Setelah mendengar diagnosa dokter baru saja, rasanya aliran darah Kenichi berhenti. Bahkan, ia tak mampu berucap sepatah kata pun. Tatapan matanya masih kosong.
Kevin membantu Kenichi berjalan untuk kembali ke ruang rawat tadi. Kevin mendudukkan Kenichi di sofa yang berada di ruangan ini.
"Beristirahatlah dulu! Nanti ketika Joon terbangun, aku akan memanggilmu," ujar Kevin, lembut.
'Apa ini yang dimaksud oleh Kak Zenkyo yang akan membawa Takumi tadi? Tunggu! Aku tidak boleh memanggilnya Takumi lagi, namanya saat ini Arjun.
Aku tidak akan membiarkan bajingan yang menghancurkan hidup kakakku menemukan keberadaan Takumi,' batin Kenichi. Pikirannya masih dipenuhi kata-kata kakaknya tadi dalam mimpi.
Bruak!!
Pintu terbuka dengan kerasnya. Sudah ada Jaya di sisi pintu.
Tanpa berkata apapun, Jaya langsung menghampiri mereka dan ...
Duagh!
Jaya meninju wajah Kevin dengan begitu keras, membuat tubuh Kevin sedikit terhuyung ke samping.
"Woy! Apa-apaan kau ini, Jay?!" teriak Kevin. Ia memegangi hidungnya yang berdarah. Bibirnya juga terlihat sedikit robek.
Jaya meraih kerah jas yang dipakai Kevin. Ia bersiap melayangkan tinjunya kembali.
"Ini semua tak akan terjadi jika Anda tak membiarkan Joon pulang, Tuan Kevin." Jaya berteriak marah. Ia masih menatap dingin ke lelaki yang menganggap dia adik itu. Bahkan, Jaya tak menyematkan kata 'Kakak' di depan nama Kevin.
Telihat wajah Kevin memerah karena menahan amarah. Sedetik kemudian ...
Duakkhh!
Kevin membalas pukulan Jaya jauh lebih kejam. Jaya mundur beberapa langkah. Ia memegangi hidungnya yang kini mengeluarkan darah juga.
Kevin mencengkeram rahang Jaya. Sorot matanya begitu menakutkan saat ini.
"Ini juga tak akan terjadi jika kau tetap berjaga, Jaya Sialan! Seharusnya kalau kau tahu Joon demam, segera beritahu kami, Bodoh!" bentak Kevin dengan suara nyaring.
"Dan itu semua juga tak akan terjadi jika Anda tetap membiarkan Joon tinggal di rumah sakit, Tuan!" elak Jaya. Ia menghempaskan tangan Kevin yang mencengkeram rahangnya.
Kevin menarik sudut bibirnya. Seringaian yang begitu mengerikan jika itu yang melihat para karyawannya di cafe.
"Jadi kau menyalahkanku, Jay? Lalu, siapa yang menyuruh Joon kerja di cafe, hah? Kalau saja dia tak bekerja sesuai perintahmu, dia tidak akan kabur dan berakhir tenggelam di Laut Ancol, Brengsek!" Kevin kembali membentak.
Kenichi diam mematung melihat pertikaian di depan matanya itu. Apa-apaan mereka ini? Kenapa jadi saling menyalahkan begini?
Sepertinya ia harus melakukan sesuatu, pikir Kenichi.
Duagh!
Duagh!
Kenichi menonjok Kevin dan Jaya bergantian. Tonjokkan itu membuat bibir mereka berdarah. Meski terkadang Kenichi sangan feminin si situasi-situasi tertentu, tapi jangan sekali-kali meremehkan keterampilan bertarungnya.
Kevin dan Jaya menatap Kenichi. "Ken! Kenapa kau ini, hah?!" bentak mereka hampir bersamaan.
"Jangan kira selama ini aku diam saja karena aku lemah, ya! Apa maksud kalian saling menyalahkan tadi, huh? Apa kalian merasa sangat berhak pada diri Joon. Ingat posisi kalian selama ini!" sungut Kenichi.
Sesaat Kenichi menatap tajam ke arah Kevin dan berucap, "Kau, Tuan Kevin! Kau hanya masa lalu bagi Kak Zenkyo!"
Lalu pandangannya beralih pada Jaya. "Dan kau, Jaya! Kau hanya dianggap teman bagi Kak Zenkyo. Jadi kumohon kalian tahu diri! Setelah kondisi Joon membaik, aku akan membawanya pulang ke Jepang," putus Kenichi.
DUAGHH!!
Pandangan Kenichi tiba-tiba mengabur. Ia merasa ada cairan keluar dari hidungnya, dan mungkin bibirnya juga robek.
"Sial! Mereka balas memukulku,' batin Kenichi.
Sesaat setelah memukul Kenichi, Jaya berjalan ke arah dinding.
Duakkh!
Jaya memukul dinding yang tak berdosa, membuat punggung tangannya terluka.
