Aku dan Gilang masih bermobil serampangan, seolah jalanan ini adalah milik kami berdua. Jangan heran! Kami ini sama seperti kebanyakan remaja lain yang begitu menginginkan kebebasan.
Mobil Gilang berhenti tepat di depan suatu warnet. Ini adalah tempat favorit kami saat liburan, bahkan jika kami bolos pun tempat ini yang selalu kami tuju. Anak baik jangan meniru kelakuan buruk kami, ya? Tapi, kini perlahan kami berubah jadi baik. Sungguh!
Kami berjalan santai seolah berjalan di atas catwalk. Sebelum duduk di salah satu bilik, kami menyapa penjaga warnet. Biasanya kami sangat betah main game online hingga larut malam. Dan menganggap tempat ini adalah rumah ketiga bagi kami.
Tahu apa alasan kami saat orang tua kami menanyakan keberadaan kami? Belajar kelompok. Ya, walaupun jawaban yang klasik, tapi mampu membuat orang tua kami percaya. Anak baik nggak boleh niru ini juga, ya?
Namun, sepertinya siang ini kami tak dapat bermain game online sepanjang waktu, karena ...
"Lang, gawat! Itu Daddy-ku!" pekikku saat menangkap sosok pria yang kukenal.
Ya, ada Daddy Ken duduk sambil main game di salah satu bilik. Walau terlihat dari belakang, tapi aku masih tetap dapat mengenalinya.
"Astaga, Daddy-mu tingkahnya gitu amat ya, Joon? Sampai teriak-teriak begitu waktu war," gumam Gilang sambil berkacak pinggang.
"Husshh! Jangan keras-keras! Kita bisa ketahuan. Daddy walau terlihat feminim tapi jika diganggu maka kejantanannya akan kambuh."
"Wahahaha kambuh? Sudah seperti penyakit saja."
"Haashh! Jangan banyak omong! Ayo cari tempat nongkrong lain aja!" ajakku sambil menggeret kerah baju Gilang.
***
Kini, kami berdua sudah sampai di salah satu caffe di Jakarta Utara ini. Ini merupakan tempat yang cocok bagi anak muda nongkrong. Tapi sepertinya tidak hanya anak muda, beberapa om-om dan tante-tante juga memenuhi caffe langganan kami siang ini.
"Astaga, kenapa mereka ada dimana-mana, coba?" gerutuku sambil menepuk jidatnya.
"Siapa lagi, Joon?"
"Itu motor ayahku, Gilang," ucapku sambil menunjuk motor sport hitam yang terparkir di depan cafe.
"Haduh, jadi harus pindah tempat lagi ini?"
Drrttt!!
Sebuah pesan masuk di ponsel Gilang. Gilang terlihat menyeringai sesaat setelah membaca pesan singkat di ponselnya. Entah pesan dari siapa itu.
"Seringaianmu itu menjijikkan, Lang. Sumpah!"
"Aku tahu tempat yang cocok untuk hang-out."
Gilang menarik sudut bibirnya sok misterius. Menjijikkan!
***
Kali ini, Gilang mengajakku ke tempat yang mengasyikkan katanya. Dan tempat yang dimaksud Gilang itu hanyalah ke Ancol. Haduh, aku merutuki selera tempat hiburan versi Gilang itu.
Kujitak saja kepala Gilang saat ini. "Oi, Kunyuk! Kenapa kita malah kemari, hah?!" bentakku, tak terima. Yang benar saja? Kukira Gilang benar-benar akan membawaku ke tempat hiburan yang asyik. Tidak tahunya hanya Ancol. Untuk apa, coba? Mau mancing? Atau malah lihat mbak-mbak manis jembatan Ancol?
Gilang mengusap kepala yang kujitak tadi sambil berucap, "Aku ada janji dengan gadis-gadis dari kelas kita, Joon. Lagipula semua tempat yang biasa kita kunjungi ada orang tuamu. Hanya ini tempat yang aman."
"Bodoh! Aku mengajakmu jalan itu untuk menghindari gadis-gadis di cafe. Sekarang kau malah temui gadis-gadis sekelas kita. Kau sungguh menjatuhkan harkat dan martabat sebagai pria tampan. Aasshh! Kau kupecat jadi muridku, Lang!"
"Iya kau enak, Joon. Walau tak mengejar mereka, kau sudah pasti dikejar-kejar. Lalu aku? Bisa sampai lumutan kalau nunggu mereka yang mengejarku."
