webnovel

Insiden di Karaoke

"Kalau begitu ayo pergi." Ketika Erza setuju, Zenida segera bangkit dari duduknya karena takut Erza akan berubah pikiran.

Erza membayar makanannya. Karena itu bukan restoran besar, biaya makannya hanya 200 ribu untuk empat orang. Setelah itu, Erza membawa Tasya dan teman-temannya ke tempat bermain biliar.

"Kamu bisa bermain biliar?" Sebelum memasuki ruang biliar, Tasya juga melihat Erza dan bertanya dengan sedikit khawatir.

"Aku akan melihat yang lain bermain dulu sambil belajar." Begitu mendengarnya, Tasya hampir pingsan. Erza ternyata tidak tahu cara bermain biliar sama sekali.

"Kak Erza, kamu tidak tahu cara bermain biliar?" Zenida juga mendengar obrolan Erza dan Tasya. Pada saat ini, Zenida merasa bangga karenanya.

"Ya, aku tidak tahu cara bermain biliar, apa tidak apa-apa?" ​​Erza tampak cuek.

"Ayo, masuk." Tasya tidak ambil pusing.

"Kak Erza, membosankan jika kita hanya bermain biliar. Mengapa kita tidak bertaruh?" Zenida menampilkan ekspresi penuh kemenangan.

"Zenida, kamu jelas-jelas tahu pacarku belum pernah bermain biliar." Wajah Tasya tampak sangat marah.

"Aku tidak memaksanya. Jika pacarmu tidak berani bertaruh, lupakan saja." Zenida mengibaskan tangannya.

"Aku setuju." Erza mengangguk, tapi tidak terlalu peduli.

"Tapi…" Tasya memegang sudut baju Erza. "Jangan khawatir, tidak akan terjadi apa-apa." Erza menepuk bahu Tasya.

"Oke, jika kamu kalah, maka kamu harus meninggalkan Tasya selamanya," ucap Zenida. Setelah Erza mendengarnya, dia sedikit terkejut. Dia tidak menyangka bahwa gadis yang masih belia sudah paham soal taruhan.

"Paman, jika kamu kalah, aku akan memberitahumu apa yang terjadi malam itu." Namun, sebelum Erza dapat berbicara, suara Tasya terdengar di telinga Erza.

"Lalu bagaimana jika aku menang?" Erza bertanya pada Zenida.

"Meskipun kamu memiliki peluang menang yang rendah, jika kamu menang, maka apa pun yang kamu katakan, aku pasti akan mendengarkan. Bagaimana menurutmu?" Zenida masih memasang tampang bangga sekarang karena dia yakin akan menang.

"Zenida, bukankah ini jelas tidak adil?" Tasya mengepalkan tangannya, wajahnya penuh amarah.

"Jika kamu takut, kamu bisa…" Sebelum Zenida selesai berbicara, Erza berkata dengan cepat, "Oke, aku akan terima taruhan itu."

"Nah, karena kamu belum pernah bermain, maka kamu bisa mulai duluan." Senyuman di wajah Zenida tampak lebih bahagia.

"Paman? Bisakah kamu melakukannya? Jika kamu tidak bisa, tidak usah ambil taruhan ini." Pada saat ini, Tasya berbisik penuh ketakutan.

"Aku tidak tahu. Ambilkan aku tongkat biliar," pinta Erza pada Tasya.

"Oh, tongkat yang mana yang kamu inginkan?"

"Apa saja." Erza juga sedikit gugup. Ketidakyakinan Erza membuat Tasya sedikit marah. Jika Erza kalah dalam taruhan ini, bukankah itu artinya Tasya tidak akan menjadi pacarnya lagi? Namun, Tasya memutuskan untuk memilih tongkat biliar yang bagus dengan hati-hati.

"Kalau begitu aku akan mulai." Erza mengambil posisi bersiap dan datang ke meja biliar. Dia menatap Zenida tajam.

"Silakan. Aku juga tidak ingin membuang waktu." Zenida berkata di dalam hatinya bahwa Erza ini bodoh. Namun, Erza tidak terlalu peduli, dia langsung mendorong bola putih dengan keras, dan bola putih itu langsung mengenai bola lainnya.

"Masuk!" Erza mencetak angka satu yang membuat Tasya semangat.

"Lumayan, tapi itu biasa saja. Kamu hanya sedang beruntung." Zenida tidak peduli. Mencetak angka pada saat memulai adalah hal yang normal.

"Masuk!" Saat Zenida baru saja menghibur dirinya sendiri, suara Tasya terdengar lagi.

"Sial. Itu hanya tentang keberuntungan." Zenida merasakan begitu kesal di dalam hatinya.

"Masuk."

"Masuk."

"Masuk lagi."

"Kamu luar biasa!"

Saat sorak-sorai Tasya terus terdengar, dahi Zenida sudah berkeringat. Jika Erza beruntung di awal, kali ini dia sudah mencetak enam angka, dan semuanya dalam satu tembakan. Apakah orang ini benar-benar tidak pernah bermain biliar? Ada beberapa keraguan di hati Zenida. Melihat postur Erza saat bermain biliar, pria itu tampaknya bukan pemain amatir.

