webnovel

Salah

Raiga POV

Aku merilik sekilas pada jam di tanganku. Sial, sudah jam 6 lewat, tapi aku belum sampai di sekolah. Aku menghela napas dan mamutar pedal gas motorku lebih dalam lagi. Aku berharap Preinan mau berbaik hati memaafkan keterlambatanku ini.

Kkrriitttt!!..

Aku mengerem seketika saat sebuah mobil hitam besar ternyata terparkir tepat didepan gerbang sekolah. Dengan dua orang yang terlihat menunggu kedatanganku berdiri disana.

Aku menurunkan standar motorku dan melepas helm yang masih melekat dikepala sembari tak luput memberikan senyuman ramah terbaik.

"Hai, maaf ya, tadi ada sedikit kendala. Jadi aku agak terlambat." ucapku setengah canggung.

Saat turun dari motor, aku membuka semua box yang diikat dibelakang jok. Semua ini adalah kue pesanan dari Preinan semalam.

"Nih... semua pesenan kamu, aku ngerjainnya semaleman, loh." aku mengulurkan box itu padanya.

"Kamu telat." sahutnya dingin

"Ya, maaf. Tapi, aku kan, punya alasan kenapa bisa telat. Lagian, salah kamu sendiri kenapa pesennya tengah malem." Kataku mencari cari alasan.

"Yaudah, aku nggak jadi bayar."

Whatt!! !

Aku berjalan mendekati pak Eko yang berdiri tak jauh dari kami. Lalu dengan sengaja melemparkan box itu padanya. Dan tentu saja dia menangkapnya dengan gesit.

"Udah, dibawa pak Eko, tuh. Jadi, harus tetep dibayar." aku mendelik padanya.

Tapi, dia hanya menghela napas lesu, dan memalingkan wajahnya dariku. Dengan sabar aku mencoba menjelaskan alasanku datang terlambat, tapi dia seperti tidak minat mendengarkan omonganku sedikitpun.

Aku tidak terima diperlakukan seenaknya begini. Mau tidak mau aku harus bersikap lebih tegas. Dengan sedikit kasar aku menarik lengannya agar dia memalingkan wajahnya padaku. Dia terlihat sedikit terkejut, tapi itu tidak masalah.

"Bayar nggak!." suaraku sedikit tegas.

"Lepasin."

Dia memutar mutar pergelangan tangannya, tapi, aku tidak akan melepasnya, sampai dia mengalah dan membayar.

"Bayar dulu, baru aku lepasin."

Dia tetap keras kepala dan terus saja mencoba melepaskan diri dariku. Aku ini pernah ikut karate, jadi kalau soal meremas tangan orang sampai hancur, itu bukan masalah besar.

Dia terlihat menatap mataku dengan tatapan sinis sesaat, dan mengalihkan pandangannya pada pak Eko. Dengan cepat pak Eko meletakkan box kueku disamping mobil dan berjalan kearah kami. Untuk membantu Preinan melepaskan diri dariku.

"Hei, kenapa kamu jadi kasar begini, ayo cepat lepasin." bujuknya dengan terus menarik tanganku.

"Dari awal aku nggak mau main kasar. tapi, salah dia sendiri yang main asal batalin gitu aja. ya, aku kesel lah, pak." jawabku pencari pembenaran, toh memang bukan aku yang salah.

"Iya, tapi lepasin dulu. Kasian." bujuknya lagi

"Nggak!."

Pak Eko terus saja memohon agar aku melepaskan tangan Preinan, tapi Preinan sendiri tidak berbicara apapun. Sebenarnya, maunya apa sih ni anak.

"Prei, jangan kekanak kanakan, deh. Aku cuma minta kamu bayar semuanya. Aku nggak akan maksa kalo kamu nggak bersikap kayak gini." ucapku tegas.

Tapi, dia tetap diam. Tangannya yang sedari tadi ku pegangi mulai terlihat mererah. Sebenarnya aku sudah kasian, tapi kenapa dia bersikap keras kelapa nggak jelas seperti ini. Antara bingung dan marah, aku tidak tahu dimana posisi perasaanku.

Wajahnya mulai terlihat meringis, sudah bisa ku tebak kalau dia sudah tidak bisa menahan perih. Bagaimana tidak, mungkin saat ini tangannya sudah lecet karena terus melawan.

