Dua hari setelah keributan yang diperbuat Jaya tadi, di malam yang pekat. Jaya dan Kevin menemukan taksi yang dinaiki Zenkyo bersama putranya mengalami kecelakaan. Taksi itu terjatuh ke dalam kolam pemancingan. Seluruh badan mobil masuk ke air, menyisakan keempat bannya yang terlihat di permukaan.
Entah itu hanya kebetulan atau memang takdir yang mempertemukan mereka kembali. Tapi itu bukan pertemuan yang Jaya inginkan. Jaya sungguh tak tega melihat kecelakaan itu.
Dikarenakan jalanan yang memang sepi. Jaya dan Kevin mengevakuasi taksi mereka yang berada di kolam pemancingan dengan alat seadanya.
Adegan yang cukup dramatis bagi Jaya dan Kevin. Di dalam taksi ada empat orang, Zenkyo, putranya, sopir taksi dan seorang gadis berusia 15 tahun, entah siapa itu Jaya tidak tahu.
Posisi taksi yang terbalik dan 90% berada dalam air membuat mereka kesulitan mengeluarkan para korban. Sambil menunggu bala bantuan, Jaya dan Kevin berusaha mengeluarkan mereka dengan memecahkan kaca jendela mobil dengan batu besar.
Pertama, mereka dapat mengeluarkan putra Zenkyo yang berusia 4 tahun. Kevin berusaha mengeluarkan tiga yang lainnya. Namun, cukup sulit karena posisi mereka terjepit.
Dikarenakan tim medis belum datang, Jaya berinisiatif untuk membawa bocah itu ke rumah sakit terlebih dahulu. Dan Kevin pun menganjurkan demikian. Jaya sangat berharap pada kakaknya saat itu, walau presentase para korban itu selamat amat tipis.
Bocah tadi mudah dikeluarkan melalui kaca jendela mobil, sedangkan untuk ukuran tubuh orang dewasa, Kevin harus berusaha membuka pintu mobil terlebih dahulu. Dan itu bukan berkara mudah karena ia berkali-kali harus muncul ke permukaan juga untuk meraup udara.
Di tempat lain, Jaya menggendong bocah berusia 4 tahun itu dengan tangan bergetar. Luka di sekujur tubuh bocah itu dan luka di kepalanya membuat dada Jaya sesak. Jaya sungguh tak tega melihat itu. Darah bocah itu mengotori kemeja biru muda yang Jaya pakai malam itu.
Dikarenakan mobil Jaya yang masih mogok dan jalanan yang sepi, akhirnya Jaya berlari mencari rumah sakit terdekat. Dan untunglah ada mobil pick up lewat, sehingga Jaya menumpang pada mobil itu. Di sepanjang perjalanan, Jaya terus memanjatkan doa untuk keselamatan bocah itu dan para korban tadi.
Sesampai di rumah sakit, detak jantung bocah itu sempat tak terdeteksi. Namun sungguh keajaiban, akhirnya dia bernapas kembali walau masih dalam keadaan koma. Jaya sungguh bersyukur. Ia memandang sendu bocah yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit itu.
Dialah lotus kecil mereka, Arjun Raizaski atau biasa mereka sapa Joon. Mereka mengibaratkan Joon sebagai lotus karena bunga lotus mewakili atau menyimbolkan kejernihan hati dan pikiran. Lotus juga symbol dari kekuatan, keberuntungan, kelahiran kembali dan keindahan.
Dengan begitu, mereka berharap Joon mampu memberi kekuatan dan keberuntungan bagi mereka. Di samping itu, mereka berharap Joon memiliki keindahan seperti bunga lotus.
"Ayah! Ayah, apa kita jadi liburan?"
Sebuah suara membangunkan Jaya dari bernostalgia sejak tadi
"Joon-chan!" pekiknya sembari membuka mata. Jaya bangkit duduk dan melihat sekeliling. Ia masih berada di tanah berumput saat ini. Ah iya, ia ingat tengah di halaman belakang rumah sakit saat ini. Suara yang ia dengar tadi hanya ada dalam imajinasinya saja. Kenyataannya, Joon-nya masih tak sadarkan diri hingga saat ini.
Ia kembali berbaring di tanah berumput. Tangannya terangkat ke atas, menutupi matanya dari sengatan sinar matahari. Ia seolah sedang meraih bintang di angkasa.
"Jika memang bintang dapat mengabulkan permintaan, ayah akan memetiknya dan memohon seribu nyawa untukmu, Joon. Karena hanya kaulah dunia bagi ayah," gumam Jaya.
***
Gelap...
Dingin...
Sesak...
Apa aku sudah mati?
Kenapa semua begitu gelap?
Bukankah tadi aku berada di kamar ayah?
Apa listrik di rumahku mati?
Tapi kenapa bisa sedingin ini di musim panas?
Kegelapan ini sungguh mengerikan.
Saat seseorang berada di ambang kematian. Mereka dapat melihat perjalanan hidupnya dalam sekejap seperti sebuah film. Film tentang kehidupan mereka. Jiwa mereka sendiri yang memancarkan semua kenangan. Kenangan manis, kenangan pahit, kebahagiaan, bahkan sebuah penyesalan.
