webnovel

Balada Tiga Malaikat

Auteur: ATua
Célébrités
Terminé · 44.3K Affichage
  • 27 Shc
    Contenu
  • audimat
  • NO.200+
    SOUTIEN
Synopsis

Ini hanya suatu kisah biasa mengenai tiga orang gadis – yang memiliki kemampuan-kemampuan yang menyerupai seorang anak indigo – bisa melihat makhluk-makhluk tak kasat mata dan bahkan bisa berkomunikasi dengan mereka. Masing-masing dari ketiga gadis tersebut merajut tali kehidupan dan percintaan mereka sendiri-sendiri sampai akhirnya kisah mereka memiliki titik temu. Ketiganya bertemu di suatu stasiun kereta api ketika mencoba menyelamatkan kemudian menyeberangkan roh seorang anak kecil laki-laki yang baru saja tewas terlindas kereta api. Mendadak entah dari mana munculnya, datanglah ketiga malaikat super tampan masing-masing dengan warna biru, hijau, dan merah menyelamatkan ketiga gadis itu dari penyerangan roh-roh jahat di stasiun kereta api. Dari sinilah kisah mulai mengalir…

Chapter 1Di Stasiun Kita Bertemu

BAB 1

Medan, 14 Mei 2018

Waktu masih menunjukkan pukul lima sore ketika Angela Thema menyelesaikan laporan keuangannya yang untuk bulan Mei. Perasaan senang mulai bergelitar. Sudah saatnya dia pulang kerja. Dilihatnya karyawan-karyawati yang lain juga melakukan hal yang sama. Maka dari itu, Angela mulai mematikan komputernya, menyandang tas tangannya ke bahu dan bersiap-siap untuk pulang. Akan tetapi, pas saat dia hendak berjalan meninggalkan meja kerjanya, sinar matanya tertuju pada sosok atasannya yang kini tengah memandangnya dengan tatapan dingin nan tanpa ekspresi.

"Sudah mau pulang?" tanya Nona Jessica Wong, sang atasan yang kini berada di pertengahan empat puluhannya – ciri-ciri wanita perfeksionis yang tidak menikah, sedikit introver, tegas, dan selalu tunduk pada peraturan dan segala hal yang menjadi prinsipnya.

"Iya, Bu Jessica. Laporan keuangannya sudah aku siapkan kok…" kata Angela agak menundukkan sedikit kepalanya.

"Belum kauserahkan ke mejaku kok sudah mau pulang?" tampak dahi Nona Jessica Wong sedikit mengerut.

"Tadi kan Bu Jessica keluar kantor dari jam dua siang. Kukira tidak balik lagi. Tapi aku sudah save laporanku kok. Besok pagi akan aku serahkan ke Bu Jessica," sela Angela lagi.

Nona Jessica Wong melihat arlojinya sebentar. Sudah pukul lima lewat sepuluh sekarang. Dia akhirnya menganggukkan kepalanya,

"Oke deh… Besok pagi kauserahkan laporannya ke mejaku ya. Jam sembilan sudah harus ada karena aku ada meeting dengan para pemegang saham jam 10. Jelas ya?"

"Iya, Bu Jessica," kata Angela mengangguk cepat.

Nona Jessica Wong berlalu. Angela bernapas lega. Begitu sang atasan sudah menghilang dari hadapan mereka, Cindy Victoria Kosim segera menghampiri sesama rekan kerjanya di bagian keuangan di perusahaan keramik itu.

"Tidak kenapa-kenapa kan?" tanya Cindy Victoria Kosim, wanita muda awal dua puluhan, dengan potongan rambut pendek sebahu, dengan raut wajahnya yang menyimpan sedikit kekhawatiran.

"Tidak… Yang penting aku sudah menyelesaikan laporanku kan, Cin…" tukas Angela dengan wajah yang sedikit bersungut. "Yah aku mana tahu dia baru akan balik ke kantor pas saat jam pulang kerja begini."

Mereka bersama-sama mulai berjalan meninggalkan meja kerja dan bergerak menuju ke lantai bawah.

"Tadi siang aku lihat kau kena tegur habis-habisan karena jurnal pengeluaran kas yang kaususun tidak sesuai dengan jurnal penerimaan kas yang aku susun ya?" tanya Cindy lagi merasa sedikit khawatir. Jangan-jangan aku pula yang salah dan besok pagi aku pula yang kena tegur.

"Iya… Bukan hanya tidak cocok dengan jurnalmu, tapi juga tidak klop dengan jurnal umum dari Pak Kelvin. Aku bukan hanya ditegur oleh manager keuangan, tapi bahkan general manager pun menegurku," ujar Angela sedikit bersungut lagi.

"Jadi tadi sudah cocok kan, Gel?" tanya Cindy lagi. Mereka sudah tiba di luar gedung Uniland. Kini mereka berjalan kaki ke stasiun kereta api untuk naik kereta api balik ke Binjai.

"Sudah sih… Ada satu pembelian yang bonnya lupa mereka kasih ke aku rupanya," Angela mendengus sesaat. "Besok pagi aku harus serahkan laporannya ke meja general manager itu lagi jam sembilan. Sementara aku ada kelas kuliah besok jam delapan pagi. Masa aku harus masuk kantor lagi, tanpa bayaran tambahan, dan harus meninggalkan satu kelas kuliahku."

"Begitulah nasib kita yang jadi pekerja PKL ini, Gel. Aku juga sama. Kadang disuruh masuk pagi, jadi harus minta izin cabut kuliah. Dan parahnya, tidak ada bayaran tambahannya. Besok paginya masuk ke kuliah lagi, harus mengejar ketertinggalan pelajaran dan harus kena tegur oleh dosen."

