webnovel

Gael

.

.

.

.

Preinan POV

"Kamu yakin mau nginep di sini?" tanya Raiga pada kekasihnya yang duduk di ranjang. Mata abu abunya menyapu seisi ruang kamarnya.

"Iya," jawabnya saat menoleh pada Rai.

Mereka duduk bersebelahan dengan Preinan yang menyandarkan kepalanya pada pundak Raiga. Genggaman tangan mereka belum terlepas sejak pergi dari rumah tadi.

"Aku nggak tahu kalo keluarga kamu ternyata serumit itu," Raiga menyinggung permasalahan yang baru saja terjadi di rumah Preinan.

"Nggak," Preinan mengangkat kepalanya. "Semua bakal baik baik aja kalo Papah masih milih buat sendiri." tiba tiba dia menyunggingkan senyum getir. "Kalo Papah punya pasangan lagi, itu baru rumit ... Dan aku nggak tahu lagi harus tinggal sama siapa,"

"Hei ...," Raiga menyusap ujung mata Preinan yang berair. "Gimana pun juga, mereka tetap orang tua kamu, mereka nggak mungkin ninggalin kamu." ujar Raiga menenangkan.

Tangannya dengan lembut mengusap wajah Preinan. Hingga perlahan senyuman kekasihnya kembali merekah.

....

"Jalannya pelan pelan dong! Pantatku masih sakit, tahu." protes Abi pada orang yang menyeretnya memasuki gerbang sekolah.

Erik mendelik sekilas lalu di bopongnya tubuh Abi tanpa permisi, membuat juniornya itu berteriak dan refleks menjambak rambutnya.

"Ngapain, sih?!" dengus Abi kesal. Erik menurunkan tubuh Abi perlahan kemudian mengusap kepalanya yang panas akibat jambakan maut Abi.

(Ukenya sadis banget gusti:")

"Katanya masih sakit. Ya, aku pikir mending gendong kamu aja ke kelas." sahut Erik pelan. Dia masih sibuk menata rambutnya. "Lagian kenapa maksain sekolah? Kan, aku bilang mending istirahat aja di rumah." lanjutnya menoyor Abi.

"Hari ini ulangan. Aku nggak mau ijin, nanti di kasih tugasnya pasti lebih banyak."

"Kan, aku bisa bantuin." sahut Erik menyambar. Dan tepat setelahnya sebuah bogem mentah mendarat telak di lengan. Membuatnya kembali mengaduh.

"Bantuin, ndasmu! Yang ada aku di tidurin lagi kayak kemarin." Abi mendecak. Kemudian dengan sedikit terpincang pincang menahan sakit di area panggul, dia berjalan meninggalkan Erik.

"Dia ini dendam atau gimana, sih? Dari pagi nyiksa mulu perasaan." keluh Erik sembari mengekori langkah Abi. Dan mengusap lengannya yang ngilu.

....

"Bi?" Preinan memanggil untuk kedua kalinya.

Dia terusik dengan geliat Abi yang terlihat tak nyaman saat mereka sedang mengerjakan ulangan.

"Kenapa, sih? Ambeien, yah?" Preinan terkekeh sendiri.

Abi berubah tegang. Jangan sampai Preinan mencurigai sesuatu, pikirnya. "Euh, aku mau ijin ke toilet. Kamu kumpulin kertas ulanganku sekalian, ya? Please." Abi berdiri, lalu dia meminta ijin pada pengawas ruangan dan pergi dari kelas.

Alis Preinan bertaut. Melihat Abi yang sedikit bertingkah aneh membuatnya penasaran. Dengan cepat dia menyambar kertas ulangannya dan Abi, lalu memberikannya pada pengawas kelas. Buru buru ia susul langkah Abi menuju toilet.

"Bi?" panggilnya pada setiap bilik toilet yang tertutup.

"Apa?" seseorang menyahut dari bilik paling ujung.

