webnovel

Sebuah Titah, Takdir untuk Berpisah {2}

"K... kau! Kau menciumku?!" pekik wanita itu.

Xie Liao Xuan hanya berdecak, kemudian dia buru-buru terbang, kemudian masuk ke arah balai agung. Tanpa ia ketahui, ada sepasang mata yang melihat kejadian itu, sepasang mata yang memandang dengan banyak makna.

Jamuan resmi pengangkatan Putra Mahkota sudah dimulai, hampir semua Dewa-Dewi kahyangan berkumpul jadi satu. Bahkan, para penguni duniawi yang abadi untuk hari ini pun diundang secara khusus untuk memberikan penghormatannya kepada calon raja tertinggi dunia.

"Yang Mulia Putra Mahkota telah tiba!"

Pengumuman itu lantas membuat semua yang ada di sana diam, mereka dengan serempak berdiri, memberi penghormatan kepada Xie Liao Xuan yang baru saja masuk altar istana dengan begitu gagah. Jubah putihnya tampak bergerak seirama dengan gerak langkah kakinya lebar-lebar. Di depannya ada karper merah dengan untaian emas yang sangat megah. Dengan di belakangnya Li Zeng, dan Li Qian Long tampak menundukkan kepala sambil mengikuti langkah sang calon raja. Setelah berada di depan singgasana kedua orangtuanya Xie Liao Xuan pun berhenti. Li Zeng dan Li Qian Long langsung duduk di tempat mereka seharusnya berada.

"Yang Muliah Putra Mahkota memberi hormat kepada Baginda Raja, dan Baginda Ratu istana langit!"

Xie Liao Xuan langsung memberi hormat kepada orangtuanya, membuat orangtua Xie Liao Xuan langsung berdiri agar putra kesayangan mereka itu berdiri. Setelah itu, prosesi penobatan Putra Mahkota pun dimulai. Mulai dari pengambilan sumpah Xie Liao Xuan untuk memegang amanat sebagai Putra Mahkota dan akan bertanggung jawab atas gelarnya itu. Mempersembahkan darah sucinya pada sebuah bola kristal yang merupakan sebagai simbol pembuktian jika Xie Liao Xuan adalah benar-benar orang yang pantas. Sebab, jika langit tak memberi restu, meski ditetesi darah siapa pun, maka bola kristal yang agung itu tidak akan pernah memancarkan sinarnya.

Bola kristal itu langsung bersinar, cahaya kuning yang sangat pekat terpancar ke seluruh penjuru langit. Burung-burung Pheonix langsung muncul, berterbangan tepat di atas balai agung, dan ada sebuah naga raksasa berwarna keemasan muncul dengan megahnya di sana.

Xie Liao Xuan tampak kesakitan, dada sebelah kirinya pun mengeluarkan sinar. Sebuah tanda lahir berupa naga itu pun memancarkan sinarnya dengan sangat nyata. Membuat semua tamu yang ada di sana memekik penuh ketakjuban.

Ini, adalah kali kedua, tepatnya setelah raja langit pertama, jika ada penerus tahta kerajaan langit yang telah ditakdirkan oleh kahyangan, dan yang agung untuk menjadi penerus selanjutnya. Sebab, yang memiliki lambang naga seperti itu, setelah kepergian raja pertama bahkan nyaris tidak ada.

"Hormat kami Yang Mulia Putra Mahkota! Hormat kami Baginda Raja!" seru semuanya, langsung memberi hormat kepada Xie Liao Xuan tanpa terkecuali, bahkan kedua orangtuanya juga.

Setelah bola kristal yang agung itu ditutup dan sinarnya menghilang, Xie Liao Xuan sudah tak merasa kesakitan lagi. Jubah kebesaran berwarna merah dengan hiasan berbentuk naga yang disulam dengan benang emas pun tampak menambah keagungan dari yang mengenakannya. Sebuah mahkota dipasang dengan sangat hati-hati di kepalanya. Kemudian, Xie Liao Xuan membalikkan badannya dan memandang seluruh tamu yang ada di sana.

Semua tamu tampak bertepuk tangan dengan penuh suka-cita, seorang calon Raja baru yang dipilih oleh langit, dan surgawi kini kembali ada. Xie Liao Xuan kemudian duduk di singgasananya, membuat dua pasang mata itu memandangnya dengan tatapan kebencian yang luar biasa.