"Apa aku berhenti saja ya dari perusahaan ini, Cin? Aku rasa perusahaan ini penuh dengan tekanan. Aku akan menyelesaikan PKL- ku di perusahaan lain saja," kata Angela sedikit menerawang ke jalanan yang kini mulai penuh sesak dengan kendaraan yang padat merayap.

"Jangan berpikir yang macam-macam deh, Gel. Jika kau pindah ke perusahaan yang lain, kan kau harus ulang dari awal. Ini tinggal dua bulan lagi. Akhir Juli nanti kita sudah bisa menyelesaikan PKL sekaligus skripsi akhir kita, tinggal meja hijau. Ini sudah sampai sepertujuh, kau malah berpikir yang macam-macam mau ganti tempat PKL dan tetek bengek sebangsanya."

"Tapi aku kira aku benar-benar sudah bosan dan tak sanggup kerja di perusahaan keramik ini lagi…" masih tampak raut muka Angela yang bersungut-sungut.

"Bersabarlah…" Cindy Victoria Kosim memegangi kedua bahu teman seuniversitasnya dan rekan sekantornya. "Asalkan ada niat dan usaha yang gigih, semuanya akan indah pada waktunya."

"Oke deh… Baiklah kalau begitu…" Angela merapatkan bibirnya dan mendengus sesaat sebelum mereka melanjutkan perjalanan mereka menyusuri Jalan Stasiun Besar Medan di mana terdapat sederetan toko kain dan toko pakaian.

Mendadak sorot mata Angela Thema tertuju pada satu toko yang menjual beragam kostum China model klasik. Sontak Angela Thema tertegun dan sedikit bergelugut. Dia terus menyoroti satu bentuk pakaian pria model China klasik dalam biru Bromo gelap.

"Ada apa?" Cindy memandang ke temannya, bingung.

"Baju itu… Baju itu…" Angela tak kuasa menyelesaikan kalimatnya. Tangannya terus menunjuk-nunjuk baju pria model China klasik dalam warna biru Bromo gelap yang sama.

"Ada apa dengan baju itu? Itu kostum China zaman dulu, Gel. Biasanya hanya dipakai pada saat ada pertunjukan di atas panggung. Kau pakai itu di mall atau di tempat-tempat umum lainnya, kau bakalan ditertawakan orang."

Bayangan demi bayangan mulai merecup dalam alam bawah sadar Angela. Bayangan-bayangan itu hendak mencuat ke permukaan. Akan tetapi, Angela bisa merasakan jelas ada satu bentuk realita yang lain, yang menahan bayangan-bayangan tersebut sehingga semuanya terus terpendam di dalam. Angela mulai merasa pening. Pandangannya menjadi kabur.

"Astaga! Ada apa ini, Gel?" Cindy memegangi tubuh temannya supaya si teman tidak langsung ambruk ke tanah.

Angela memandang ke sekelilingnya. Lalu lintas tetap padat merayap. Terdengar banyak kendaraan yang berlalu-lalang. Terdengar bunyi klakson di sekelilingnya. Terdengar bunyi klakson kereta api dan gemerincing rodanya yang mulai bergerak perlahan meninggalkan stasiun. Sesekali angin sore berhembus lembut dan berbaur dengan gemulainya sinar mentari yang kini sudah berada di batas cakrawala.

"Baju itu… Baju biru… Model China klasik… Entah kenapa, Cin… Entah kenapa aku yakin aku mengenal seseorang yang selalu mengenakan baju model China klasik, dengan warna biru Bromo kesayangannya. Entah kenapa… Aku merasa aku sedang mencarinya…"

Cindy Victoria Kosim mulai merasa ada yang tidak beres pada diri temannya. Dia pelan-pelan menuntun si teman sehingga akhirnya mereka sampai di stasiun besar Medan. Sepuluh menit kemudian, mereka akhirnya sampai di dalam stasiun. Cindy Victoria menuntun temannya ke lantai dua dan segera mereka tiba di gerai Starbucks Coffee. Sepuluh menit kemudian lagi segelas Caramel Macchiato dan American Dolce Latte sudah dihidangkan di hadapan Angela.

"Lagi-lagi kau bilang kau ingin mencari orang itu, Gel. Sejak aku mengenalmu di hari pertama kita kuliah, kau selalu bilang kau ingin mencari laki-laki itu, tapi sampai sekarang kau tidak tahu-menahu siapa dia dan ada di mana dia."

"Setidaknya sekarang aku tahu dia suka memakai baju biru Bromo gelap dengan model China klasik, Cin…" kata Angela dengan segenap kemantapan hatinya.

"Itu lebih tidak mungkin lagi. Itu adalah pakaian zaman dulu. Di era modern seperti sekarang ini, mana ada lagi laki-laki yang mengenakan pakaian seperti itu," Cindy mendengus dan merapatkan kedua bibirnya sejenak. "Kau benar-benar membuatku bingung. Mula-mula dengan kemampuan indigomu itu, kau bilang kau bisa melihat hal-hal yang tidak seharusnya kaulihat. Sekarang kau bilang kau sudah tahu laki-laki yang kaucari-cari itu suka memakai baju biru Bromo gelap dalam model China klasik."

Diam-diam percakapan mereka terdengar oleh seorang perempuan muda lainnya yang juga sedang duduk di gerai Starbucks Coffee sendirian sambil menikmati segelas Caramel Java Chip. Tampak si wanita muda itu menyimak kata demi kata dalam percakapan mereka dengan cermat.