"Aih! Aku tak suka tempat ini. Aku balik ke cafe sajalah," ucapku sambil mengibaskan tangan di udara.
Sebelum aku beranjak, para gadis yang entah datangnya dari mana sudah menuju ke arah kami. Mungkin, sebelumnya mereka sudah berada di sini dan melakukan diving. Entahlah. Oh iya, saat ini aku berada di Dermaga Marina Bay, salah satu ikon wisata yang berada di Ancol ini.
"Kyaaaa! Joon-chan!" teriak para gadis itu yang masing-masing sudah memakai pakaian selam ketat. Benar, sepertinya mereka habis menyelam. Haduh, mataku ternodai. Aku sudah tidak polos lagi. Ampuni Arjun, Ya Tuhan!
"Hahahaha ini yang kunanti dari tadi." Gilang malah menyeringai menjijikkan.
"Oi, dasar kunyuk mesum!" Aku menoyor kepala Gilang.
***
Hari mulai terik. Aku masih duduk di belakang pembatas pinggiran Dermaga Marina Bay. Semoga tak ada yang mengira aku ingin mengakhiri hidup.
Ini sungguh, keren. Jika lautan Ancol dilihat secara dekat, sangat indah. Hamparan air yang terlihat biru cerah karena pantulan angin. Meski debik air sangat deras, entah kenapa kini terlihat begitu tenang. Aku jadi merasa damai melihat hamparan air kebiruan itu. Kemilau pantulan sinar matahari juga terlihat seperti berlian. Belum lagi, berjejer ratusan kapal pesiar mewah di sisi dermaga ini. Begitu keren. Apa aku berlebihan? Maaf.
Dari kesibukanku mengagumi Laut Ancol yang indah namun terkesan sedikit angker itu, suasana tiba-tiba ricuh karena para gadis di sebelahku mulai bertengkar kembali.
Para gadis di samping kanan dan kiriku mulai grusak-grusuk seperti sebelumnya.
Kalian menanyakan Gilang dimana? Baiklah, dia kuberi tugas untuk membelikan minuman dan snack untuk kami. Kalian ingin mengasihani dia dan menyalahkanku karena begitu kejam, kan? Oke, tak apa-apa. Lagipula, Gilang sendiri yang menawarkan untuk membeli makanan tadi.
Dan kini terjadi kembali, para gadis itu terlibat bertengkaran hanya untuk duduk bersama di sebelahku. Haduh, semua perempuan itu memang merepotkan, bukan?
"Hei, jangan dekat-dekat Joon kau, Hani!"
"Astaga, wajahmu itu di bawah rata-rata, Yesi! Pergi saja kau dari sini!"
"Kenapa bukan kau saja yang pergi, Meri!"
"Joon-chan! Kita pergi saja ayo dari sini! Tinggalkan gadis-gadis jalang itu!" Nina menarik lenganku. Namun, Nina malah didorong oleh Meri.
Dan keempat gadis itu pun terlibat atraksi saling dorong hingga aku merasakan dorongan dari belakang. Aku gagal mencari pegangan. Di bawahku, tak ada tempat untuk kaki ini berpijak, dan ....
BYUUURRRRR!!!
Tubuhku jatuh begitu saja ke dalam air. Aku meronta mencari pegangan, tapi debik air begitu besar. Samar-samar aku mendengar teriakan mereka.
"ARJUNA!"
"TOLONG! ADA YANG TENGGELAM!"
Deg!! Dadaku terasa sesak. Aku berusaha berkali-kali meraup udara di permukaan. Namun, semakin lama tubuhku seolah ditarik ke dasar. Hingga, aku tak sanggup lagi muncul ke permukaan untuk meraup udara. Dadaku sesak. Aku butuh udara. Aku menahan napas sekian detik hingga tanpa aku sadari, kini air masuk lewat hidung dan mulutku. Tubuhku begitu ringan. Telingaku berdengung keras. Cahaya matahari bahkan terlihat hanya seperti titik putih dari dasar air. Aku benar-benar tak bisa bertahan. Dadaku begitu sesak dan nyeri. Aku tak bisa membedakan yang mana tanah, yang mana langit. Yang mana cahaya bintang, yang mana cahaya matahari. Dalam situasi seperti ini aku hanya ingat ketiga orang tuaku.
Ayah ...
Papa ...
Daddy ...
Dada Joon sesak. Maafkan Joon! Dan kini semuanya menggelap.
Bersambung ....