"Aku tak akan pernah menerima ini semua, tidak akan pernah," geram Xie Ming Zhen. Ibunya yang tahu, langsung menggenggam punggung tangan anaknya kuat-kuat, seolah dia mencoba menenangkan amarah yang membakas dada anaknya.

"Hey, Nona! Apa yang kau lakukan di sini?!"

Anqier menghentikan langkahnya, tubuhnya menegang saat prajurit istana menangkap basah dirinya. Dia benar-benar tak bisa berkutik, dia tahu lebih dari siapa pun bagaimana prajurit langit dengan kekuatan nan agung mereka. Jika sampai para prajurit tahu kalau dia bukan seutuhnya seorang Dewi, dia akan benar-benar dimasukkan ke dalam lubang penderitaan dan diturunkan kembali ke bumi.

"A... aku—"

"Ada apa?" tanya seorang Dewa paruh baya kepada para pengawal kerajaan.

Mata Anqier terbelalak, dia langsung menundukkan wajahnya dalam-dalam dengan kedua tangan yang bergetar hebat. Seharusnya, dia menuruti ucapan ibunya, jika dia harus tetap tinggal di dalam rumah dan tak pergi ke mana pun. Tapi, adanya jamuan penobatan Putra Mahkota benar-benar membuat Anqier penasaran, dia benar-benar ingin melihat meski itu hanya sekilas.

"Kami tak tahu dia Dewi dari mana, Dewa. Akan tetapi, dia mengendap-endap datang ke sini," jawab salah satu pengawal yang ada di sana.

Dewa itu lantas berjalan mengitari Anqier dengan tatapan menyelidik, untuk kemudian langkahnya terhenti tepat di depan Anqier.

"Kalian, pergilah. Biar aku yang bicara dengan Dewi kecil ini...," titahnya. Para pengawal langsung kembali ke tempat mereka berjaga semula. Membuat Anqier menelan ludahnya dengan susah."Baumu memang bau seorang Dewi...," kata Dewa tua itu. Tatapannya yang tadi tajam kini tampak melembut. "Tapi separuhmu itu, aku sangat mengenalnya. Inti sari siapa yang ada di dalam tubuhmu sampai aromamu sebagai manusia tidak tercium," lanjutnya.

Anqier langsung terbelalak, dia benar-benar ketakutan bahkan sampai bingung harus berbuat apa sekarang. Kemudian, dia langsung berlutut di depan Dewa itu, berluntut sedalam-dalamnya agar Dewa itu tak menghukumnya dengan berat, karena telah lancang masuk ke balai agung kerajaan.

"Maaf—"

"Kau tak perlu bersikap seperti ini, hanya aku yang mengetahuinya. Jika separuh inti sari dari diri Putra Mahkota ada padamu. Dan aku tak akan mengatakan kepada siapa pun," ucapnya.

Anqier langsung berdiri, dia kemudian menggenggam kedua tangan Dewa itu dengan perasan senang luar biasa.

"Terimakasih, Dewa. Kau telah menyelamatkanku. Sebab jujur, tinggal di sini juga bukanlah kemauanku. Ibu yang telah memaksaku untuk tinggal bersamanya, jadi mau tak mau aku berada di sini sekarang," jelas Anqier panjang lebar yang berhasil membuat Dewa Li Qian Long tertawa.

Mata Anqier kemudian memandang ke dalam aula, di sana dia melihat sosok yang tadi telah menganggunya tampak duduk dengan gagah di atas singgasananya. Bahkan, kini pandangannya tak berkedip sedikit pun, dia tak pernah menyangka jika laki-laki menyebalkan itu akan sangat cocok, dan tampak hebat berada di atas sana. Tanpa sadar Anqier menyunggingkan seulas senyum, membuat Dewa Li Qian Long melihat arah pandang yang ia lihat juga.

Namun ekspresi yang ditampilkan oleh Dewa Li Qian Long rupanya berbeda, sebab tatapannya bukan bahagia seperti Anqier, melainkan sebuah isyarat jika kehancuran sudah berada di depan matanya.

"Bahkan ikan liar yang akan di sungai pun cukup tahu diri untuk tetap berenang sesuai arus. Mereka tak akan pernah melewati batasan, atau berusaha untuk naik ke atas karena ingin merasakan yang namanya ketinggian," setelah mengatakan itu, Dewa Li Qian Long langsung pergi, membuat Anqier terdiam membisu untuk sesaat. Jujur, dia sama sekali tak paham dengan apa yang dikatakan oleh Dewa itu. Tapi dia merasa, jika ucapan dari sang Dewa adalah peringatan untuknya.

Chapitre suivant