webnovel

Jack

Jack Antonio...

Anak tunggal yang ayahnya sudah meninggal saat ia masih kecil. Sejak ia berhasil mendirikan perusahaan dan sibuk dengan pekerjaannya, Jack tinggal terpisah dengan ibunya. Ia tinggal dirumah yang dibelinya dengan jerih payah. Ibu adalah sosok yang luar biasa bagi Jack. Tidak ada perempuan yang mampu seperti ibunya, hanya cinta ibu yang baginya paling tulus.

Jack tentu seorang lelaki yang membutuhkan sosok perempuan sebagai pendamping hidup. Namun sayang, perempuan yang pernah ia pacari tidak ada yang mampu merebut hatinya. Semua perempuan itu hanya mengincar hartanya, Jack tidak suka dimanfaatkan. Jack adalah lelaki yang mudah memutuskan hubungan jika hatinya disakiti sedikit saja.

Dan kali ini ia cukup penasaran pada sosok perempuan dingin disampingnya saat ini. Perempuan yang membuat Jack merasa harus menjaga dan memberikan kasih sayang. Setelah perkenalan singkat di depan toko cermin tadi, Jack berbasa-basi menawarkan Ruby pulang bersama. Jack kira perempuan yang sempat acuh padanya itu akan menolak, tapi siapa sangka Ruby menerima tawaran Jack meski hanya dengan anggukan kepala.

Kebetulan Ruby naik taksi saat pergi ke toko cermin. Jadi setelah bergelut dengan pemikirannya sendiri, Ruby mencoba membuka hati. Harapan terbesarnya adalah ingin sembuh, barangkali sosok Jack bisa menjadi penyembuh untuknya. Mungkin.

"Jadi, Ruby. Kuliah atau...".

"Cuti. Sedang cuti kuliah". Sahut Ruby cepat padahal Jack belum selesai bicara. Ruby menggigit bibirnya dan meremat ujung roknya lantaran merasa cemas. Tidak tahu kenapa tapi perempuan itu lagaknya seperti orang paranoid. Dan tentu saja Jack menyadarinya.

"Ah... cuti? Kalau dilihat dari gayamu, kamu pasti mahasiswi jurusan seni? Apa aku benar?". Tanya Jack lagi mencoba mencairkan suasana. Berlagak sok asyik agar Ruby tidak merasa canggung. Ruby lantas menatap Jack dengan tatapan penuh tanya.

"Memang gaya ku seperti apa? Burukah?". Ruby tahu penampilannya ini aneh. Rambutnya memang terkesan berantakan dan menutupi muka saking panjangnya. Juga riasan mata yang begitu mencolok membuatnya terkesan tajam. Ditambah tatto-tatto yang menghiasi kulitnya, hampir penuh. Banyak yang menilainya anak tidak baik karena itu, ya meskipun Ruby mengakui jika ia bukanlah anak baik-baik.

"Aku tidak bilang kalau penampilanmu buruk. Emmm... terkesan bebas? Tatto itu pasti bentuk ekspresi dirimu. Aku juga punya". Jack menaikkan sedikit lengan jas nya, terpampanglah beberapa gambar tatto dilengan lelaki itu. Apa yang diucapkan Jack memang benar adanya, Ruby membuat tatto ditangannya untuk mengekspresikan diri. Sebab perempuan itu tidak bisa mengekspresikan dirinya secara langsung, ia tidak punya wadah untuk melakukannya.

"Aku kuliah di jurusan fashion designer, semester akhir". Sahut Ruby yang membuat Jack menganggukan kepalanya merasa bangga.

"Woah, tinggal sebentar lagi kamu akan lulus. Kenapa harus cuti, setelah lulus kamu bisa langsung menikah". Senyum kecut terpatri diwajah Ruby. Menikah? Yang benar saja. Orang gila sepertinya tidak pantas menjadi istri, apalagi menjadi seorang ibu.

"Aku tidak bisa menikah". Ujar Ruby datar.

"Kenapa?". Jack menatap Ruby seakan ingin tahu. Ada rasa kecewa juga sebenarnya, lelaki itu tahu Ruby menyimpan sejuta rahasia.

