"Mas Alviiiiiiin!!!" teriak Audia. Kesalnya sudah sampai ke ubun-ubun. Bisa-bisanya, Alvin tertawa seperti itu. Apanya yang lucu setelah menjawil hidung, sih?!
Seperti anak kecil, Audia mengejar Alvin di antara ruang tamu dan kamar tidur mereka. Setelah lima putaran, saling mengelak dan berteriak, tiba-tiba Alvin menghentikan langkah kakinya seraya membalikkan tubuhnya, sehingga Audia yang tidak memprediksi gerakan tiba-tiba suaminya, langsung menabraknya.
Bruk! Bruk!
Suara keras terdengar bertumbukan. Audia jatuh tepat di atas tubuh Alvin, dadanya yang bidang terlihat mengintip dari balik kemejanya yang dua kancing di atasnya sengaja ia biarkan terbuka, bergerak naik-turun, mengatur napasnya agar kembali normal. Suara napas terengah terdengar di antara mereka. Seketika itu pula mereka saling menatap sepersekian detik lamanya. Waktu terasa terhenti sejenak. Mengagumi satu sama lain.
Alvin, rambutnya yang messy, dengan peluh di keningnya, menambah nilai plus pria berparas menawan, dan aroma samar white musk-nya yang maskulin, menguar dari tubuhnya, lagi-lagi bak feromon yang menggoda indra penciuman Audia.
Audia, dengan mata bulat besarnya, sebagian wajahnya tertutup rambut. Mulutnya terbuka sedikit, bernapas dengan mulutnya lebih tepatnya, karena letih berlari. Aroma coffee latte bercampur red velvet yang masih tertinggal di rongga mulutnya, ikut menguar dari mulutnya itu, seiring irama napasnya, berhembus di wajah Alvin.
Audia yang tersadar lebih dahulu, langsung memukuli dada suaminya itu—meski tanpa tenaga, karena dirinya sudah kelelahan saat mengejar Alvin keliling ruangan.
"Gak lucu! Gak lucu! Gak lucu!"
Alvin yang masih terhanyut dalam tawa, kemudian mengunci tangan Audia yang masih memukuli dadanya. Membuatnya tidak lagi bisa bergerak. Alvin merengkuh pinggang Audia dengan tangan satunya yang bebas.
"Mau coba gaya baru?" tanya Alvin menggoda.
"Aaaach ...," teriak Audia seraya mencoba melepaskan tangannya dari cengkraman tangan Alvin yang besar. Namun sia-sia. Butuh tenaga ekstra bagi Audia membebaskan diri dari Alvin, dirinya sudah tak lagi memiliki tenaga. Tanpa disadarinya tubuhnya bergerak tak karuan di atas tubuh Alvin.
"Didi ... jangan ... banyak ... gerak ...," Alvin berkata lirih. Namun, Audia tidak mengindahkan. Masih mencoba membebaskan dirinya. "Didi ...," ulang Alvin. Merasa tidak berguna mengingatkan istrinya itu, Alvin kemudian mengangkat tubuh Audia dengan ringannya, menggunakan sebelah tangannya. Sekarang posisi mereka terbalik. "Didi!" bentak Alvin. Seketika Audia terdiam. Napasnya masih terdengar memburu. Wajahnya memerah. Sorot matanya tajam menatap Alvin. Namun, ntah mengapa, di mata Alvin, Audia terlihat menggemaskan dan menggairahkan, apalagi dengan posisi mereka yang seperti itu.
Alvin mendekatkan bibirnya pada bibir Audia. Merasakan kelembutan bibir istrinya, menggodanya untuk mencium lebih dalam. Baru kali itu dia merasakan gairah yang menyala-nyala. Padahal kemarin, di malam pertama mereka, Alvin merasa canggung dan juga gugup. Namun sekarang, tanpa malu-malu, Alvin melumat bibir Audia. Kedua tangannya menangkup kedua pipi Audia. Makin memperdalam ciumannya. Sementara Audia sendiri hanya pasrah menerima ciuman suaminya itu, dirinya tak punya kekuatan untuk melawan. Tenaganya sudah benar-benar terkuras. Dipejamkannya kedua matanya, menikmati saja aksi suaminya itu. Pasrah adalah pilihan satu-satunya, dan mengistirahatkan sejenak tubuhnya. Sambil menyelam minum air. Tidak ada yang salah, bukan?
"Kita pindah ke kamar, yuk," ucap Alvin tiba-tiba, membuat Audia membuka matanya kembali. Menganggukan kepalanya sekali. Alvin kemudian menggendongnya hingga ke kamar mereka. Melanjutkan aksinya lebih jauh.
***
Menjelang subuh ....
"AAAAACH ... AAAAAAAACHHH ...," dua teriakan berhasil membangunkan Alvin yang tengah tertidur lelap.
"Didi ..., hei, hei, tenang ... ada apa?" Alvin memeluk tubuh Audia. Namun alih-alih menghentikan teriakannya, Audia makin berteriak histeris.
