webnovel

Kekecewaan

Perasaan Raka bagaikan di hantam ombak besar. Bagaimana bisa Arin membela Marvel yang jelas-jelas adalah musuh bebuyutan nya. Bahkan Arin pun tau pasti tentang hal itu.

"Arin? Kamu belain Marvel?" Raka bertanya dengan tatapan tak menyangka bahwa Arin akan melakukan hal seperti itu.

"Enggak, aku nggak belain Marvel kok. Aku cuma belain yang benar, dan kamu nggak berhak kaya gitu sama Marvel," ucap Arin meninggikan suaranya seakan membentak Raka.

Padahal selama mereka kenal, Arin tidak pernah sekali pun berbicara kasar kepada Raka. Arin yang Raka kenal sangat lemah lembut dan penuh perhatian.

Bagaimana bisa sikap Arin berubah se drastis ini? Ini benar-benar hal yang mengejutkan bagi Raka. Ia berharap bahwa semua ini hanyalah mimpi.

"Rin? Ini beneran kamu kan? Kok kamu berubah jadi kayak gini sih, Rin? Kamu marah sama aku cuma gara gara aku nggak ngizinin kamu jadi model kan? Kenapa kamu nggak bisa ngertiin aku sih,Rin? Aku tuh nggak mau kamu berubah," ucap Raka berusaha menjelaskan tentang alasannya yang tidak mengizinkan Arin menjadi seorang foto model.

"Percuma ya, Ka. Aku sekarang nggak perduli kamu mau gimana sama aku. Yang jelas aku tuh kecewa banget sama kamu," ketus Arin sambil memicing tajam menatap Raka.

Sesaat kemudian, gadis itu mengedarkan pandangannya dan memutar kedua bola matanya malas. Ia sudah tidak bisa lagi memendam perasaan kesalnya pada Raka.

"Asal kamu tau, aku selalu dukung apapun yang kamu mau. Aku dukung kamu balapan, aku dukung kamu olimpiade, aku dukung kamu main basket dan aku juga dukung kamu saat kamu dalam kesusahan, Ka," Teriak Arin frustasi.

Raka masih diam dan menatap sendu kekasih nya yang sedang dilanda amarah itu. Ini kali pertama Raka melihat Arin sejarah itu padanya.

Biasanya semarah apapun Arin padanya, gadis itu sama sekali tidak pernah meninggikan nada bicaranya.

Pelupuk mata Arin sudah terpenuhi dengan genangan air mata yang siap menetes. Sejak tadi manik indah itu sudah berkaca-kaca menahan tangis.

"Kenapa sekali aja kamu nggak bisa ngertiin keinginan aku?" ucap Arin dengan suaranya yang sudah sedikit parau.

Sedetik kemudian, air mata itu benar-benar menetes dan jatuh pada pipi mulus Arin. Dengan cepat, Arin langsung menghapus jejak air matanya secara kasar.

Kemudian menarik nafas dalam-dalam dan berusaha tersenyum.

"Itu cita cita aku, Ka. Dan aku nggak mau cuma karena cinta, cita cita ku nggak ke gapai. Aku nggak mau mengorbankan apa yang aku pengen demi orang yang sama sekali nggak peduli sama aku..." sambungnya.

Tanpa ragu, Arin memutuskan hubungan nya dengan Raka. Baginya, hubungannya dengan Raka saat ini benar-benar sudah tidak ada artinya lagi.

"Mulai sekarang, aku mau kita jalani hidup kita masing masing. Aku mau kita PUTUS!" Tegas Arin memutuskan hubungan sebelah pihak dengan Raka.

"Rin, kamu nggak serius kan? Kita udah hampir 2 tahun pacaran dan kamu mau putus cuma gara gara hal kaya gini, Rin? Rin ini bisa di bicara in baik baik, Rin. Kamu jangan ngomong kayak gitu dong. Aku sayang banget Rin sama kamu," Mata Raka berbinar binar seakan tak percaya dengan apa yang Arin katakan.

Tangan Raka meraih tangan Arin, kemudian menggenggam nya dengan erat dan enggan melepaskan nya.

"Aku serius. Dan sekarang aku tau siapa yang bener bener bisa ngedukung aku menggapai mimpi aku, dia adalah Marvel. Bukan kamu,"

Perlahan Arin menarik tangan nya dan melepaskan genggaman tangan Raka.

"Jadi aku minta tolong sama kamu, lebih baik kamu lupain aku karena aku udah nggak punya perasaan lagi sama kamu." pungkas Arin.

Arin pun pergi meninggalkan Raka sendirian. Gadis itu pergi bersama kekasih barunya yang tak lain adalah musuh Raka sendiri.

Ia benar-benar telah jatuh pada perangkap Marvel yang hanya ingin memanfaatkan dirinya untuk merusak segalanya yang sudah di gapai oleh Raka.

"Kenapa bisa sih kamu se tega ini sama gue? Marvel itu musuh gue sendiri, dan kenapa harus dia yang lo pilih? Nggak tau lagi gue sama jalan pikiran lo. Semuanya benar-benar bikin gue muak!!!" teriak Raka frustasi.

Raka tidak tau harus berbuat apa, seakan mimpi bagi dirinya bahwa orang yang selama ini selalu mendukung dia dalam segala keadaannya pergi begitu saja meninggalkan dirinya dan lebih parahnya dia lebih memilih bersama dengan musuhnya sendiri.

"Apa, Ka? Gue nggak salah dengar nih? Arin putusin lo?" tukas Dimas dengan nada sedikit berteriak karena tidak percaya dengan curhatan temannya itu.