Pintu bilik terbuka. Abi keluar dari sana sembari menaikkan resleting celananya. "Kenapa nyusul? Aku cuma sebentar, kok." Abi mencuci tangannya di wastafel.

"Nggak apa apa. Kamu hari ini agak aneh, cuma mau mastiin, aja."

"Aneh gimana?" Abi kembali tegang.

Preinan memandangi Abi dari bawah hingga ujung rambutnya. "Kamu ... Nggak nyembunyiin sesuatu, kan?"

"Nyembunyiin apa? Nggak ada apa apa, kok." geleng Abi cepat. Sebisa mungkin bersikap natural.

"Em, sebenernya aku mau tanya sesuatu." Preinan bersandar di sudut, lalu menganti topik pembicaraan.

"Apa?"

"Soal kamu yang pernah ehm sama Erik itu ...," Ucapnya ragu ragu, namun penuh penekanan saat berdehem. Membuat Abi panas dingin. "... Rasanya gimana?"

Hah?! Abi melongo. 'Gak salah, nih? Preinan nanyain gituan?' gumam Abi dalam hati.

"Rasa apanya?" Abi menyahut usil.

"Ya ... Itu. Maksudku setelahnya," Preinan menggaruk tengkuknya dengan kikuk. "Apa sakit?"

Abi mangut mangut. Gesturnya berubah ke mode serius. "Rasanya, ya." Abi melipat tangannya di dada. "Bayangin kamu lagi di gulum sama air liur (Maksudnya di jilatin sebadan badan) tiba tiba Brasskk!!! Ada yang nusuk 'anu' kamu, dan terus--."

"Isshh, stop!!" Preinan menyela. "Aku nanya setelahnya, bukan prosesnya!" wajahnya merah padam.

"Oh, iya. Maaf." Abi nyengir. "Rasanya, ya gitu. Kalo pertama kali parah banget sih. Sakit! Aku sampe susah buat jalan, susah duduk dan bahkan susah BAB."

Mendengar Abi, Preinan seketika membatu. Tubuhnya sampai berkeringat dingin saat membayangkan betapa sakitnya itu.

"Tapi, kedua kalinya nggak terlalu, kok. Sakitnya sedikit berkurang," ujarnya dengan polos. Membuat dahi Preinan mengerut curiga.

"Kamu tidur sama dia nggak cuma sekali? Gila!! Aku nggak nyangka, lho." Preinan menggeleng. "Kalian itu ada hubungan, kan? Ngaku, deh." lanjutnya menuntut penjelasan.

"Hubungan apa? Nggak ada tuh," Sebelum di introgasi lebih dalam, Abi memilih melenggang pergi. Tapi, di ambang pintu toilet. Langkahnya di hadang oleh seorang pria tinggi berwajah beringas.

"Hei, kita ketemu lagi," ucap Gael dengan menyunggingkan seringai. Dia bersama dua teman gengnya berdiri menghalangi pintu.

"Mau apa?! Minggir, aku mau lewat," Abi mendorong tubuh Gael namun tak membuahkan hasil.

"Bi? Jawab dulu yang ta ... di," Preinan terhenti ketika melihat Abi di kepung oleh tiga orang senior yang menghalangi pintu keluar. Buru buru, ia mendekat dan berdiri di samping sahabatnya.

"Kamu di palak?" bisiknya pelan.

"Tahu, nih!" jawab Abi dengan nada yang tinggi. Dan terkesan nyolot. "Preman nggak ada kerjaan, mau ngejago tapi mainnya keroyokan,"

"Siapa yang mau ngejago? Hah! Kita cuma mau ke toilet."

"Kalo mau ke toilet ya masuk aja! Jangan ngejogrog di sini," timpal Abi dengan nada yang masih ketus.

"Tapi, kebetulan, sih. Ketemu kamu sama temen kamu di sini. Bisa kali kita main main sebentar." ucap Gael sembari mencolek dagu Abi dan mendekatkan wajah.

