webnovel

Prioritas

"Ayo dong, Bri... Buat yang terakhir aja, deh. Sumpah, gue nggak akan minta lagi."

Dan sepanjang harinya Brian di buat berpikir keras, sejujurnya bukan maksudnya untuk menyogok Arka dengan cara pemancingan otak porn8 sepertinya.

Sebelumnya Arka memang meminta Brian memberikan jepretan eksklusif, tak ada persyaratan, dan memang menjadi salah Brian yang memberikan gambar terlalu seksi dan berujung membuat kawannya itu ketagihan.

Ah, sialnya bagi Brian. Bahkan saat pandangannya terfokus pada Arka yang sedikit menepi dari keseruan obrolan, menarik perhatian pribadi dengan ponsel yang di tatap terlalu jelas terangsang?

Masih tak bisa tenang untuk menit sampai bahkan jam berlangsung. Jadwal kelas membawanya pada tempat berbeda setelah tepat jam istirahat. Terik matahari tak menjadi alasan untuk murid-murid kelas X Ips 1 berbaris di lapangan.

"Rentangkan ke dua tangan. Yo, cepet bergeser." Suara guru olahraga terdengar tanpa mempedulikan bunyi protes menggerutu dari muridnya. Mereka juga menyalahkan jadwal kelas yang meletakkan jam olahraga di siang bolong.

"Saya mau satu orang maju ke depan, memberikan contoh untuk melakukan pemanasan."

"ARKANA, pak...."

"Yo, siapa Arkana, maju ke depan," titah seorang pria yang masih nampak bugar di usia paruh bayanya.

"Lah, gue?" Arka menunjuk dirinya sendiri dengan raut wajah cengo. Menggaruk belakang kepalanya, walau pun dengan langkah malas menyanggupi permintaan semua orang. Ya, tapi memang sedikit membuatnya dongkol saat tau-tau guru olahraga malah beranjak menepi mencari tempat teduh.

"Oh, gitu ya kalo punya wewenang." Arka menggerutu dengan menatap sengit sang guru.

"Woy, lihat apa lagi kamu? Cepat contohi teman-teman mu dalam melakukan gerakan pemanasan."

Arka tersentak, setelah mendapatkan delikan tajam, ia pun mulai mengerakkan tubuhnya dengan hitungan sampai delapan.

Barisan siswa pun mulai mengikuti gerakan Arka, melemaskan otot tubuh sebelum berolahraga memacu stamina lebih.

Sebagian memang berkonsentrasi dan serentak berteriak mengucap hitungan, namun tidak untuk beberapa siswa yang mulai keluar dari barisan dan membentuk kerumunan. Fokus mereka sama, pada Arka yang berdiri membelakangi dan jelasnya menjadi pusat perhatian.

Bagian belakang kaos milik Arka yang mulai tersingkap naik dan tergantung di pinggul, menampakkan jelas dua bulatan yang nampak bergoyang-goyang ketika terhentak karena gerak. Lebih-lebih saat posisi Arka membungkuk, menjiplak jelas garis celana dalam, tanpa sadar para pria melebarkan manik mata. 

"Gila! Pantat Arka semok juga," pekik salah satu dari mereka yang lekas di setujui dengan anggukan ragu, jelas mereka memikirkan jenis kelamin orang yang mereka tatap hampir mesum.

Fahmi- sang wakil ketua kelas yang sengaja menguping pun mulai bergidik geli. Pikirannya akhir-akhir ini memang di penuhi dengan rasa penasaran dari hubungan sejenis yang makin membuat panas dingin sekaligus. Sementara para pria bergosip terlalu keras, sampai-sampai Brian yang sedetik lalu masih sibuk dengan pikirannya mulai terusik.

Langkahnya tak bisa santai, dadanya bahkan membusung, lekas mencengkram sosok pria yang berani melecehkan kawan baiknya. "Bangsat, ngomong apa lo pada barusan?!"

"Weh... Santai, Bri. Kalo mau nimbrung nggak masalah."

"Bangke! Gue tanya sekali lagi. Lo bicara apa tentang Arka, eh?!" sungut Brian yang makin menjadi.

"Udah jadi perbincangan sewaktu outbound lalu. Arka itu cowok yang di incer banyak cewek. Kita-kita nggak lagi iri dan cari lubang buat mencela, ya... Tapi jujur deh, menurut lo Arka emang nggak sedikit pun masuk kriteria cowok maco, kan? Wajahnya manis banget, dan bodynya?"

Brian mulai bersungut, wajahnya merah padam dengan bola mata terbelalak. Kepalan tangan bebasnya sudah mulai menguat, siap melayangkan bogem mentah pada pria yang masih berani bersuara dicengkramannya.