Tapi, ternyata dugaanku salah.

Dia memegangi perut sebelah kirinya, dan sedikit merengkuhkan badan. wajahnya menunduk seperti sedang menahan nyeri. Pak Eko yang juga memperhatikannya mulai terlihat khawatir.

"Kenapa tuan?."

"Lepasin... Lepasin!." suara Preinan mulai terdengar lirih.

Melihat keadaannya yang seperti tidak baik. Dengan perlahan, aku melepaskan tangannya.

Dia menatapku lekat sembari menegakkan tubuhnya kembali pada posisi normal.

"Kalo cara kamu kayak gitu, gak akan ada orang yang mau beli sama kamu!." ucapnya sedikit ketus.

"Kalo kamunya nggak nyebelin, aku nggak akan bersikap kayak gini!." timpalku membela diri.

Wajahnya tiba tiba tersengih. "Karena kamu salah. Kamu yang terlambat dateng. Dan kalo kamu yang salah, kamu nggak bisa maksa orang lain buat pengertian sama kamu. Nggak semua orang sebaik itu." ucapnya tegas.

Aku menghela napas sejenak sembari memikirkan ulang kata kata yang baru saja diucapkan Preinan. Tak ada yang salah dari ucapannya, mengingat memang aku yang menyanggupi pesanannya semalam. Tapi, tetap saja perlakuannya juga tidak baik terhadapku.

Dan, mungkin karena tidak tidur semalaman, moodku jadi tidak bagus dan emosiku jadi tidak terkendali. Biasanya aku akan meminta pengertian pelanggan jika pesanan mereka terlambat ku antar. Tapi, aku sendiri tidak tahu kenapa aku langsung bersikap bodoh kepadanya tadi.

"Pak Eko... Ambil uang yang ada di kursi belakang, dan kasih ke dia. Aku mau masuk ke kelas." katanya tiba tiba dan langsung berbalik meninggalkan kami.

Pak Eko melihatku sejenak lalu menuruti perintah yang Preinan katakan. Dia membuka pintu mobil belakang dan merogoh sesuatu lalu berjalan menghampiriku lagi.

"Ini. Uang bayaran kamu." dia mengulurkan secarik amplop putih yang terlihat tebal.

Karena sedikit curiga dengan isinya, aku membukanya saat itu juga. Dan benar saja, firasatku tepat sasaran.

"Pak, ini kebanyakan." ucapku pada pak Eko yang sedang memasukkan box kue ke kursi belakang mobilnya.

"Saya tidak tahu apa apa. kalau mau protes, langsung pada tuan saja. Tapi ingat, ya. Jangan bersikap kasar seperti tadi. Saya tidak suka melihatnya." sahutnya sembari menunjuk nunjuk kearahku sebagai isyarat peringatan.

Aku hanya bisa mengangguk pelan dengan sedikit rasa malu. "Maaf... "

Setelah pak Eko pergi dari hadapanku, aku mematung untuk beberapa saat sambil terus meremas remas amplop uang yang aku pegang.

"Apa... Aku harus minta maaf?."

****

Preinan POV

"Hai, Prei. Kamu dateng pagi, ya." sebuah lengan melingkar di pundakku begitu saja, dibarengi senyuman ramah dari orang yang selalu ingin ku hindari.

"Mm, iya." jawabku singkat.

"Oh, iya. Kamu udah ngerjain tugas matematika belum? Hari ini dikumpulin, loh."

Mendengar ucapannya aku menghentikan langkahku sejenak. Dan menoleh kearahnya dengan memasang wajah kecut.

"Aku.. Lupa."

"Udah aku duga. Tapi tenang... Kamu bisa nyontek punyaku, kok." sahut Abi dengan menggoyangkan kedua alisnya.

Aku tersengih geli "Iya, deh..  Kamu emang yang terbaik."

Dia memberiku senyuman lebar yang menunjukan deretan gigi putihnya yang rapi. Melihat tingkah konyolnya tawaku lepas begitu saja. Siapa yang sangka, kalau orang yang suka memaksa ini ternyata teman yang baik.

Aw!!

Aku mengiris saat perutku tiba tiba terasa perih lagi. Kali ini, aku mencoba meremasnya lebih kuat. Tapi rasa sakitnya tidak berkurang sama sekali.