"Oleh karena itu, kaulah yang bisa menjadi sahabat baikku, Cin. Hanya kaulah yang bisa mengerti dan memahami kondisiku," kata Angela dengan nada sedikit lirih.

"Apakah… Apakah di sini ada sesuatu dari dimensi yang berbeda dengan kita?" tanya Cindy merasa sedikit gelugutan. Dia selalu merasa takut-takut setiap kali menanyakan hal mengenai alam gaib kepada Angela.

Angela memutar kepalanya ke sekeliling. Dia tidak melihat ada apa-apa yang tidak wajar di sekelilingnya. Dia melihat keluar jendela kaca dan langsung melihat ke rel kereta api di bawah sana. Dia tersentak kaget sejenak melihat adanya sosok seorang ibu-ibu setengah baya dengan wajahnya yang berlumuran darah. Yang membuatnya sedikit bergidik ngeri adalah cara berdiri si ibu-ibu yang kurang wajar, seolah-olah seluruh tulang-belulangnya sudah hancur.

"Adakah?" mata Cindy terbelalak lebar dan ia kontan memundurkan tempat duduknya beberapa senti.

"Di sini tidak ada. Tapi, di rel kereta api itu… ada…" jawab Angela singkat.

"Hah?" Cindy terjengat di tempatnya. "Ada yang mati di rel kereta api di stasiun besar seperti ini?"

"Sepertinya… Sepertinya ibu-ibu itu tidak mati di sini, Cin. Dia matinya di tempat lain. Hanya saja, arwahnya mengikuti lokomotif yang menewaskannya dan mengembara sampai ke stasiun ini."

"Tepat sekali…" sambut suatu suara di belakang mereka. Kontan Cindy Victoria dan Angela Thema berpaling.

"Lihat saja dia asyik keluar masuk lokomotif yang terparkir di sebelah sana," kata si wanita muda menunjuk ke salah satu lokomotif yang memang agak jauh dari lokomotif-lokomotif yang lain. Angela melihat memang benar si ibu-ibu itu asyik keluar masuk dari lokomotif putih tersebut dengan gaya jalannya yang terpincang-pincang dan terpatah-patah.

"Bisa jadi dia sedang mencari sesuatu miliknya yang tertinggal pada lokomotif itu. Misalnya… anggota tubuhnya yang masih tertinggal pada lokomotif kereta api itu ketika ia tewas tergilas," lanjut si wanita muda lagi.

Cindy Victoria bergidik sesaat, "Kau… Kau… Kau juga bisa melihatnya?"

"Tentu saja…" tampak senyuman lembut nan tenang si wanita muda itu. "Makanya begitu aku tahu kau bisa melihatnya juga, aku tertarik untuk berkenalan denganmu," kata si wanita muda kepada Angela.

"Perkenalkan… Namaku Carvany – Carvany Callen Chen. Kalian?"

"Aku Cindy – Cindy Victoria Kosim."

"Aku Angela Thema. Kau boleh memanggilku dengan Angel saja."

Ketiga gadis itu saling bersalaman satu sama lain.

"Kau bisa melihat makhluk-makhluk itu dan kau tetap tampak tenang kulihat. Benar-benar salut aku…" kata Cindy dengan pandangan takjub.

Carvany mendaratkan pantatnya di hadapan Cindy dan Angela. "Bisa dibilang aku sudah terbiasa sih. Tapi tetap saja aku kadang takut juga, terutama terhadap makhluk-makhluk yang aku ketahui menyimpan dendam kebencian yang sangat kuat. Terhadap mereka, aku akan menghindar dan pura-pura tidak melihat."

"Kalau aku, meski sejak kecil sudah bisa melihat hal-hal demikian, tetap aku merasa takut, Carvany – terutama terhadap mereka dengan bentuk fisik yang mengerikan…" tampak Angela memicingkan kedua matanya dan bergidik sejenak.

"Sejak kapan kau bisa melihat hal-hal demikian?" tanya Cindy kepada Carvany.

Carvany tersenyum lembut lagi, "Sebenarnya sejak kecil sih. Namun, waktu aku kecil sama sekali tidak ada yang mau percaya, termasuk ayah ibuku. Ayah adalah seorang dekan di Universitas Cahaya Sejati itu. Ibu adalah dosen sastra Inggris yang mengajar di banyak perkuliahan."

"Dan kau belajar menghadapi semua ketakutan dan kengerian itu sendirian?" tanya Angela mengerutkan dahinya dan memandang lurus-lurus ke lawan bicaranya.

"Begitulah… Sampai aku kelas dua SMA, aku sudah agak tenang. Seperti kataku tadi, mungkin sudah agak terbiasa. Dan bisa kukatakan, meski aku tamat S1, aku tetap percaya makhluk-makhluk halus itu sebenarnya ada."

"Oke deh… Kalian lanjutkan dulu. Aku mau beli tiket balik ke Binjai untuk jam setengah tujuh ini," kata Cindy mulai berdiri.

"Kebetulan sekali… Aku juga mau ke Binjai…" kata Carvany mengangkat alisnya sejenak. "Bisa titip?"

"Kau juga orang Binjai?" tanya Angela.

"Orang Medan sih… Hanya saja bibiku yang di Binjai meninggal dan besok akan dikremasi. Ayah & Ibu sibuk sekali dengan kerjaan mereka. Aku deh terpaksa minta cuti dan besok siang aku balik Medan lagi. Boleh titip, Cin?"

"Boleh saja…" Cindy menerima uang sepuluh ribu dari Carvany dan bergegas ke loket yang ada di lantai bawah.