"Lo-!"

"Woy, yang di sana, ada masalah apa?"

Sebuah teriakan menghentikannya. Dan untung saja saat ini Brian masih berpikir rasional untuk tak membuat satu wajah di depannya itu babak belur di permulaan kisah sma nya.

"Camkan omongan gue. Jangan sekali-kalinya lo ngulang topik itu lagi di sekitar gue apa lagi Arka. Kalo lo masih mau ngejalanin hari di sekolah tanpa ketakutan." Brian memberi peringatan keras. Menyentak lingkar leher pakaian, yang kemudian mendorong dada kawan sekelasnya yang begitu kurang ajar. Terlalu keras hingga nyaris saja terjungkal, kalau saja komplotannya tak sigap menjadi tameng.

"Tapi gue tetap nandain muka lo pada!"

"Napa Bri?" tanya Arka, setelah sadar yang telah di tegur guru adalah Brian. Namun kawannya itu malah membuat Arka makin penasaran, rangkulan di lehernya dihempaskan sebelum mendapat kejelasan. "Gue lagi nanya loh, Bri..." 

"Nggak, mereka cuman mau gabung sama geng kita. Tapi nggak bisa sembarangan, kan? Kita di atas rata-rata, Ar..."

"Bagus deh, lagian gue juga nggak minat buat nambah personil, yang ada rumah gue malah makin rusuh, habis lebih banyak pengeluaran belanja, lagi."

Bagusnya Arka yang mudah percaya, yang pastinya tak membuat Brian usaha lebih untuk membujuk kawannya jika tahu kenyataan bahwa tampilan jantan yang di banggakannya malah mendapat gunjingan.

Tersenyum tulus, lantas menatap Arka yang memberenggut saat Brian mengacak surai berkeringatnya.

"Issh, geli! Lo pikir gue bocil apa?" protes Arka yang setelahnya berlari kencang dengan sesekali melompat tinggi.

Bagaimana tak membuat Brian makin terkekeh geli? Arka yang seperti tak mempedulikan anggapan di sekitar tentangnya masih terlihat sibuk mencari kesenangan. Berlarian dengan surainya yang tersibak angin. Hinggap ke sana ke mari dengan cara mengakrabkan dirinya yang terlalu mengesalkan. Lihatlah bagaimana tawa usil Arka yang berhasil menarik kuncir salah satu siswi! Atau Arka yang saat ini merebut bola basket dan melemparkannya asal tanpa perkiraan ke atas ring.

Pantulan bola yang terlalu keras membuat benda itu memantul terlalu jauh. Ya, memang siapa yang berani memprotes tingkah Arka?

"Emang, lo bocil banget tau, Ar," lirih Brian yang tak sekali pun mengalihkan perhatiannya pada Arka, yang kemudian berlari mengikuti jejak kawannya itu.

"Oper ke sini, Ar!"

"Weekk!" Brian yang meminta, sementara Arka yang sudah memegang bola malah menjulurkan lidah dengan bawah matanya yang di tarik ke bawah, mengejek.

Arka yang memang mencari gara-gara, sementara Brian yang menanggapi pun langsung berlari mengejar. Kedua sibuk tertawa, bola yang masih ada di pelukan Arka membuat siswa lain hilang mainan, kemesraan Arka dan Brian lagi-lagi menjadi pembicaraan.

"Ahh... Gue nggak bisa napas, keringet lo bau asem, Bri..." teriak Arka yang berada di dalam dekapan Brian, wajahnya di posisikan begitu tepat di ketiak basah kawannya itu, sementara bola basket yang masih di pertahankan berada di tengah mereka.

"Biarin, siapa suruh resek sama gu- akkhh...!" Brian tak jadi memperingati, Arka terlalu cepat memberikan balasan ampun yang dapat melepaskan jeratannya, gigitan di dada. Sialan! Apa Arka tak sadar jika yang disasarnya adalah puting?

Brian bahkan sudah meringis kesakitan, mengusap kasar bagian kesakitannya dengan ketakutan buah dada kecilnya itu terkoyak.

"Wo-y..." Teriakan panggilan Brian pun terputus, saat pandangannya menangkap pergerakan Arka yang sudah mulai menjauh dengan langkah riang mendekati sasaran yang di idamkan. 

Sayangnya, Arka yang menikmati kesenangan pribadinya itu mudah bosan dan cepat berpaling.

Ya, kehadiran Brian akan tak sebanding dengan kehadiran sosok sempurna di segala sisi seperti Nino, kan?

Chapitre suivant