"Ayah, berhenti menghinaku!" rajuk Joon sambil tidur membelakangi ayahnya.
"Joon?"
Hening.
"Joon?" panggil Jaya kembali, tapi putranya itu masih tidur membelakangi. Terlihat juga bahu Joon narik turun seolah menahan emosi. Jaya yang melihat itu malah tertawa puas.
Sekian menit suasana berubah menjadi canggung. Pada akhirnya Jaya menyerah dan mencoba membujuk putranya agar tak kesal terhadapnya.
"Hahaha, iya maaf. Ayah tidak akan bilang siapa-siapa." Jaya menarik bahu Joon agar menghadap ke arahnya.
Mereka tidur saling berhadapan. Jaya merasa sudah lama sekali ia tak tidur dengan Joon lagi. Terakhir kali mereka tidur bersama saat usia Joon masih 10 tahun. Bulan Juli lalu dia sudah berusia 15 tahun.
"Ayah?" panggil Joon pada akhirnya setelah terdiam beberapa menit karena merajuk.
"Ngg?" sahut Jaya sembari tersenyum hangat. Ia mengusap lembut rambut putranya. Entah kenapa, ia begitu menyayangi putra dari wanita yang ia cintai itu.
"Ayah sudah tak marah lagi kan pada Joon?" tanya Joon, canggung. Ia bahkan masih tak berani menatap mata kelam ayahnya. Ia benar-benar merasa bersalah.
Jaya mengernyit. Senyumnya menghilang seketika. Ia kini dalam mode seram kembali.
"Siapa bilang sudah tak marah, heh! Kalau kau bisa menjelaskan tentang kenapa gadis-gadis itu bisa berada di cafe kita, mungkin bisa ayah pertimbangkan," sungut Jaya. Ia mengalihkan wajah, menatap langit-langit ruangan. Tangannya bersidekap. Ia merasa putranya itu harus sekali-kali diberi pelajaran. Kak Kevin-nya sudah terlalu memanjakan Joon selama ini.
Joon bangkit. Ia menarik lengan ayahnya pelan, menyuruh agar menghadap ke arah Joon.
"Dengarkan aku, Ayah! Mereka yang memaksa untuk membantuku, Yah. Dan kebetulan Gilang berada di cafe saat itu, jadi kuajak saja dia keluar. Ayah tahu kan semua perempuan itu merepotkan, jadi aku berusaha kabur dari mereka," ungkap Joon, apa adanya. Memang benar, tak ada yang ia tutupi.
Jaya mencoba memercayainya. Ia duduk di sisi Joon. Menatap intens mata sayu putranya yang membuat siapa saja tak akan tega memarahi Joon lebih lama. Bahkan, Jaya pun seperti itu.
"Lalu bagaimana kau bisa sampai tenggelam di Laut Ancol?" tanya Jaya kembali. Joon ia suruh menjaga cafe hanya agar ada yang mengawasi Joon, tapi hari ini Joon malah berakhir tenggelam di Laut Ancol. Entah bagaimana jadinya bocah itu jika tak diawasi lebih lama.
Joon terlihat sedikit tersentak. Ia tak menyangka bahwa ayahnya mengetahui kejadian hari ini. Padahal ia ingin menyembunyikan itu.
"Bagaimana ayah bisa tahu itu?
Assh, pasti Gilang yang cerita, ya? Dasar Gilang si tukang ember!" gerutu Joon. Ia menatap ke luar jendela. Ia akan memberi pelajaran nanti pada Gilang si tukang adu itu.
Jaya menjitak kepala putranya. Kenapa malah menyalahkan temannya, coba? batin Jaya.
"Dasar kunyuk! Jadi kau berniat tak akan memberitahu ayah? Kau sungguh tak menganggap ayah orang tuamu, huh?" bentak Jaya.
"Bukan seperti itu, Ayah. Aku tak mau ayah menyumpahiku lagi. Setiap aku kabur selalu sial, pasti ini kutukan dari ayah, kan? Kan?" tuduh Joon pada ayahnya. Yang benar saja, sering kali ucapan Jaya itu memang akan terjadi. Dan itu selalu hal buruk yang menimpa ketika Joon mencoba membangkang ayahnya itu.
"Hahaha, kau kira ayahmu ini seorang Resi yang setiap ucapannya selalu jadi kenyataan, heh? Kau terlalu banyak nonton serial dari Negeri Bharata seperti Daddy-mu, Joon!" gerutu Jaya. Ia kembali merebahkan tubuhnya di ranjang empuk miliknya.
"Hnn, baiklah kita lupakan saja kejadian tadi! Ayah besok masih ambil cuti, jadi mau berlibur dengan ayah?" tawar Jaya beberapa detik kemudian.