"Dan kalian asli orang Binjai?" tanya Carvany lagi sepeninggal Cindy.

Angela mengangguk, "Iya… Pagi kami kuliah dan siang sampai sorenya kami PKL di gedung Uniland sini. Malamnya kami balik ke Binjai lagi."

"PKL di perusahaan apa?"

"Perusahaan keramik. PT. Keramik Rusli."

Carvany mangut-mangut, "Bolak-balik Medan – Binjai kan merepotkan sekali. Kenapa tidak cari tempat kos saja di Medan? Daerah Asia Mega Mas dan Jalan Asia banyak tuh yang murah dan fasilitasnya oke kulihat," Carvany meneguk minumannya.

"Orang tua kami bilang kami tamat kuliah dulu dan sudah ada pekerjaan tetap baru cari kos dan menetap di Medan, Carvany."

Carvany mengangguk seraya tersenyum hangat. Percakapan-percakapan selanjutnya mulai berkisar ke kemampuan indigo masing-masing dan makhluk-makhluk halus apa saja yang sudah pernah mereka lihat.

***

Titik memori masih berada di stasiun yang sama, namun bergerak ke beberapa jam sebelumnya, yakni ke jam satu siang hari Senin yang sama.

Sekelebat bayangan terus mengerabik dan merecup ketakutan dalam padang sanubari Felisha Aurelia Viraluo.

Felisha mendapati dirinya menaiki sebuah bebukitan. Dia melihat adanya seorang laki-laki muda berdiri di ujung bukit dengan mengenakan pakaian hijau gelap dalam model China klasik. Lelaki itu tampak berdiri membelakanginya dengan pakaian hijau gelapnya yang bergerak-gerak karena tertiup angin. Felisha mempercepat langkah-langkahnya dan segera menuju ke tempat laki-laki itu berdiri.

Felisha mencengkeram tangan kiri lelaki itu. Lelaki itu seketika berpaling.

"Kenapa kau bisa ke sini? Kau tidak seharusnya ke sini!" suaranya tegas dan berat.

"Ayah sudah ditangkap oleh pemerintah Belanda. Kata mereka Ayah bersekongkol dengan orang-orang bumiputra untuk melancarkan pemberontakan. Jelas aku tahu Ayah tidak mungkin melakukan hal tersebut. Ada salah seorang saingan bisnisnya yang ingin menyingkirkannya dengan cara keji!"

"Dan untuk apa kau menceritakan hal ini kepadaku?"

"Ibumu adalah campuran antara orang Belanda dengan orang China. Orang-orang Belanda sangat memandang tinggi kedudukanmu. Kau juga bisa bahasa Belanda. Kau… Kau tentunya mau bantu aku kan dalam menyakinkan orang-orang Belanda itu bahwasanya ayahku tidak bersalah?" tanya Felisha takut-takut.

Lelaki itu kini berpaling. Felisha terhenyak kaget. Tampak beberapa butir air mata gelingsir di pelupuk mata sang lelaki dan ia kini menatap Felisha dengan tatapan nanar.

"Kedudukanku sama sekali tidak tinggi. Aku hanya bekerja di sebuah redaksi majalah Belanda dan Inggris karena aku bisa bahasa Belanda dan Inggris. Namun, gajiku sama sekali tidak meninggikan kedudukanku di mata ayahmu, sang konglomerat mafia garam di Tanah Deli ini. Di depannya, aku hanya bisa menunduk dan menerima nasibku, menerima cercaan dan hinaannya, menerima takdir yang kejam ini dan statusku yang tidak cocok bersanding dengan putri semata wayang sang mafia garam. Di depannya, aku sama sekali tidak bisa mengangkat kepalaku dan menjadi diriku sendiri. Sama sekali tidak bisa… Tidak bisa…" lelaki itu terus menatap Felisha dengan tatapan nanar dan pandangan matanya mulai kabur karena air mata.

Felisha kontan memeluk sang lelaki berpakaian hijau gelap yang berdiri di depannya.

"Kau tahu jelas aku sama sekali tidak mempedulikan itu! Aku tidak peduli dengan pandangan Ayah & Ibu! Aku hanya peduli pada perasaan kita berdua. Sudah berkali-kali kukatakan kepadamu kan? Asalkan hati dan perasaan kita mantap dan kukuh, aku yakin takkan ada yang bisa memisahkan kita. Tapi apa yang terjadi pada Ayah kali ini benar-benar lain. Bagaimanapun juga, dia tetaplah ayahku. Aku tidak ingin sesuatu yang mengerikan terjadi padanya. Dan aku juga yakin kau bisa membantu mengeluarkannya dari kengerian ini," tampak raut wajah Felisha sedikit memelas.

"Bagaimana jika aku bilang aku tidak bersedia?" tanya si lelaki masih dengan tatapan nanarnya.

Felisha tertegun sejenak. Pelukannya pada laki-laki tersebut mulai melemas.

"Tidak mungkin… Tidak mungkin… Tidak mungkin kau tak mau membantuku. Kau selalu siap sedia demi aku. Kau selalu muncul kapan pun aku membutuhkanmu," Felisha sedikit berteriak sekarang.

"Untukmu iya, tapi tidak untuk orang yang telah menghina dan merendahkan aku selama ini!"

"Tolong aku, Sayang… Aku mohon… Hanya kau satu-satunya yang bisa menuliskan satu surat jaminan dan menjamin bahwasanya Ayah bukan seorang pemberontak."

Sang lelaki menepiskan pegangan tangan Felisha yang sudah semakin lemas dan longgar.