"Karena aku orang gila".

***

Banyak perubahan yang terjadi pada Ruby sejak berkenalan dengan Jack. Setelah mendengar semua cerita dari Ruby, Jack selalu berkunjung kerumahnya. Lelaki itu benar-benar bertekad sekali ingin menjaga Ruby, yang paling penting menyembuhkan Ruby. Meski sibuk dengan urusan kantor, Jack selalu meluangkan waktu untuk mengajak Ruby makan siang. Meski pada awalnya Ruby menolak karena tidak suka keramaian, apalagi paling tidak suka dengan mata orang-orang yang menatapnya namun Jack sebisa mungkin membujuk. Jack pikir Ruby perlu menghirup udara segar, kepenatan akan membuat perempuan itu semakin sakit.

Hampir seminggu kebersamaan itu terjalin, dan perlahan Ruby mulai kembali seperti dulu. Perempuan itu melupakan vodka dan rokok, Jack sudah melenyapkan dua benda laknat itu. Dilemari es Ruby sekarang hanya ada deretan susu dengan aneka rasa juga permen coklat. Omong-omong Jack suka sekali dengan coklat. Meski Ruby tidak suka coklat, namun perempuan itu mencoba menghargai usaha Jack.

Hari ini Jack mengajak Ruby ke psikiater. Karena ada Jack disampingnya, maka Ruby tentu tidak keberatan. Tempat itu berada dilantai tiga sebuah rumah sakit. Ruby duduk di ruang tunggu sembari menanti namanya dipanggil.

Nama Ruby dipanggil. Seperti biasa, Dokter menyambut pasiennya dengan ramah dan mempersilakan duduk disebuah sofa. Ruangan tersebut didekorasi seapik mungkin ditambah wangi aroma terapi yang membuat pasien lebih rileks. Ruby duduk dan hanya diam, tidak memandang wajah dokter.

"Sore". Suara dokter memecahkan kebisuan.

"Sore juga, Dok". Sahur Ruby acuh tak acuh.

"Apa keluhanmu?".

"Saya kesini hanya ingin bertanya. Tapi sebelum itu saya ingin mengucapkan Terimakasih". Ujar Ruby sembari menatap dokter perempuan didepannya ini tepat dimata.

"Terimakasih? Untuk apa?".

"Secara tidak langsung anda sudah menyembuhkan saya".

"Hmmm... begitu ya? Lalu apa yang ingin anda tanyakan?". Ruby berdecih sekali kemudian kembali menatap dokter itu dengan tatapan tidak bersahabat.

"Kenapa anda tidak mau menerima telepon dariku?". Ujarnya dengan nada suara meninggi.

"Maksudnya?". Dokter itu kebingungan.

"Mungkin anda lupa. Nama saya Ruby Jane. Saat itu saya benar-benar sangat membutuhkan anda. Tapi sepertinya anda tidak memperdulikan saya. Bukankah sudah kewajiban anda sebagai dokter untuk membantu pasien seperti saya?".

Dokter itu tidak menampakkan wajah terkejut. Ia hanya heran dan mencoba mengingat-ingat pasien dihadapannya ini. Setelah beberapa sekon berlalu, akhirnya dokter muda itu berhasil mengembalikan ingatannya tentang sosok perempuan yang meneleponnya kala itu.

"Ah? Ruby? Apa yang terjadi padamu saat itu?".

"Untuk apa saya menjelaskan kondisi saya pada dokter yang cuek seperti anda?!". Sahut Ruby jutek.

"Lantas kenapa kamu kesini?".

"Saya kesini hanya untuk membuktikan kalau saya bisa sembuh tanpa anda. Mungkin waktu itu anda berfikir jika saya tidak bisa membayar biaya pengobatan?".

"Ruby, saya pernah bilang jika bukan soal pembayaran".

"Oke. Tapi kenapa dokter tidak mau mengangkat telepon saya? Saya bisa kok membayar anda. Bila perlu saya beli rumah sakit ini beserta tubuh dokter". Kata Ruby mulai kurang ajar, selain gila perempuan satu ini begitu pongah.