Saat ini hanya tersisa satu bola dengan angka 7. Sekarang Zenida juga diam-diam menghela napas lega karena dia tahu Erza tidak akan bisa memasukkan bola itu ke lubang.

Erza melirik bola biliar di atas meja dan menggelengkan kepalanya. Lalu, dia mengarahkan tongkat biliarnya tepat ke arah bola putih. Bola putih tersebut langsung melesat, berguling ke depan, dan langsung menghantam bola terakhir hingga masuk ke dalam lubang.

"Apa?" Rahang Zenida hampir lepas. Bagaimana ini bisa terjadi? Erza berhasil memasukkan bola yang sulit.

"Kamu sangat luar biasa!" Tasya juga berkata dengan bersemangat. Tanpa diduga keterampilan Erza dalam bermain biliar sangat tinggi. Teman-teman Tasya yang lain juga turut meneriaki Erza dengan sangat antusias.

Sebenarnya tidak banyak orang yang bisa melakukan apa yang baru saja dilakukan Erza. Bagaimanapun, Zenida belum pernah melihat orang sehebat Erza walaupun dia telah bermain biliar selama bertahun-tahun.

"Kak Erza, kamu hebat. Zenida, kamu kalah. Apakah kamu akan memenuhi taruhanmu?" tanya Tasya dengan kepala terangkat.

"Hah?" Zenida juga tertegun.

"Kamu harus tepati janjimu." Pada saat ini, Tasya tampak sangat bahagia. Pada saat ini, dia ingin memberi pelajaran kepada Zenida.

"T-tentu saja aku akan memenuhi taruhannya." Zenida menjawab dengan agak enggan. Hatinya semakin tidak yakin. Dia tidak menyangka akan dikalahkan oleh Erza dan Tasya. Memikirkan taruhan yang baru saja dia buat, Zenida sangat menyesalinya. Kini dia sangat ingin menampar wajahnya sendiri.

"Bukan apa-apa. Aku juga tidak menyangka akan menang secara tidak sengaja." Erza tersenyum tipis. Tetapi saat ini, Zenida bahkan lebih malu. "Oke, karena sudah larut malam, bukankah kita harus pulang?" Erza merasa sudah cukup untuk memberi pelajaran kepada Zenida. Gadis itu sudah cukup malu sekarang.

"Tapi kami… kami berencana untuk pergi karaoke." Saat ini, Tasya juga memasang ekspresi ragu di wajahnya karena takut Erza akan marah.

"Kalau begitu aku pergi dulu." Erza merasa jika dia tidak kembali malam ini, Lana mungkin akan marah lagi. Jika itu terjadi, pasti akan lebih merepotkan.

"Apakah kamu tidak khawatir jika aku dan teman-temanku pergi ke tempat itu sendirian tanpa dirimu?" Tasya mulai menggunakan kecentilannya. Dia meraih lengan Erza, meletakkannya di dadanya, dan mulai menggosok-gosokkan dengan gemas. Erza langsung menarik tangannya. Jika Tasya terus bersikap seperti ini, dia khawatir akan terjadi apa-apa. Karena dia tahu tempat yang akan dikunjungi oleh Tasya dan teman-temannya agak tidak aman, dia masih harus pergi untuk menemani mereka.

"Oke, kali ini saja, ya?" Erza akhirnya luluh juga. Dia benar-benar khawatir tentang anak-anak ini yang pergi ke karaoke saat sudah larut malam.

"Kamu yang terbaik!" Ekspresi wajah Tasya bahkan lebih bersemangat.

Mereka pun menuju tempat karaoke terdekat. Saat tiba di sana, Tasya langsung memesan ruangan dan mulai bernyanyi. Tapi saat ini Zenida terlihat sedikit murung. Tampaknya dia masih ingin mengembalikan harga dirinya. Sedangkan, Tasya dan gadis-gadis lainnya terlihat gembira. Mereka menyanyikan beberapa lagu yang membuat telinga Erza sakit.

Erza hanya bisa duduk di samping, memandangi Tasya yang lebih bahagia. Kadang Erza juga merasa tidak ada salahnya menjadi seorang kakak bagi Tasya. Setidaknya dia bisa melihat gadis itu tertawa dengan riang sepanjang hari.

"Kak Erza, kami mau ke toilet, kamu bisa menyanyi." Tasya dan beberapa gadis keluar.

"Aku juga pergi ke toilet." Zenida benar-benar tidak ingin sendirian di dalam ruangan itu dengan Erza karena dia terlanjur malu pada Erza.

Kini Erza sendirian di dalam ruang karaoke. Dia terus mengingat masa lalu, dengan kesedihan dan kekecewaan di matanya. Dia mengepalkan tangan, berteriak dengan kuat di dalam hatinya. Dia percaya bahwa semuanya akan baik-baik saja sebentar lagi.

BRUAK!

Namun, pada saat ini, pintu ruangan itu tiba-tiba terbuka. Lalu, seorang pria berbadan besar masuk.

"Kak, tolong kami." Suara Tasya datang dari belakang.

"Oh, tidak." Erza tiba-tiba berdiri.

Chapitre suivant