Abi ikut memegangi perutku dan menahan tubuhku agar tetap berdiri seimbang.

"Kenapa? Kamu sakit."

Aku menggeleng pelan. "Nggak tahu. Dari semalem, perih terus."

"Kamu belum makan?."

"Udah, kok."

"Yaudah, gini aja. Aku anterin kamu ke UKS, ya. Kamu nggak usah masuk kelas dulu."

Aku mengangguk dan menuruti saran Abi. Dia memegangiku sepanjang jalan menuju UKS, sambil terus memberiku semangat.

Abi, "Makasih."

Aku duduk diranjang UKS, dan dia buru buru keluar lagi, katanya mau memanggil petugas PMR yang dia kenal. Meski kurang yakin, tapi aku tidak punya alasan untuk tidak mempercayainya. Setelah dia meninggalkan ruangan, aku membaringkan tubuhku. Aku tidak tahu kenapa rasanya sangat sakit. Sebelumnya tidak pernah seperti ini.

Apa mungkin...

Karena semalam, aku memakan kue pemberian itu? Ya... Meski sudah ku berikan pada pak Eko, aku sebenarnya penasaran dengan rasanya. Tapi tidak ada yang aneh, aku yakin. karena pak Eko sendiri pun juga memakannya. Dan dia baik baik saja sejauh yang aku lihat.

Hah.... Entahlah...

Setelah beberapa saat, Abi kembali dengan seorang wanita yang terlihat sedikit panik. Aku curiga dari ekspresi wajahnya, kalau Abi pasti melebih lebihkan keadaanku.

"Hei... Apa sakitnya parah?." Tanya wanita itu sesaat setelah sampai di dekatku.

Aku menggeleng pelan. "Nggak, kak. Cuma sedikit perih."

Dia seperti menghela napas lega dan kemudian menyipitkan matanya saat beralih menatap Abi.

"Eh, aku nggak bohong. Tadi kayaknya emang parah. Mungkin sekarang udah mendingan. Iya, kan, Prei." ucapnya sedikit takut dan beralih padaku.

Aku terkekeh geli melihat tingkah kekanakannya ini, seperti dugaanku, kalau dia pasti melebih lebihkan situasi.

"Biar kakak cek, ya." wanita itu kembali memperhatikanku setelah membuat Abi grogi dan terdiam.

Tangan putihnya memeriksa tubuhku dengan telaten, mulai dari memeriksa tekanan darahku, denyut nadi dan terakhir suhu badanku. Dia bukan seorang perawat sungguhan, tapi gaya dan caranya bekerja sedikit membuatku kagum.

"Nggak apa apa, kok. Semuanya normal, apa kamu punya  penyakit asam lambung atau yang lainnya?."

"Nggak tahu, tapi aku rasa nggak, deh." jawabku agak ragu, karena memang aku tidak tahu.

"Punya alergi?." lanjutnya.

"Nggak."

"Terus kenapa, kok bisa sakit?."

"Aku juga nggak tahu, mungkin salah makan kemarin."

Dia mulai menepuk nepuk perutku perlahan. "Mual nggak?."

"Nggak."

"Kalo salah makan, biasanya mual. Tapi, kalo nggak, mungkin gara gara hal lain. Aku kasih kamu obat nyeri aja, ya. Terus tidur sebentar. Kalo udah mendingan, kamu bisa balik ke kelas lagi." katanya sambil membuka kotak P3K dan memberikan obat berwarna kuning padaku.

Aku membenarkan posisi dudukku dan meminum obat yang dia berikan. Abi terlihat mendekat ke sebelahku dan mengusap usap pundakku.

"Mau aku temenin disini?." tawar abi yang langsung aku tolak.

"Eh, nggak usah. Mending kamu ke kelas."

"Nggak apa apa emang sendiri?."

"Nggak apa apa, kalo kita bolos bareng nanti aku nyontek sam siapa." jawabku yang berhasil membuat alasan.

"Ah, iya juga sih. Biar aku nyatet semua, terus kamu bisa salin nanti."

"Nah, pinter."

...