"Stop! Apa mau-mu?!". Sesabar-sabarnya dokter pada pasien, ia memiliki batas kesabaran juga. Apalagi sikap pasien didepannya ini sangat tidak sopan dan melukai harga dirinya.

"Lebih baik saya pulang. Sekali lagi saya berterima kasih kepada anda, Terimakasih dokter!". Ruby berjalan meninggalkan ruangan, namun suara dokter menghentikan langkahnya.

"Apa kamu sembuh karena Victor sudah kembali?". Ruby menghentikan langkahnya sesaat hanya untuk merasakan sesak didadanya saat nama Victor disebut, namun kemudian kembali melanjutkan langkahnya meninggalkan ruangan praktik itu.

Puas dan lega itulah yang dirasakan Ruby setelah pulang dari rumah sakit. Perempuan itu sudah memendam kekesalan pada dokter yang mengacuhkannya itu dalam waktu yang cukup lama. Pantaskan Ruby kesal? Bukankah kewajiban dokter adalah membantu pasiennya?

Meski menyadari gelagat aneh Ruby sejak dari rumah sakit, namun Jack tidak berusaha mengungkitnya. Memang sudah biasa Ruby suasana hatinya mudah berubah. Waktu tepat menunjukan pukul delapan malam, Jack berniat mampir sebentar kerumah Ruby sekedar memastikan perempuan itu dalam mood yang baik saat ia tinggal sendirian nanti.

Lelaki itu mengeluarkan setangkai mawar putih dari balik jas-nya. Dengan senyum tulusnya lelaki itu meraih jemari Ruby.

"Jika kamu gak mau senyum, bunga ini nanti layu". Ruby mengulum bibirnya, rasa kesal dihatinya berubah menjadi perasaan geli begitu melihat tingkah sok romantis Jack.

"Tumben kamu romantis. Kamu CEO bukan anak SMA". Ejek Ruby.

"Kalau lagi kasmaran, aki-aki pun bisa bertingkah seperti bayi". Keduanya lantas terkekeh. Dua insan ini sama-sama dewasa, paham gelagat satu sama lain. Ruby menyadari jika Jack menunjukan sinyal cinta padanya, meski Jack pun menyadari jika Ruby belum menunjukan apapun. Yang paling penting, Ruby tidak keberatan jika Jack menaruh rasa padanya. Ruby justru bahagia, dicintai seseorang adalah hal yang berarti untuknya.

"I love you". Ucap Jack sungguh-sungguh. Ruby meraih mawar putih yang Jack ulurkan. Perempuan itu menarik tangan Jack untuk masuk kedalam rumah tanpa menunjukan reaksi apapun.

"Kamu tampan". Hanya itu yang Ruby ucapan, dengan datar.

"Oh ya? Terimakasih atas pujian dinginmu".

"Memangnya aku dingin?". Jack tersenyum lelaki itu mengusap sebelah pipi Ruby kemudian beralih melirik arloji ditangannya.

"Ya, ini jujur. Tapi tidak masalah yang penting aku sudah katakan cinta padamu. Cinta sekali, tapi aku tidak bisa lama-lama menemanimu. Kamu sudah tidak bad mood pun aku lega sekali. Aku harus pulang, masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan...". Ruby mengangguk kecil sebagai tanggapan. Jack menarik kepala Ruby dan mendaratkan kecupan manis di dahi perempuan itu.

"Sudah ya aku pulang, selamat malam. Selamat beristirahat. Mimpi yang indah... mimpikan aku".

***

Esok siangnya, Jack mengajak Ruby makan disebuah restoran. Jack makan dengan lahap sementara itu Ruby hanya menatapnya tanpa kedip. Jujur saja Ruby sama sekali tidak memiliki perasaan apapun pada Jack, hatinya sudah gersang. Meski perempuan itu akui jika Jack adalah lelaki yang baik, sangat baik. Tapi tetap saja menumbuhkan cinta dilahan yang gersang itu tidak mungkin. Kedunya saling tertawa dan sesekali tangan mereka saling bersentuhan.

