"APA YANG KALIAN SEMUA LAKUKAN DISINI HAH?" Fransisco tertawa kecil melihat reaksi yang Franch perlihatkan padanya padahal ia dan teman-temannya hanya ingin menyambut kedatangannya saja.
"Menyambutmu tentu saja." jawab Leo yang duduk diatas kap mobilnya.
"Ada apa dengan ekspresi wajahmu itu, Franch. Harusnya kamu merasa tersanjung melihat kami menyambutmu dengan ramai seperti ini. Haruskah aku menyuruh anak buahku untuk memberikan kembang api untuk perayaan ini? Atau kita akan mengadakan pesta nanti malam?" suara tawa menggema sebagai jawaban atas perkataan Leo, diantara mereka semua memang Leo-lah yang sikapnya sangat bersahabat tetapi terkadang sikap tenang seseorang malah itulah yang paling kejam.
"Aku harusnya membawakan satu buah pistol untukmu, Franch. Mengingat keluargaku baru saja mengeluarkan pistol terbarunya saat ini." diatas sana tepatnya didepan pintu keluar pesawat pribadinya Franch menggeram kesal dan tidak menyangka akan disambut sedemikian rupa seperti ini.
Tentu Franch hapal dengan wajah mereka semua, 10 orang yang paling dicari di dunia gelap terutama laki-laki yang sedang menyandar santai pada mobilnya. Dia adalah ketua dari kelompok paling menakutkan ini, bisa saja Franch melawan mereka sekarang tapi sayangnya ia kalah jumlah pasti sangat tidak menguntungkan untuknya.
"Kita pulang sekarang." titahnya pada pramugara disampingnya.
"Maafkan saya Tuan, kita baru saja tiba dan kembali menerbangkan pesawat padahal baru saja mendarat adalah hal tidak baik, kita harus menunggu selama sejam dulu baru bisa terbang kembali." laki-laki yang masih gagah di usia senjanya itu menggeram kesal, sepertinya Fransisco sudah merencanakan semua ini.
"Turunlah dari pesawat indahmu itu, Franch. Aku sudah menyiapkan jamuan untuk kita dirumahku karena sebenarnya aku juga baru tiba di Indonesia beberapa jam lalu." salah satu dari mereka kembali bersuara tetapi Franch tidak mendengarnya sama sekali, ia memilih membalikkan badannya dan kembali masuk kedalam pesawat pribadinya.
"Uhh! Sangat tidak asyik. Lalu bagaimana? Kita menunggunya atau kembali?" Leo melangkah kearah Fransisco, menatapnya dengan ekspresi bertanya.
"Kirim tangan kanan kalian kemari untuk mengawasinya dan memastikan bahwasanya dia tidak turun dari pesawat itu seinci-pun. Jangan meninggalkan tempat ini sebelum pengawal kalian datang karena saya tidak ingin dia menyentuhkan sepatunya dengan tanah Indonesia karena itu sama saja saya membiarkan dia menyakiti Asyila, saya kembali." Tanpa menunggu jawaban kesembilan temannya Fransisco masuk ke dalam mobilnya kemudian melajukannya dengan santai.
Semenit setelah kepergian Fransisco, kesembilan laki-laki tampan itu kini sibuk menelepon tangan kanan mereka untuk datang, mereka tidak pernah merasa diperbudak oleh Fransisco tapi menurut mereka apa yang Fransisco katakan memang benar adanya.
***
"Kudengar dari pelayan disini, sebelum kemari mama bertempat mertua mama dulu, benarkah?"
"Iya sayang, tapi hanya sebentar setelah itu Mama kesini untuk bertemu denganmu meninggalkan pelayan mama disana bersama mereka." Valaxie mengusap pelan kepala putrinya di balik kerudungnya, tidak ada hal lebih membahagiakan dari momen ini.
"Kenapa mereka ingin menyakitiku? Apakah aku membuat mereka terancam?" bayangan saat sosok seseorang mengejarnya dalam kegelapan kembali terulang dalam ingatan Asyila, saat sebuah pistol mengarah padanya tetapi sepertinya hanya ilusi dalam pikirannya.
"Oh iya, kamu punya teman?" Asyila terdiam, sepertinya mamanya tidak ingin membahas tentang hal itu.
"Punya, mereka bertiga sayang sama aku. Mungkin sekarang mereka sedang bingung kenapa aku tidak ada kabar sama sekali, mama punya telepon? Teleponku ketinggalan dirumah." Valaxie membuka tasnya dan mengeluarkan ponselnya.
"Mama belum beli kartu khusus negera ini, jadi belum bisa dipake untuk menelpon." wajah kecewa Asyila langsung terlihat mendengar hal itu.
"Mereka bertiga selalu hibur aku pas lagi sedih gitu, pertama ada Visam, perempuan lemah lembut dan cantik saat ini sedang kuliah di jurusan kedokteran. Terus yang kedua ada Abzali yang selalu buat aku ketawa dengan segala tingkah konyolnya saat ini dia kuliah dengan jurusan ekonomi, yang terakhir ada Zurais si kalem dan selalu menjadi penengah diantara kami, dia ngambil jurusan sastra soalnya suka membaca katanya."