"Iya, gue juga nggak tau kapan mereka bisa dekat banget kayak gitu. Tapi emang akhir akhir ini gue udah ngerasa kalo Arin itu udah beda sikapnya," Ucap Raka dengan nada pasrah dan tidak semangat.

"Dih, ya pasti waktu lo sibuk ngurusin olimpiade lo lah Ka. Emang kapan lagi? Logikanya, bunga mawar nggak akan tumbuh dalam satu malam," Dimas menjelaskan pada Raka.

"Kok gue nggak ngeh ya Dim maksud lo," Rizki menyela pembicaraan Dimas dan Raka.

"Diem aja deh lo kalo nggak ngerti, jangan banyak cingcong ah elah," Dimas gemas dengan temannya yang agak telmi alias telat mikir*

Raka mendengus pelan. ia menatap kedua temannya itu secara bergantian. 

"Sekarang gue harus gimana? Masa iya gue hidup tanpa Arin? Kalian kan tau kalo gue tuh sayang banget sama dia," tanya nya pasrah.

"Jadi gini ya, ka. Ibaratkan aja lo itu bunga dan Arin itu musim," Dimas mulai mengeluarkan kata kata mutiara nya,

"To the point aja kenapa sih, Dim? Gue nggak paham sama kata kata mutiara nge-bingungin lo," Celetuk Raka yang sudah tidak mau mendengarkan basa basi tidak jelas dari temannya itu.

"Sekarang gue tanya sama lo. Apakah bunga akan tetap bertahan jika musim telah berubah?" Dimas mendekatkan wajahnya ke wajah Raka sambil menatap dalam temannya yang sedang patah hati itu.

Raka hanya diam termenung tidak bisa menjawab kata kata temannya itu, lalu dengan entengnya Rizki menyela,

"Kalo bunga nya plastik ya pasti bertahan lah Dim. Gimana sih lo?"

Satu tonyoran di kepala di dapatkan oleh Rizki dari Dimas.

"Eh curut, bunga plastik itu barang mati. Barang mati gak ada perasaan peka nya lah pe'a. Lo mau gue pukul? Ini ibaratnya gitu o'on, kan bunga itu sama kayak Raka gini makhluk hidup," umpat Dimas jengkel dengan tanggapan Rizki itu.

"Ah, dahlah males. Mau pulang aja. Percuma gue curhat ke kalian berdua, bukannya dapet solusi malah bikin gue tambah pusing," cebik Raka kesal.

Cowok itu pun beranjak dari duduknya.

"Dan intinya gue lagi kecewa banget. Kecewa itu bukan penyakit, tapi nyatanya kecewa itu menyakitkan. Huh!" pungkas Raka sambil  menghembuskan nafasnya dengan pasrah.

"Gini nih kalo kebiasaan nge-bucin terus, giliran di tinggalin baru kerasa kan lu? Sekarang jadi the real sadboy!" Kata Dimas yang blak-blakan tanpa di saring dulu.

Raka tidak lagi menghiraukan perkataan apapun dari temannya itu. ia langsung meninggalkan mereka berdua dengan perasaan jengkel, kesal, marah, kecewa, semuanya campur aduk jadi satu seperti isi gado gado.

"Lo sih kalau ngomong suka nyeplos sembarangan, sekarang tu anak pergi kan. Kalo dia sakit hati sama omongan lo gimana hah?" Rizki menyalahkan Dimas karena perkataan nya yang tidak di pikir dulu.

"Eh curut, gue ngomong apa adanya ya. Kan emang kenyataan nya tiap hari kalo dia sama Arin itu nge-bucin terus, ya sekarang udah di tinggalin aja baru kerasa dia," Dimas mengelak tak mau disalahkan.

"Lo tuh gimana sih, Dim? ya nggak salah juga lah kalau Raka nge-bucin kan dia emang sayang banget sama Arin. Nggak peka lo," debat Rizki.

"Bodoamat. Udah biarin aja dia dulu. Nanti kalo dia udah sadar baru dia tuh ngerti kalo hidup tuh nggak cuma tentang cinta cinta cinta terus," ketus Dimas lagi yang semakin tak mau kalah.

"Serah lo, deh. Nggak paham gue sama daya pikir lo. Dah tau temen galau bukannya di hibur malah di tambahin lagi masalah nya," Rizki pun beranjak pergi,

"Woi tunggu, gue pulang sama siapa curut, gue kan berangkat sama lo!" Dimas berteriak karena di tinggalkan oleh Rizki.

***

Saat menuju rumahnya, Raka mengendarai motor nya dengan tidak fokus. Ia tidak mengendarai motor nya dengan kencang, tapi dia tidak sadar bahwa ada seorang gadis yang sedang menyebrang jalan dan hampir dia tabrak. Gadis itupun kaget hingga terjatuh di pinggiran jalan.

"Ya ampun!" Pekik Raka terkejut dan segera turun dari motornya.

"Eh, lo nggak apa apa kan?" Raka memastikan keadaan gadis itu baik baik saja.

"Aku nggak apa apa kok. Aku baik baik aja," Gadis itu tersenyum dengan ramah.

Keduanya saling bertukar pandang sesaat.

Dan di sinilah takdir itu di mulai. Takdir dimana Raka sendiri yang bisa memutuskan bagaimana alur kehidupan nya di masa depan.

Ya, gadis itu adalah Vania Azkadina. Orang yang akan mengubah kehidupan Raka di waktu yang akan datang. Seorang gadis cantik yang lemah lembut, pandai, perhatian, dan sangat ramah.

***

Chapitre suivant