"Ruby jadi kekasihku ya?". Ujar Jack tiba-tiba. Tidak terkejut juga tidak berdebar sama sekali, padahal lelaki tampan dan mapan seperti Jack yang menyatakan perasaan padanya.

"Hmmm". Ruby mengangguk saja sebagai jawaban. Tanpa peduli isi hati Ruby yang sebenarnya, Jack tersenyum puas. Lelaki itu menarik tangan Ruby dan mengecup punggung tangannya.

Tanpa keduanya sadari, jarak beberapa meja dari sana. Seorang dokter perempuan mengamati sedari tadi, dilepasnya kacamata hitam yang bertengger dihidung mancungnya.

"Bisa jadi ini sebabnya. Tidak ku sangka secepat ini dia menemukan seseorang. Jadi lelaki itu yang membuat Ruby sembuh?". Ujarnya dalam hati.

"Sonia? Dokter Sonia". Panggil rekan dokter yang dipanggil Sonia itu.

"Ah ya, aku segera kesana". Setelah sekali lagi menatap dua insan yang tengah bermesraan itu, Sonia pergi tanpa menghabiskan makan siangnya.

Tak terasa sebulan sudah Ruby dan Jack menjalin kasih. Sebuah perayaan kecil tengah disiapkan Jack. Mereka telah sepakat. Seperti permintaan Ruby, Jack tidak menjemput perempuan itu. Ia akan menunggu Ruby di sebuah kafe yang telah dipesannya jauh-jauh hari.

Selama berkencan dengan kekasihnya Jack selalu setengah hati, tidak ada yang pernah ia ajak makan malam. Perempuan yang ia ajak makam malam hanyalah ibunya. Bukankah itu artinya Ruby memiliki ruang special dihati Jack? Hari jadi yang kesatu bulan ini adalah makan malam pertama Jack dengan perempuan lain.

Tempat makan malam itu adalah sebuah gazebo dibelakang kafe. Jack mendekorasinya seromantis mungkin agar Ruby terkesan. Sekeliling gazebo dipenuhi bunga-bunga berwarna merah dan lampu kerlap-kerlip, juga lilin-lilin yang sangat indah. Warna merah adalah warna kesukaan Ruby, sesuai dengan namanya Ruby; batu indah berwarna merah.

Jack juga sudah menyiapkan lagu You're My Everyting dari Ariana Grande yang setiap hari Ruby dengarkan. Jack ingin berdansa dengan Ruby diiringi lagu favoritnya. Mereka akan berdansa dilantai yang telah ditaburi mawar putih. Jack tak henti-hentinya menyunggingkan senyum, tidak sabar menunggu Ruby-nya datang.

"Sebentar lagi dia pasti datang". Gumamnya kemudian memilih duduk disebuah kursi.

1 menit...

Masih duduk rapi menunggu Ruby.

1 jam...

Termangu di atas meja.

2 jam...

Mulai gelisah, menggigiti kuku jari.

3 jam...

Mencoba menghubungi Ruby.

Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif...

4 jam...

Mengacak rambut dengan frustasi, mencoba menghubungi Ruby lagi.

Nomor yang anda tuju...

"Akh! Sial!". Jack membenturkan dahinya diatas meja. Ruby tidak datang!

Dengan lunglai, Jack meninggalkan tempat itu. Ditengah gundahnya Jack masih mencoba berfikir positif, Ruby pasti punya alasan sehingga melewatkan malam ini.

"Kemana Ruby, dimana dia sekarang?".

Tak ada makan siang bersama beberapa hari berikutnya. Tak ada kabar dari Ruby sama sekali. Rumah Ruby pun terlihat sepi dan terkunci. Dalam kebingungan itu, masih saja Jack menunggunya. Masih saja ia merindukan hangat tubuh perempuan yang telah mengecewakannya. Dalam keadaan kalut itu, Jack bermalam dirumah ibunya. Meski Jack tidak bercerita jika ia tengah jatuh hati pada seorang perempuan, namun ibunya langsung tahu. Putra tampannya sedang dirundung sedih karena cinta.

"Baru kali ini aku benar-benar jatuh cinta, Bu". Lirihnya sembari mencium bahu ibu.

***

Chapitre suivant