"Sekarang aku mengerti kau tidak menganggapku sebagai orang yang berarti di hatimu, Valencia. Tidak pernah… Tidak pernah… Kau hanya menganggapku sebagai jalan keluar dari masalah-masalahmu! Selama ini aku hanya berfungsi sebagai robot yang membantumu memecahkan setiap masalahmu! Dan kini kau juga menganggapku sebagai jalan penyelesaian terhadap musibah yang menimpa ayahmu!"

Felisha berdiri dengan tatapan hampa. Dia seperti raga yang kehilangan arwah, hanya berdiri terpaku di tempatnya.

Lelaki itu berjalan meninggalkan dirinya. Sayup-sayup melodi kesedihan mulai mengalun, menggeligit kuncup batin Felisha Aurelia. Akan tetapi, sebelum lelaki dalam pakaian hijau gelap model China klasik tersebut berlalu, sempat terucap dari mulutnya,

"Jangan khawatir. Besok siang akan kukirimkan surat jaminan ayahmu ke kantor pusat yang ada di Batavia sana."

Lelaki itu berlalu. Felisha ingin mengejarnya lagi. Namun, kakinya tersandung sebuah batu dan ia jatuh terjerembab ke tanah. Kontan ia terbangun dari mimpinya.

Dia mendapati dirinya sedang berada di dalam mobil. Valencia…? Valencia…? Jelas-jelas aku merasa aku adalah gadis yang berhadapan dengan lelaki itu. Kenapa ia memanggilku dengan nama Valencia, bukan Felisha?

Felisha sadar ternyata mobil yang ditumpanginya sudah sampai di depan stasiun besar Medan. Saat hendak turun dari mobil, ia sadar sang pengasuh tengah mencegat lengan kirinya.

"Nona yakin mau ke Siantar seorang diri? Tuan dan Nyonya sama sekali tidak tahu Nona mau ke Siantar. Kalau mereka tanya, aku harus jawab apa, Nona?" tanya sang pengasuh sedikit cemas dan gugup.

"Di kereta api nanti aku akan Line Ayah dan Ibu bahwasanya aku ke rumah Nenek di Siantar, Bu San. Kau tidak usah khawatir. Kalau dengar ternyata aku menginap di rumah Nenek di Siantar, mereka tak pernah melarang. Mereka juga takkan menyalahkan Bu San. Tenang ya, Bu San…" tampak sebersit senyuman lirih nan lemah dari sepasang bibir Felisha Aurelia.

"Sebenarnya Nona mau ngapain sih ke Siantar sana dan menginap di rumah Nenek Netty? Kok mendadak dan perginya pada hari Senin begini sih?" tanya Bu Saniyem, sang pengasuh, sembari mengerutkan dahinya.

"Tentu saja aku ingin mengobrol-ngobrol dengan Nenek. Hanya Nenek yang memahami kondisiku. Hanya Nenek yang percaya dengan segala kengerianku."

"Sudah lama Nona tidak bercerita mengenai mimpi-mimpi serta kengerian-kengerian itu lagi. Kenapa mendadak sekarang Nona cerita lagi?" Bu Saniyem makin bergidik ngeri menghadapi putri sang majikan yang memang menurutnya sedikit tidak waras ini.

"Kau juga tidak pernah percaya dengan segala kengerianku, Bu San. Jadi, untuk apa aku cerita panjang lebar kepadamu?"

Felisha hendak membuka pintu, namun sosok anak laki-laki awal belasan dengan wajahnya yang tinggal setengah kontan membuat Felisha bergidik ngeri. Dari kaca mobil, Felisha bisa melihat sepertinya anak laki-laki itu berusaha mengambil sebuah permen yang ada di depannya, namun entah tangannya yang terlalu pendek atau ada penyebab lain, anak itu tidak bisa memperoleh permen tersebut.

"Bu San… Aku ingin keluar dari sisi yang sebelah sana."

Bu Saniyem mengangguk dan membuka pintu. Felisha Aurelia keluar dan memutari mobil dari bagian depan. Dalam sekejap gadis muda itu sudah menghilang ke dalam stasiun besar Medan. Bu Saniyem masuk kembali ke dalam mobil. Dia duduk di tempat Felisha Aurelia duduk tadi. Dari kaca mobil, ia bisa melihat ke jalanan yang ada di bagian kanan mobil. Sama sekali tidak ada siapa-siapa di sana. Kenapa Nona Felisha bisa setakut itu tadi dan ingin keluar dari sisi kiri ini? Apakah tadi memang benar-benar ada sesuatu?

***

Felisha Aurelia masuk ke dalam kereta api begitu sang masinis membunyikan klakson petanda sebentar lagi kereta api jurusan Siantar akan berangkat. Dari karcisnya, ia bisa mengetahui posisi tempat duduknya. Namun, langkah-langkahnya menuju ke tempat duduk kontan terhenti begitu disadarinya anak laki-laki dengan wajah setengah tadi kini sudah duduk di samping tempat duduknya. Anak laki-laki itu berusaha menampilkan senyumannya dengan mulutnya yang juga hanya setengah.

Jantung Felisha berpacu dengan kencang. Dia tidak mungkin berpindah tempat duduk lagi. Semua tempat duduk sudah ditentukan saat pembelian karcis. Mau tidak mau dia duduk di samping si hantu anak kecil itu dengan kikuk. Felisha Aurelia sama sekali tidak menoleh ke anak laki-laki itu. Dia hanya membuang pandangannya keluar jendela kereta api. Menyadari Felisha bisa merasakan kehadirannya, anak lelaki itu mulai mencolek-colek siku kanan Felisha. Mau tidak mau Felisha berpaling ke arah anak lelaki itu pada akhirnya.