Abi meninggalkanku sesaat setelah anggota PMR tadi keluar ruangan. Ruangan ini jadi sepi kembali, ditambah bel masuk yang sudah berbunyi. Suasananya jadi bertambah hening.

*****

Raiga POV

"Hei!." aku mencoba mempercepat langkahku untuk mengejar seseorang yang berjalan di depan.

Ah, sial. Dia keburu masuk ke dalam ruang kelas. Dan karena bel juga sudah berbunyi, mau tak mau aku urungkan niatku untuk mengejar lelaki bernama Abi itu dan lebih memilih masuk ke kelasku.

Sebenarnya aku mau tanya soal Preinan pada dia, tapi ya sudahlah... itu bisa aku lakukan nanti.

...

"Eh, Rai! Kok baru dateng sih?." Erik menyapaku saat aku hendak masuk ke kelas. Tapi melihat tingkahnya, aku jadi sedikit curiga.

"Kenapa emang?."

"Kamu di cariin pak Burhan tadi, kamu bikin masalah apa, sih? Kok dia kayaknya mau marahin kamu gitu."

"Aku? Mau dimarahin? Kenapa?." tanyaku yang mulai sedikit bingung..

"Kok, malah balik nanya. Ya... Aku mana tau." jawabnya sembari mengangkat kedua bahunya.

Bikin penasaran. "Yaudah, aku ke kantor dulu. Aku mau tanya langsung."

"Hm, yaudah. Entar kasih tahu, ya. Kamu dimarahin karena apa." kata si mesum ini sambil menepuk nepuk bahuku.

Hilih,.. "Nggak mungkin aku dimarahin, orang aku nggak salah apa apa, kok." sahutku dengan yakin.

....

"Kamu, kenal dia?." pak Burhan melempar secarik kertas ke hadapanku.

Benar seperti kata Erik tadi. Ternyata aku memang dimarahi, tapi aku sendiri belum tahu, apa kesalahanku. Saat aku datang dan masuk ke ruangan pak Burhan. Dia sudah bersikap ketus.

Aku memungut kertas itu dan membaca paragraf awal dari tulisan yang terlihat seperti tugas karangan cerita.

Mataku terbelalak seketika saat mendapati nama penulis dibalik karangan cerita tentang masa orientasi siswa ini. Beberapa paragraf dengan jelas menjelaskan tentang bagaimana hari itu aku memperlakukan dia.

Aku menelan ludah dengan berat, dan kembali meletakkan kertas itu dimeja dengan tangan yang gemetar. Pak Burhan tampak memperhatikanku dengan dingin dan ekspresi wajah tidak senang.

"Pak... Aku, bisa jelasin... " Kataku dengan gugup

"Bapak awalnya marah sama kamu, kamu harusnya jadi teladan yang baik buat junior. Tapi, kenapa hal seperti ini bisa sampai terjadi?." pak Burhan menasehatiku sembari menunjuk nunjuk meja dengan penggaris kayu yang besar.

"Maaf, pak... Saya memang salah... Saya minta maaf."  sahutku pelan dengan pandangan yang menunduk.

"Jangan minta maaf ke saya, minta maaf sama Preinan langsung. Heuhh... Untung saya baca semua tugas mereka ini. Kalau tidak, saya nggak akan tahu kalau kamu sudah berbuat semena mena."

"Iya... Pak. Saya sudah minta maaf sama dia."

"Udah dimaafin?."

Deg!

Pertanyaan itu membuatku terdiam seribu bahasa. Jujur, aku pun masih bingung. Karena dia tidak pernah bilang kalau dia sudah memaafkanku.

"Hei!." suara pak Burhan membuyarkan semua lamunanku.

Aku mengangguk pelan dan mengangkat sedikit wajahku padanya "Saya, akan minta maaf lagi, pak."

"Bagus. Dan satu lagi... hukuman buat kamu, kamu harus bersihin gudang di hari jumat. Karena hari jumat sekolah hanya setengah hari, jadi kamu punya banyak waktu lebih untuk beresin semuanya. Mengerti?."

Aku sedikit terkejut dengan hukumanku, tapi itu bukan masalah besar. Karena hal yang lebih sulit adalah... Meminta maaf pada Preinan. Hhh... Ditambah kejadian tadi pagi, aku yakin, kalau dia akan sulit menerima permintaan maafku.

Chapitre suivant