Kenichi jadi sedikit merasa bersalah. "Apa kata-kataku baru saja sungguh keterlaluan?" gumamnya lebih ke dirinya sendiri.
Namun, di sisi lain Kevin juga jatuh terduduk di lantai. Ia memeluk lututnya, lalu membenamkan wajahnya di atas lengan. Mereka berdua terlihat sangat frustasi. Kenichi jadi menyesal setelah mengucapkan kalimat tadi.
***
Jaya berbaring di tanah berumput di belakang rumah sakit. Tangannya ia gunakan sebagai bantal. Pandangannya jauh lurus menembus awan yang berarak. Kata-kata Kenichi terus terngiang di telinganya. Sejenak ia memejamkan mata. Kilasan kejadian 14 tahun silam tergambar jelas dalam ingatannya.
Namanya Jaya Raizaski. Ia adalah pemuda yang kehilangan sebagian besar memorinya saat masih muda. Untung saja keluarga Raizaski memungutnya sebagai anak. Sebelumnya, Jaya hanya tinggal bersama seorang nenek. Nenek itu satu-satunya keluarga Raizaski yang tersisa.
Setelah neneknya meninggal, Jaya mengurus sendirian cafe sederhana milik nenek yang merawat Jaya ketika itu.
Ia mengingat jelas saat pertemuannya dengan Zenkyo. Jaya merasa begitu familira dengan wanita itu. Ia merasa pernah menjalin suatu hubungan sebelumnya. Entah sebelum ingatan Jaya menghilang atau entah di kehidupan sebelumnya.
Saat itu, ia sedang membersihkan cafe miliknya seperti biasa. Meski Kevin telah membeli cafe itu, tapi Jaya masih mengklaim bahwa cafe itu masih miliknya.
Dan untungnya si bos yang sok tampan itu tak ada di sini. Jaya benar-benar merasa menjadi bos saat ini. Kevin pamit berangkat ke Jepang untuk mencari investor sebelumnya, tapi Jaya sama sekali tak peduli.
Bahkan, Jaya lebih senang jika Kevin tak pernah kembali.
Apa ia kejam pada pria yang sudah menganggapnya adik?
Ah tidak! Jaya merasa bahwa lelaki itu hanya ingin memanfaatkannya.
Baiklah, Jaya akan mengikuti permainanannya. Permainan dari Tuan Kevin terhormat itu.
"Permisi, Tuan! Apa di cafe ini masih membutuhkan karyawan?
Permisi!" Sebuah sebuah wanita terdengar.
"Aashhh! Siapa pagi-pagi seperti ini sudah datang? Apa dia tak membaca tulisan 'CLOSE' di pintu cafe? Asshhh ... merepotkan!" gerutu Jaya.
Meski ia malas, pada akhirnya ia berjalan juga menuju keluar.
Di halaman cafe sudah berdiri wanita sekitar umur 22 tahun. Jaya melihatnya dari ujung kaki hingga ujung kepala, membuat gadis itu agak tersipu dan menunduk karena malu saat ia perhatikan.
Namun sayangnya, itu hanya ekspektasi versi Jaya. Pada realitanya, wanita itu malah berkacak pinggang sambil melihat seluruh sudut halaman cafe.
'Seperti petugas sensus saja. Hmm ... tapi dia cantik juga,' batin Jaya nista.
"Permisi, Tuan! Apa Anda masih membutuhkan karyawan?" ucap wanita itu sambil mengibaskan tangannya tepat di depan wajah Jaya, membuatnya tersadar dari lamunan.
Biasanya yang bekerja di cafe ini semua lelaki, jadi Jaya agak canggung jika berbicara dengan perempuan. Tapi apa katanya tadi? Menanyakan apa Jaya butuh karyawan?
Yang benar saja, tiga karyawan yang sebelumnya saja Kevin pecat gara-gara tak bisa menggaji mereka. Memang apa yang bisa diharapkan dari cafe sesuram ini? pikir Jaya.
"Tuan! Kenapa daritadi Anda melamun, huh? Cafe ini butuh karyawan atau tidak?! Kalau tidak aku akan cari lowongan di tempat lain!" ketus perempuan itu.
'Ini kenapa dia jadi lebih galak dia daripada aku, coba?' batin Jaya kembali.
"Hei, apa kau tak melihat papan reklame di depan cafe ini? Sudah jelas tertulis 'PRINCE'S CAFE'. Jadi, kami hanya mempekerjakan karyawan lelaki. Mengerti?" jelas Jaya
Sejenak pandangan perempuan itu mengarah pada papan nama kayu yang berada di depan cafe.
"Pantas saja sepi, nama cafenya saja sama sekali tak cocok dengan pemiliknya," gerutu perempuan itu yang masih terdengar jelas di telinga Jaya.
"Hei, apa maksudmu tidak cocok, hah?! Kau mau bilang kalau aku ini tak cocok disebut pangeran? Jadi menurutmu aku lebih pantas disebut pelayan, begitu?" bentak Jaya pada perempuan aneh itu.
Bersambung ....