Hati Valaxie menghangat bisa melihat putrinya secara langsung seperti ini rasanya masih seperti mimpi untuknya. Valaxie harus benar-benar mengucap terimakasih pada Fransisco karena telah berani mengirimkan bantuan untuk menjemputnya hingga akhirnya Valaxie bisa menatap Asyila secara langsung, bisa mendengar ceritanya langsung tanpa bantuan Naila lagi.
"Oh iya Ma, aku lupa satu nama. Namanya Alena dia ngambil jurusan yang sama dengan Visam, kalau dia tau aku lupa namanya dia pasti ngambek." Asyila tertawa pelan membayangkan wajah kesal Alena karena ia melupakan namanya.
"Kalau pacar?"
"Boro-boro mau dapat pacar, cowok baru dekat aja kedua sahabatku lebih dulu ngusir mereka." apa yang Asyila katakan memang benar, ada beberapa laki-laki yang mendekatinya tapi Abzali dan Zurais lebih dulu mengusir mereka.
"Mama jadi pengen ketemu mereka."
"Yaudah! Aku keluar dulu mau cari telepon rumah untuk menelpon mereka." Asyila berdiri kemudian berjalan keluar kamar untuk mencari telepon rumah.
Valaxie terdiam, kembali mengingat saat bertemu dengan mertuanya beberapa jam lalu.
Flashback on.
"Kak Valaxie..."
"Assalamu'alaikum, Naila." sapanya dan perempuan bercadar itu langsung berlari memeluk erat Valaxie.
"Wa'alaikumussalam, akhirnya bertemu lagi sama kakak setelah bertahun-tahun. Ayo masuk dalam rumah kak, Ummi sama yang lainnya sudah menunggu." dengan antusias Naila menarik lengan Valaxie masuk kedalam rumah dan Ashley mengikut di belakangnya.
"Alhamdulillah mantuku sudah kembali." masih dengan keceriaan yang sama padahal sudah memasuki usia senja, itulah yang Valaxie bisa tangkap saat melihat mertuanya yang sedang duduk di ruang tamu.
Wajah Ummi dari alm.suaminya itu masih terlihat cantik meskipun sudah banyak guratan-guratan disana, tentu Valaxie sangat menyayangi Gina karena selalu menerimanya dengan baik tanpa membahas masa lalu Valaxie sebelum masuk islam.
"Ayo sini duduk sama Ummi, tadi Ummi sudah masak makanan kesukaan kamu." Naila menuntun Valaxie duduk disamping umminya dan Ashley dihadapannya dimana meja menjadi perantaranya.
"Kamu kok kurusan Nak, pasti banyak pikiran makanya gini. Jangan terlalu memikirkan suamimu pasti dia engga suka liat kamu seperti ini, pokoknya setelah jemput cucu ummi nanti kalian tinggal disini aja jangan kembali ke luar negeri." Valaxie tertawa kecil, merasa bahagia bisa merasakan perhatian ini lagi.
"Harus makan 5 kali sehari kamu Nak, nanti ummi beli sayur terus biar kamu gemuk lagi. Terus um-"
"Ummi tersayang, udah ya. Kak Valaxie pasti turutin mau Ummi jadi engga perlu jelasin sampai detail gitu." Ashley yang ada diantara mereka hanya terdiam, ia hanya mengetahui bahasa Indonesia 30% saja itupun tidak terlalu paham akan maknanya.
"Aku mau jemput Asyila dulu, Ummi."
"Yaudah! Kamu diantar calonnya Nai aja ya."
"Ummi... Kok calonnya Nai?"
"Loh! Kamu engga mau sama dia?"
"Dia dia, Mas Abrah masih disini loh Ummi. Mas Abrah juga punya telinga untuk mendengar perkataan ummi itu."
Valaxie tersenyum dibalik cadarnya, inilah suasana yang ia rindukan dari suasana rumah ini. Kasih sayang Ummi Gina yang tiada batasnya padahal bisa saja menyalahkannya tentang kematian anaknya tapi itu tidak pernah terlontarkan sama sekali.
Flashback end.
"Ma, katanya mereka akan kesini selepas kuliah." lamunan Vakaxie buyar mendengar perkataan Asyila.
"Ma..."
"Ada apa sayang?"
"Aku cantik engga?"
"Hah?"
"Mama ditanya malah engga jawab sih! Aku cantik engga?" ulangnya lagi.
"Memangnya kenapa?"
"Nanya aja, siapa tau kalau aku beneran cantik bisa buat dokter itu jatuh Cinta sama aku." suara tawa Asyila menggema dan Valaxie hanya menggelengkan kepalanya mendengar hal itu, sikap Aditia melekat sempurna pada Putri mereka.
"Abi kamu sama narsisnya kayak kamu."
"Tapi mama terjebak sama pesonanya juga kan? Hayoo ngaku!"
"Iyain ajalah."
"Hahaha, mama lucu." Asyila terus tertawa dan Valaxie bahagia karena putrinya tertawa karena dirinya.