucap Sindi, air matanya mulai menetes, "Tapi itu semua nggak mungkin kan, kak?" tanyanya sambil menatap Krisnanda.
Krisnanda hanya diam, tidak tahu harus berkata apa. Dia mendekati Sindi dan memeluknya, berusaha untuk menenangkannya. Namun tangisnya semakin menjadi. Kejadian hari itu memang membawa luka yang begitu dalam, pedih tak terkira. Bahkan, waktu belum tentu bisa menyembuhkan, terutama bagi mereka yang sangat menyayangi Anitha. Sibuk menenangkan Sindi, Krisnanda tidak menyadari ada Sonya yang berdiri di depan pintu, menyaksikan mereka berpelukan.
Sonya baru saja kembali dari Surabaya, dari bandara dia langsung menuju rumah Krisnanda. Dia ingin memberikan kejutan pada awalnya, tetapi justru dia yang mendapatkan kejutan. Bahkan dia membawakannya oleh-oleh. Spikoe atau kue lapis khas Surabaya yang masih menggunakan resep kuno dalam pembuatannya. Jajanan yang sangat ingin mereka cicipi waktu itu, namun mereka batalkan karena antrian yang begitu panjang.
Berdiri kaku menyaksikan hal tersebut, "Krisnanda berpelukan dengan seorang perempuan. Siapa itu?" tanyanya dalam hati. Sonya tidak berani melanjutkan langkahnya, berbalik, dia memilih pergi. Setelah beberapa langkah dia berhenti, sedikit ragu. Pergi atau kembali, karena sudah jauh-jauh datang ke rumah Krisnanda. Sama sekali tidak mengerti, mengapa dia merasa sakit. "Ngapain aku nangis, apa juga yang aku harapkan," ucapnya. Pipinya semakin basah, dadanya semakin sesak.
"Ngapain juga aku di sini, harusnya aku pulang," Sonya memutuskan untuk pulang. Memandang pada kue yang dia bawa, akhirnya dia letakkan begitu saja, dia tidak menginginkannya lagi. Dengan dada yang sesak, air mata yang masih mengalir dan hati yang kacau. Sonya berlalu, sedetikpun tidak berbalik.