Tapi saat ini ... mana filmnya? Ini sungguhan mati listriknya atau aku yang sudah mati sih? Memejamkan mata atau membukanya tak ada bedanya, sama-sama gelap.
"Ayah! Papa! Daddy! Kalian dimana? Joon takut gelap huwakhh!"
Kok jadi pengen nangis.
"Huweeee! Ayah! Papa! Daddy!"
Husshh, nggak jadilah! Nanti kalau ketampananku luntur bagaimana?
Lagipula sepertinya tak ada yang dengar.
"Khikhikhikhi!"
Astaga, suara apa itu? Ini kok jadi genre horror, sih? Seram sekali. Ada suara tapi tidak ada rupa.
"Hihihi hihihihi!"
Nah kan? Suara misterius dari mana lagi itu?
Dari kejauhan aku dapat melihat cahaya. Cahaya yang semakin lama semakin menyilaukan. Aku ingin memasukinya. Mungkin aku dapat menemukan jawaban mengapa aku berada di tempat ini.
SRIIINNNGGGG!
Perlahan aku membuka mata. Tapi yang kulihat malah ....
"Huwaakh! Joon-chan! Apa yang terjadi pada tubuhmu ini, hah?"
Tunggu! Ini reaksi yang berlebihan sepertinya. Masa' panggil diri sendiri dengan sufiks -chan. Ganti!
"Wuaakh! Apa yang terjadi pada dirimu, Wahai makhluk tertampan di kompleks?" seruku.
"Bahahahahahaha!"
Suara misterius itu lagi?
Sejenak pandanganku berkeliling untuk mencari sumber suara tawa yang nista tadi. Tak ada siapa pun.
Pandanganku kembali fokus pada pria tampan nan rupawan tanpa cacat yang berada di hadapanku.
Ia terbaring lemah di ranjang dengan berbagai alat resusitas penopang hidupnya.
"Memang benar, aku belum mati ternyata. Tapi kenapa jiwaku berada jauh dari ragaku? Gyaaa, ini kok jadi mirip kayak di drama sih?" Aku masih melihat berkeliling memahami situasi.
"Wakakakkak!" Lagi-lagi terdengar tawa aneh. Nah? Sekarang tawanya malah mirip burung gagak.
"Oi, siapa yang tertawa itu, woy?" teriakku, nyaring.
Hening.
Cklek!
Suara daun pintu terbuka.
"Papa!!" pekikku, melupakan sejenak tawa aneh tadi.
Aku sungguh senang melihat papa kemari. Tapi, kenapa?
Kenapa ia tak melihatku?
Dan saat ini, ia malah menembusku dan duduk di samping ranjang tempat tubuhku tergeletak.
Ini enggak salah cerita, kan?
Jadi merasa aneh.
Baiklah, setelah ini aku akan mencari siapa pemilik tawa aneh tadi. Tapi sebelum itu, aku akan menemani papa di sini.
Papa mengusap lembut rambutku. Kenapa adegannya jadi mengharukan begini, heh?
"Dasar anak tak berguna! Kenapa kau tak bangun juga, heum? Sudah seminggu lho, Joon. Kau tak rindu dengan papa, ayah, daddy, dan semua teman-temanmu di sekolah?"
Aku mendengar suara papa sedikit terisak. Bahkan aku kini melihat bulir bening turun dari mata sayunya.
Tapi apa katanya tadi?
Kondisiku seperti itu sudah seminggu?
Lalu, di mana saja aku selama ini?
Apa hanya berada dalam kegelapan seperti tadi?
Terus kenapa saat ini aku muncul dengan wujud seperti ini?
Apa ada yang memanggilku?
Ini sungguh membingungkan.
Tapi lebih dari itu, aku ingin sekali menyentuh papa, tapi tanganku selalu tembus di tubuhnya. Ini sungguhan mirip yang ada di drama-drama itu. Apa ini semua hanya mimpi?
Sedetik kemudian, papa mencium keningku.
"Gilanh bersama teman-temanmu yang lain tadi datang menjengukmu, tapi sudah papa usir. Papa tahu pasti Gilang 'kan yang menyebabkanmu tenggelam? Asshh, anak itu memang berandalan!" gerutu papa.
Sebentar! Ini kenapa papa malah nyalahin Gilang, coba? Padahal yang ajak Gilang kabur 'kan aku sendiri.
Nasibmu sungguh menyedihkan, Lang!
Setelah aku bangun nanti, akan kutraktir kau selama seminggu sebagai tanda maaf. Tapi, mungkinkah aku bisa bangun kembali?
Setelah beberapa jam di ruangan ini dengan segala curhatannya tadi, akhirnya papa keluar juga. Kini aku harus mencari pemilik tawa tadi. Sepertinya ia tahu sesuatu kenapa aku berada di sini.
Mengejutkan! Seorang gadis sudah duduk dengan santainya di atas lemari. Rambut panjangnya terurai, wajahnya sedikit kabur dengan iris mata merah menyala. Memakai gaun putih penuh dengan darah.
Bersambung ....