"Aku tahu kau bisa melihatku, Kak. Tolong aku, Kak… Tolong aku…" pinta si anak lelaki dengan raut wajahnya yang memelas dan suaranya yang lebih mirip tangisan daripada permohonan.

"Apa yang kauinginkan dariku?" tanya Felisha Aurelia sedikit kesal. "Permen? Aku tidak pernah bawa permen ketika berpergian jauh. Kalaupun ada, tentu saja kau tak bisa makan permen yang kuberikan, Anak Kecil."

"Bukan permen yang kucari, Kak…"

Felisha tertegun sejenak. Jelas tadi anak ini hendak mengambil permen yang ada di jalanan ketika Felisha melihatnya di depan stasiun.

"Jadi apa?"

"Aku ingin mencari ibuku, Kak. Aku kehilangan Ibu. Aku ingin mencarinya. Ibu pasti sangat mengkhawatirkan aku sekarang."

"Apakah… Apakah… Apakah ibumu sekarang masih hidup atau sudah mati?"

Sekelebat bayangan kecelakaan kembali melungkup di benak si anak lelaki. Penampakan seorang wanita setengah baya yang mengendarai sepeda motornya dengan kecepatan tinggi membelah jalanan dan aliran udara malam yang dingin, mulai datang menggelimuni benak si anak lelaki.

"Bu! Aku takut… Apakah kita bisa selamat dari orang-orang yang terus mengejar kita di belakang itu?" terdengar nada suara si anak yang ketakutan.

"Jangan khawatir, Tim. Mereka takkan bisa mengejar kita. Mereka takkan bisa mendapatkanmu. Kita akan selamat sampai di rumah. Kita akan selamat," terdengar nada suara si ibu yang lebih mirip dengan lolongan ketakutan di jalanan malam.

Palang pintu perlintasan kereta api mulai bergerak menutup. Si ibu melihat ke belakang melalui kaca spionnya. Tiga sepeda motor di belakang masih terus mengejarnya tanpa kenal menyerah. Satu sepeda motor bahkan sudah menyamai kecepatannya dan berada di sampingnya.

"Menyerahlah!" teriak seorang ibu-ibu setengah baya dari sepeda motor si penjahat, "Bagaimanapun juga, anak itu akan menjadi milik kami malam ini!"

Ketakutan si ibu mencapai puncak. Dia mempercepat sepeda motornya lagi dan terus menerjang ke rel kereta api yang ada di depan. Sepeda motor si penculik juga berusaha menyamai kecepatannya. Tak ayal lagi, dua sepeda motor dan kereta api tiba di titik yang sama pada saat yang bersamaan. Terjadilah tabrakan maut yang begitu keras. Terdengar jeritan dan lolongan yang melengking tinggi memecah udara dingin dan kesunyian langit malam.

Semuanya terjadi begitu cepat. Dua sepeda motor hancur berantakan di atas rel kereta api. Tampak kondisi dua penjahat yang setengah telanjang dengan kondisi beberapa anggota tubuh yang terpisah-pisah. Tampak si ibu yang terkapar tidak berdaya dengan darah yang bercucuran dari kepala, tapi seluruh tubuh dan pakaiannya masih utuh nan lengkap. Tampak kondisi si anak lelaki yang tewas mengenaskan dengan kondisi wajahnya yang kini tinggal setengah.

Kerumunan segera berkumpul di lokasi kecelakaan. Melihat semakin banyak dan semakin banyak orang yang berkumpul di lokasi kecelakaan, dua sepeda motor penjahat yang lain segera mengambil langkah seribu.

Felisha terhenyak kaget mendengar cerita kematian si anak lelaki ini. Jadi sekarang si anak ini mencari-cari ibunya. Apakah ibunya masih hidup atau mati ya? Jika masih hidup, ada di rumah sakit mana ya? Jika sudah mati, ke mana arwah si ibu mengembara? Apakah arwah si ibu masih lengket di rel kereta api yang menjadi lokasi kecelakaan kemarin malam?

"Jadi ke mana kau akan mencari ibumu?" tanya Felisha sedikit mengerutkan dahi.

"Di kereta api yang menabrak kami kemarin malam, Kak."

"Hah? Maksudmu lokomotifnya? Kau masih bisa mengenali lokomotif itu?"

"Tentu saja bisa," jawab si anak lelaki dengan raut wajah yang datar nan tanpa ekspresi. "Aku ke sini naik itu. Kau mau membantuku mencari ibuku kan, Kak?"

Felisha berpikir beberapa saat. Haruskah dia membantu arwah anak lelaki ini? Jika ia membantu arwah anak lelaki ini, berarti tiketnya ke Siantar hari ini hangus. Malamnya dia harus menginap di sebuah hotel dan besok siang baru berangkat ke Siantar lagi.

Namun, akhirnya dia menganggukkan kepalanya. Senyum merekah di bibir si anak lelaki yang tinggal setengah.

***

"Ayo naik! Apa lagi yang kalian tunggu?" tanya Cindy Victoria ketika disadarinya Angela dan Carvany masih berdiri di pelataran stasiun sementara dirinya sudah berada di dalam gerbong kereta api.

"Kau lihat itu?" tanya Carvany kepada Angela sambil menunjuk-nunjuk ke lokomotif tempat mereka melihat arwah seorang ibu-ibu setengah baya barusan.