"Ih najis!" Abi menepis tangan Gael yang menempeli dagunya. "Dasar gay!"

Gael seketika terpingkal pingkal mendengar cibir Abi. "Emang kenapa kalo gay? Salah, ya?!" Timpal Gael melotot.

"Bi, udah dong." Preinan mencoba menarik Abi untuk mundur.

"Sebentar," Abi menepis lengan Prei.

"Ya ya terserah kamu aja, deh. Mau gay mau nggak juga bukan urusanku." Abi menaikan kepala. "Yang jelas kalian minggir sekarang. Aku mau pergi,"

Gael mengangkat bahunya dengan acuh. "Silahkan." kemudian tiba tiba dia mencengkram lengan Abi. "Asal kamu kasih dulu nomor telpon temen kamu," matanya memandang intens pada Preinan yang berdiri mematung.

"Ga usah ngarep! Nggak bakal aku kasih," ujar Abi tegas.

Tiba tiba, Gael mengeratkan cengkramannya. Membuat Abi meringis menahan nyeri. Preinan maju, lalu di lepasnya cengkraman Gael dari lengan Abi.

"Nggak usah pake kekerasan bisa nggak, sih! Oke, kamu mau nomor telpon. Aku bakal kasih." Preinan menarik Abi agar berlindung di balik punggungnya. Dan berhadapan langsung dengan Gael.

"Bagus," mimik wajah Gael berubah drastis. Yang awalnya jahat dan licik menjadi lembut dan ramah saat berhadapan dengan Preinan. "Kamu memang anak yang baik," ujarnya dengan menarik dagu Preinan.

....

Bel istirahat berbunyi.

Abi duduk ketus di sebuah bangku kantin dengan menyedot kuat jus alpukat yang ia pegang. Preinan duduk serta di sebelahnya, disusul Raiga dan Erik yang ikut duduk di sebrang.

"Bi? Kamu kenapa, sih?" Erik mulai bertanya. "Masih kesel sama aku?"

Pertanyaannya membuat Raiga dan Preinan saling beradu pandangan sesaat lalu beralih pada Abi. "Emang kalian punya masalah apa?" Raiga ikut bertanya.

Abi mendelik Erik saat dia baru saja akan membuka suara. Alhasil, dia tidak jadi bicara dan melempar pandangan ke sembarang arah. Kemudian menggeleng dengan cepat.

"Kamu masih kesel soal yang tadi?" Preinan menyela.

Abi mengangguk. Dia membanting jusnya ke meja. "Harusnya aku pukul aja tuh orang. Berani banget nyium kamu sembarangan,"

"Hah?" Raiga terkejut. "Nyium kamu? Siapa?" kini dia tak kalah geramnya dengan Abi.

Preinan menggeleng pelan. "Aku gak tahu siapa namanya."

"Gael! Dia tuh, senior yang suka sok ngejago." sambar Abi. "Tadi kita lagi di toilet, terus dia sengaja ngalangin jalan."

"Terus gimana ceritanya dia bisa nyium kamu?" Raiga masih menatap tajam ke arah Preinan.

"Tadi dia nyakitin Abi. Terus ngancem kalo aku nggak ngasih nomor telpon sama dia. Makanya aku kasih aja. Tapi, dia malah nyium pipi aku waktu kita keluar dari toilet." tutur Preinan menjelaskan.

Raiga terlihat marah. Tapi dia mencoba untuk tidak terbawa emosi dan memikirkan hal lain sebagai solusinya. Karena bagaimana pun, Gael adalah anak dari salah seorang guru di sekolah ini. Dia tidak bisa mengambil tindakan gegabah.

"Kalo dia hubungin kamu atau gangguin kamu lagi, langsung bilang ke aku. Ngerti?!" Serunya tegas. Dan langsung di balas anggukan kepala oleh Preinan.

Chapitre suivant