Joon terdiam sejenak seolah memikirkan sesuatu. Entahlah, ia merasakan firasat buruk setiap kali diajak liburan dengan ayahnya. Ayah Jaya-nya itu begitu ceroboh. Terakhir kali liburan, Joon berakhir di rumah sakit karena kedinginan. Ia ditinggalkan ayahnya di taman hiburan sendiri saat musim dingin. Saat itu usia Joon masih 7 tahun. Jaya melupakannya dan pulang sendiri.
"Kenapa? Kau tak suka liburan?" bentak Jaya yang menyadarkan Joon dari lamunannya.
"Bukan begitu, Ayah. Aku agak merinding jika mendengar kata liburan. Ini bukan liburan yang nyasar-nyasar ke alam dewa maupun alam iblis itu kan?" Joon menebak asal. Ayahnya itu aneh, jadi bukan tak mungkin jika ia akan diajak ke tempat aneh-aneh juga nantinya.
"Wahahaha, kau sungguh terlalu banyak nonton drama seperti Ken, Joon. Baiklah, besok ayah akan meminta ijin pada gurumu.
Oh iya, kamu belum cerita kronologi tentang kau yang tenggelam itu?" tanya Jaya kembali. Ia merasa seperti ada yang kurang dari cerita Joon tadi.
"Asshh, katanya tadi disuruh melupakan, sekarang malah disuruh cerita. Dasar ayah labil!" gerutu Joon.
Ctas!!
Jaya menyentil kening putranya sekali lagi. Kali ini jauh lebih keras.
"Baiklah, baiklah! Aku akan cerita," gerutu Joon sembari menggosok keningnya. "Itu semua gara-gara ketampananku yang membahayakan ini, Ayah. Para gadis-gadis itu saling dorong hanya untuk duduk di sampingku, dan akhirnya aku yang terdorong sampai tercebur ke air. Benar kata Papa Kevin. Semua perempuan itu sungguh merepotkan!" lanjut Joon. Ia mengerucutkan bibirnya, kesal.
Jaya mengacak-acak rambut Joon sekali lagi.
"Hahaha dasar! Sini ayah unyel-unyel wajahmu biar jelek," ucap Jaya sambil mengunyel wajah putranya yang sok tampan itu.
"Asshh! Hentikan, Ayah! Nanti ketampananku jadi luntur," ucap Joon sambil mengibaskan tangannya.
Tunggu! Jaya merasa ada yang aneh. Disentuhnya kening Joon dengan telapak tangan.
"Hei, kau demam, Joon?" ujar Jaya, lirih.
"Bukan masalah penting, Ayah. Nanti juga turun dengan sendirinya demam ini. Tapi lebih daripada itu, aku sangat mengantuk saat ini." Joon berucap. Matanya terasa begitu panas juga saat ini. Entah karena mengantuk atau karena demamnya. Tubuhnya juga terasa begitu lemas. Namun, Joon lebih memilih diam. Ia yakin bahwa ia akan membaik setelah tidur sebentar.
"Baiklah, kau tidur saja duluan! Mau ayah bacakan dongeng seperti dulu?" tawar Jaya. Ia membenarkan posisi bantal agar Joon merasa nyaman.
Joon mengangguk.
"He'em, lagipula sudah lama juga aku tak mendengar dongeng dari ayah. Terakhir saat usiaku 7 tahun," ucapnya sambil membenarkan posisi tidurnya.
Saat ini Joon meletakkan kepalanya di lengan kiri Jaya. Anak ini memang manjanya minta ditabok saat di rumah, tapi saat di sekolahan lagaknya sudah seperti preman, batin Jaya.
Jaya mengambil buku cerita yang selalu ia bacakan untuk Joon dulu, yang berada tak jauh dari ranjang.
"Di sebuah kerajaan bernama Nakagawa, hidupnya seorang putri cantik bernama Amaya dan adiknya bernama Masaru. Mereka ...."
"Groookkk!" Terdengar dengkuran begitu nyaring.
Jaya menoleh ke arah Joon.
"Astaga anak ini, baru beberapa detik saja sudah tertidur. Hahaha dan dengkurannya ini? Sungguh tak elite katanya jika itu dengkuran orang lain," lirih Jaya.
Setelah beberapa menit rasanya lengan Jaya mulai kesemutan, dipindahkannya kepala Joon ke bantal. Ah iya ia hampir lupa, putranya sudah beranjak remaja saat ini.
Bahkan, tinggi Joon pun sebentar lagi akan melampaui Jaya. Dia bukan Joon kecil mereka yang dulu. Joon yang masih berusia 4 tahun. Joon yang selalu menangis tiap malam karena mimpi buruk. Joon yang suka ngompol dan pup di celana. Jaya tak akan pernah melupakan saat itu. Saat Joon menghancurkan kencan Kevin dengan kekasihnya.
Jaya tersenyum. Kilasan kejadian memalukan itu berkelebatan dalam ingatannya.
Bersambung ....