"Audia Cinta!" seru Alvin, seraya mengurai pelukannya, ingin memastikan keadaan Audia. Alvin merasa ada yang tidak beres dengan istrinya. Matanya terpejam, di pelupuk matanya terlihat air mata mengalir.
"Maaf," ucap Alvin. Audia menangis tersedu. "Mas gak bermaksud bentak kamu. Are you, okay?" Alvin menangkup kedua pipi Audia, memaksanya agar mau membuka matanya.
"Audia ... sayang ...."
Tiba-tiba tangan Audia memeluk pinggang Alvin. Disandarkannya kepalanya di dada suaminya. "Aku kira, Mas orang lain," ujarnya lirih di antara isak tangisnya.
"Ya, udah, kita bersih-bersih dulu, yuk," ucap Alvin seraya mengecup kening sang istri. Ada perasaan yang sulit dimengerti dari tingkah istrinya itu. Sudah dua kali Audia menyangka dirinya adalah orang lain? Alvin harus mencari tahu penyebabnya.
Semalam untuk pertama kalinya mereka akur setelah keributan kecil. Bagaimana bisa, Audia masih mengira dirinya, Alvin, adalah orang lain? Mereka memang benar-benar baru mengenal satu sama lain setelah menikah. Abaikan soal posisi dosen dan mahasiswanya. Di luar itu, mereka memang dua orang asing, yang tidak saling mengenal .... Namun, benarkah demikian?
***
Sekitar pukul enam pagi, Audia sudah beraktivitas seperti pagi hari sebelumnya. Menyiapkan sarapan pagi, untuknya dan suaminya. Alvin memperhatikannya. Tidak ada yang aneh dan tidak biasa. Audia tetap bersikap riang, seperti kemarin pagi, saat menyiapkan sarapan bagi mereka berdua. Senyum terkembang di wajahnya yang makin menonjolkan tulang pipinya yang tinggi—ciri khas dari wajah diamond, sambil sesekali bersenandung lirik kesukaannya, A Thousand Years—Christina Perri.
Tak berselang lama, omlet udang telur sudah tersaji di hadapan mereka, dan dua kopi latte. Mereka makan seperti biasa.
***
"Didi yakin gak apa-apa kita jalan hari ini?" tanya Alvin setelah mereka selesai sarapan, dan langsung mengepak beberapa potong pakaian yang akan mereka bawa berlibur ke dalam satu koper. Tak lupa kamera andalan Alvin dibawanya serta.
"Nggak, kok, Didi sehat. Sayang juga, 'kan, udah booking tempat, bayar di muka, masa dibatalin. Tenang aja," ujar Audia yakin.
"Bawa ini, Di," ucap Alvin tanpa malu-malu, seraya menyodorkan pakaian yang dibelikan mamanya Alvin.
Audia yang melihat apa yang disodorkan suaminya, terbelalak, muncul semburat merah di wajahnya. "Apaan, sih, igh, gak mau!!" protes Audia. Yang membuat Alvin mulai menggoda istrinya itu, lagi.
"Bawa pokoknya!" ucap Alvin makin menjadi, menggoda Audia.
"Gak mau, igh, malu!"
"Lha? Sama suami sendiri, kok, malu? Mas udah liat semuanya malah."
"Mas Alvin, igh!" seru Audia seraya mencubit pinggang Alvin.
"Sakit, dong, Di." Alvin terlihat meringis, cubitan Audia lumayan juga ternyata.
Tiba-tiba Alvin, menarik tangan Audia. Merengkuh pinggangnya.
"Mas Alvin mau ngapain?" tanya Audia terkejut.
"Mau hukum kamu!"
"Mas Al—hmmft." Alvin melumat bibir Audia dan tidak membiarkannya lolos dari hukuman.
***
Audia dan Alvin berangkat dari apartemen mereka sekitar pukul sembilan pagi. Jalanan lumayan lengang dan lancar karena sudah lewat waktu jam sibuk kendaraan berlalu lalang, mengantar para pengendaranya ke tempat kerja.
Mereka tiba di tempat tujuan lebih kurang tiga jam kemudian. Setelah itu menurunkan barang-barang bawaan, kemudian istirahat dan makan siang. Sisa hari mereka lewati dengan bersantai sejenak. Tampak Alvin memperlihatkan beberapa foto hasil jepretannya, kepada Audia, saat singgah ke beberapa wilayah di Indonesia dan manca negara. Audia berkali-kali berdecak kagum. Dan komentar 'wow' berkali-kali keluar dari mulutnya.
***
Dukung terus cerita ini yah! Keluarkan Power Stone si Batu Biru untuk cerita ini ya kak! Jangan lupa review bintang lima ya kak. Terima kasih ^*
Jangan lupa VOTE juga untuk ceritaku yang lain ya
Alisha (Pretending) buat yang suka action-romance, rekomen deh! Hehe