Angela menganggukkan kepalanya. Angela dan Carvany saling bertukar pandang sesaat. Angela bisa melihat kini ibu-ibu setengah baya tadi tidak lagi sendiri. Ada seorang pria berumur kira-kira akhir tiga puluhan yang menemaninya. Gaya jalan pria itu yang terpatah-patah nan terpincang-pincang menunjukkan kondisinya yang juga tidak jauh berbeda dengan ibu-ibu setengah baya itu. Ada hantu anak kecil laki-laki yang wajahnya tinggal setengah. Dan terakhir… ada seorang gadis yang kira-kira seumuran dengannya, membawa anak laki-laki tersebut menjumpai ibu-ibu setengah baya dan pria akhir tiga puluhan tersebut.

"Ayo, Gel, Carvany! Kalau tidak naik kalian sekarang, kereta ini keburu…"

Benar saja, terdengar bunyi klakson kereta api yang panjang sekali lagi. Tak lama kemudian, kereta api mulai bergerak perlahan.

"Kau balik saja dulu, Cin. Aku menyusul dengan kereta api jam delapan nanti," kata Angela kepada Cindy.

"Kau mau ke mana sebenarnya, Gel?" teriak Cindy masih berdiri di pintu kereta api meski kereta api mulai bergerak makin lama makin kencang.

"Besok akan kuceritakan padamu, Cin. Kau balik saja dulu," kata Angela lagi.

Kereta api meninggalkan stasiun. Carvany menarik tangan Angela dan keduanya memutari stasiun besar tersebut. Lima menit kemudian, sampailah keduanya di tempat yang seharusnya.

"Ada apa ini?" tanya Carvany langsung mencegat lengan kanan Felisha. Felisha serta-merta berpaling. Ia langsung merasa bersyukur mendapati ada dua anak manusia lain yang kira-kira memiliki kemampuan yang sama dengannya.

"Anak ini sudah mati dan ingin mencari ibunya. Mulanya kukira dua orang itu adalah orang tuanya yang sudah mati juga. Tapi, sepertinya… sepertinya…"

Si anak kecil terus bersembunyi di belakang Felisha. Sementara kedua hantu yang ada di hadapan mereka terus maju selangkah demi selangkah.

"Siapa kalian?" tanya Angela dengan nada suaranya yang gemetaran. Dia juga mundur perlahan-lahan karena kedua hantu di depannya semakin maju selangkah demi selangkah.

"Jelas kedua hantu ini bukan orang tuanya," kata Carvany juga mundur selangkah demi selangkah. "Aku bisa… bisa… bisa merasakan adanya energi keserakahan yang teramat kuat dari kedua hantu ini."

"Serahkan anak itu pada kami, Tiga Gadis Cantik. Jika kalian menyerahkannya pada kami, nyawa kalian akan selamat," kata si ibu-ibu setengah baya dengan senyuman yang mengerikan.

"Ayo kita lari!" kata Carvany memberi sebuah aba-aba.

Mereka bertiga berbalik dan hendak melarikan diri. Namun, begitu berbalik, dua hantu jahat itu kembali berada di hadapan mereka. Dengan sekali mengayunkan tangannya, hantu pria akhir tiga puluhan itu berhasil mengirim mereka bertiga dan si anak kecil jatuh sempoyongan ke belakang. Terdengar pekikan tertahan tiga wanita muda dan seorang hantu anak laki-laki.

Sekonyong-konyong kejutan yang berikutnya datang. Ketiga wanita muda jatuh ke dalam pelukan tiga laki-laki yang entah muncul dari mana.

"Hah? Baju biru…" Angela terperanjat kaget karena terjatuh ke dalam suatu pelukan dengan lengan baju panjang yang berwarna biru muda.

Baju hijau… Dari mana datangnya orang yang berbaju hijau ini? Jangan-jangan dia juga bukan manusia… Felisha juga terperanjat kaget melihat seraut wajah tampan dalam balutan jas hijau gelap, menampilkan senyuman kelembutannya. Apakah… Apakah… Apakah dia adalah laki-laki yang memanggilku dengan nama Valencia dalam mimpiku? Berhakkah aku percaya dengan kekuatan mimpi? Jika mimpi itu nyata, siapa sebenarnya laki-laki ini? Kenapa… Kenapa dia bisa muncul di dalam mimpi-mimpiku?

Tentu saja Carvany juga terperanjat kaget mendarat dalam suatu pelukan dengan lengan baju panjang yang berwarna merah gelap. Warna baju yang tidak asing… Dan, aroma tubuh ini… Oh, Buddha… Mimpi itu… Ya benar… Tidak salah lagi! Mimpi itu! Aku serasa kembali ke dalam mimpi. Aku jadi tidak bisa membedakan yang mana kenyataan dan yang mana imajinasi.

"Kalian adalah…" terdengar suara si baju merah yang serak-serak basah penuh dengan sejuta kelembutan, "dua hantu dengan nafsu keserakahan yang sangat tinggi. Kalian tidak seharusnya berada di dimensi manusia ini."

"Bahkan dalam keadaan sudah mati sekalipun, kalian tetap tak mau melepaskan anak ini!" sambung si baju biru dengan nada suara yang mengandung sedikit emosi dan amarah.

"Lenyap dari dimensi ini dan pergilah ke alam kalian yang seharusnya!" sahut si baju hijau dengan suaranya yang berat dan tegas.

Mendadak terbuka dua lorong laksana lubang hitam di belakang hantu si ibu-ibu setengah baya dan pria akhir tiga puluhan itu. Keduanya menjerit seketika karena sedikit demi sedikit partikel pembentuk tubuh mereka mulai tersedot ke dalam lubang hitam.

Mata ketiga wanita muda membelalak seketika menyaksikan dua hantu di hadapan mereka habis satu demi satu, perlahan-lahan tersedot ke dalam lubang hitam. Akhirnya, seiring dengan lenyapnya kedua hantu jahat tersebut, lubang hitam itu semakin mengecil dan padam total.

"Akan dibawa ke mana kedua hantu itu?" tanya Angela takut-takut.

"Apakah kau membunuh mereka untuk yang kedua kalinya?" jelas Felisha Aurelia belum pulih benar dari kagetnya.

"Kami tidak membunuh mereka. Bukan hak kami untuk membunuh, bahkan hantu sekalipun," kata si baju biru.

"Mereka tidak mati. Mereka hanya dilahirkan kembali… Dilahirkan kembali ke tempat yang cocok bagi mereka. Yang jelas, tempat yang cocok bagi mereka itu bukan di dimensi manusia ini," sahut si baju hijau.

"Akan ke mana mereka itu? Neraka?" jelas tampak Carvany juga belum pulih benar dari kagetnya.

"Entahlah… Tugas kami hanya mengantarkan, bukan menentukan pemberhentian akhir mereka. Hanya karma mereka sendirilah yang tahu," ujar si baju merah.

"Tim… Kami membawa seseorang menemuimu. Kau pasti akan senang bertemu dengannya," kata si baju biru.

Ketiga laki-laki itu memberi sebuah jarak. Akhirnya si hantu Tim bisa melihat sosok seorang wanita pertengahan empat puluhan yang berdiri di belakang ketiga laki-laki tersebut.

"Ibu… Ibu… Ibu…" Tim langsung berlari masuk ke dalam pelukan sang ibu.

Sang ibu menangis tersedu-sedu. Dia meraih si anak ke dalam pelukan keibuannya. Dia sama sekali tidak tampak takut meski kondisi si anak yang sudah tinggal wajah dan kepalanya yang setengah. Air mata terus bergulir turun tanpa henti. Sungguh pertemuan yang menyayat hati. Ketiga wanita muda saling berpandangan sesaat.

"Maafkan Ibu, Tim… Janji Ibu kita akan tiba di rumah dengan selamat sama sekali tidak bisa Ibu tepati. Ibu tak pantas menjadi ibumu, Tim. Ibu tidak sanggup melindungimu," tangisan si ibu terus menganak sungai.

"Tidak apa-apa, Bu. Aku senang, Bu. Dengan mata kepalaku sendiri, aku bisa memastikan Ibu baik-baik saja. Dengan begitu, dengan begitu… aku bisa pergi dengan tenang, Bu…" kata Tim di sela-sela isakan tangisnya.

"Pak Malaikat… Anda bertiga memiliki kekuatan yang begitu tinggi. Anda bertiga bisa mengalahkan dua hantu jahat tadi hanya dalam sekejap. Tidak bisakah Anda bertiga memberikan Tim satu kesempatan lagi? Tidak bisakah anakku hidup kembali? Dia masih berumur 12 tahun. Dia tidak tahu apa-apa. Dia tidak berdosa, masih putih bersih, tapi harus menjadi korban percobaan penculikan, dan menjalani hidup yang sesingkat ini! Kenapa hidup ini begitu tidak adil, Pak Malaikat? Kenapa?"

Jeritan si ibu memuncak ketika ia menumpahkan segala ketidakberdayaan dan perasaan lain yang mengerabik di semenanjung hatinya.

"Tidak bisakah kau memberikan Tim satu kesempatan lagi untuk berkumpul dengan ibunya?" tanya Angela kepada malaikat berbaju biru yang masih berdiri di sampingnya.

Mendadak si malaikat berbaju biru memegangi kedua pipi Angela. Segala macam perasaan mulai bergelitar di beranda hati Angela.

"Tidak bisa, Gadis Cantik…" kata si baju biru. "Semuanya sudah ditentukan oleh karma masing-masing. Kita tidak tahu karma apa saja yang sudah diperbuat Tim di kehidupan yang sebelumnya. Namun yang jelas, karmanya itu hanya memungkinkan ia berkumpul bersama ibunya selama 12 tahun."

Angela hanya bisa tersenyum pasrah. Carvany mendekati si ibu yang masih meraung-raung dalam gundah dan gulana.

"Ada pertemuan, ada perpisahan juga, Bu. Tim memang harus pergi. Tidak ada yang bisa kita lakukan. Yang harus pergi tetap akan pergi, Bu. Relakanlah…"

Nyonya Devi Ananta Rahardi hanya mengangguk dengan pasrah. Malaikat baju merah menjentikkan jarinya. Mendadak entah dari mana datangnya, sebuah kereta api warna hitam total mendekat dan berhenti tepat di hadapan Tim.

"Hiduplah dengan baik, Bu. Aku bertekad, di kehidupan yang berikutnya aku akan menjadi anak Ibu lagi," dan Tim pun naik dan menghilang ke dalam kereta api warna hitam total. Kereta api bergerak menjauh dan akhirnya lenyap dari pandangan mata.

"Nyonya Devi Ananta Rahardi… Anda masih koma di rumah sakit. Anda harus secepatnya kembali ke raga Anda," kata si baju merah.

Nyonya Devi Ananta Rahardi menganggukkan kepalanya. Perlahan-lahan bayangan tubuhnya semakin memudar. Ia pun lenyap dari pandangan mata, meninggalkan tetesan-tetesan air matanya di pelataran stasiun kereta api.

Tiga wanita muda memalingkan wajah masing-masing, ingin berbicara dengan malaikat masing-masing. Namun sungguh sangat disayangkan, ketiga malaikat sudah menghilang dari tempat itu – tanpa bekas, tanpa jejak.

Vous aimerez aussi