Tangannya meraih pistol kecil kemudian menyematkannya di pahanya setelah sebelumnya memasang pengikat disana, meraih belati kecil lalu menyimpannya disaku. kakinya melangkah keluar dari ruangan itu kemudian menarik selembar kain memasangnya di sini wajah, cadar.
"Nyonya Valaxie, apakah kita benar-benar akan ke Indonesia?' tanya Ashley sekali lagi.
"kita akan ke sana, nyawa putriku bukan permainan untuk mereka semua. Xinkie harusnya berhadapan denganku, Ashley bukan Asyila." Valaxie berjalan ke ruangan itu lagi, mengambil beberapa pistol kemudian menyimpannya di tempat rahasia di kopernya.
"kita akan ketahuan Tuan Besar jika sampai Nyonya keluar dari tempat ini. apalagi diluar bangunan ini, mereka menyimpan mata-mata dalam bayangan untuk memantau. tidak mudah bagi kita untuk mengelabui mereka, Nyonya." Dibalik cadarnya Valaxie tertawa kecil, mata-mata itu hanyalah tikus kecil yang harus segera dibasmi.
"Segera siapkan perlengkapanmu juga, Ashley. Kamu harus melihat bagaimana indahnya Indonesia." Ashley memilih menyerah, memilih melangkah keluar kamar menuju tempatnya. Ashley bukannya tidak percaya dengan Nyonya-nya hanya saja mereka bukan tandingan yang setimpal meskipun Nyonya-nya mantan pembunuh bayaran sekalipun.
"Ada apa?" tanyanya, saat salah satu pelayan datang dengan terburu-buru.
"Tuan Franch datang kemari. Dan mereka sangat terburu-buru, dalam waktu 40 menit mereka sudah tiba disini." Ashley membulatkan matanya mendengar hal itu.
"Segera kumpulkan semua pelayan dan suruh mereka semua bersihkan rumah ini tanpa jejak. Bahkan jejak kaki sekalipun." Pelayan itu mengangguk kemudian berlari pergi, Ashley kembali ke kamar Nyonya-nya.
"Ada apa dengan raut wajahmu itu, Ashley?" Valaxie menghentikan aktivitasnya memilih mendekati ketua pelayannya.
"Tuan besar akan datang kemari dalam kurung waktu 40 menit, kita harus menyuruh para pelayan ke paviliun, Nyonya." Tangan perempuan bercadar itu terkepal kuat, ada apa dengan keluarganya?
Valaxie melangkah keluar, tepat di depan sana para pelayan Terlihat hilir mudik sana sini,"aku ingin semuanya selesai tanpa jejak sama sekali dalam waktu 15 menit." Ujarnya tenang, semua pelayan mengangguk kemudian kembali melanjutkan kegiatannya.
15 menit kemudian semuanya selesai, para pelayan sudah berbaris rapi didepannya. Berat rasanya tetapi Valaxie harus melakukan ini atau nyawa para pelayan ini akan melayang dalam satu tembakan. Valaxie tidak ingin mereka mati sia-sia.
"Kalian harus pergi dari sini, gunakan paviliun dan jangan keluar dari sana sebelum ada aba-aba dariku ataupun Ashley. Ingat! Jangan keluar sebelum mendengar suaraku ataupun suara Ashley mengatakan keluar. Aku tidak ingin nyawa kalian menjadi bahan permainan." Semua pelayan menunduk, mereka tidak ingin berpisah dengan Nyonya-nya.
"Maafkan atas kelancangan saya Nyonya. Kami semua telah berjanji pada Tuan Aditia untuk menemani Nyonya bahkan nyawa kami-pun sebagai taruhannya." Salah satu dari mereka maju, memohon tetap ikut dengan Valaxie.
"Aku sungguh menghargai keinginan kalian ataupun janji kalian pada Mas Aditia tapi aku tidak bisa melihat nyawa melayang hanya karena keegoisanku. Segera pergi dari sini dan berjalanlah dengan cepat ke paviliun. Dengan menjaga keselamatan kalian dan tetap hidup untukku maka Mas Aditia pasti akan sangat senang." setelah mengucapkan kata itu Valaxie masuk kedalam kamarnya,
"Jangan lupa. Ingat Allah dan tetap laksanakan kewajiban kalian sebagai muslimah." sejenak ia menghentikan langkahnya, kemudian kembali melanjutkannya masuk kedalam kamarnya.
"Segeralah bergegas, turuti kemauan Nyonya. Jangan sampai salah satu dari kalian tertangkap atau Nyonya akan sangat terpuruk." semuanya sontak mengangguk kemudian berjalan secara teratur menuju Paviliun yang berada dibalik bukit.
Aditia, benar-benar telah menyediakan semua ini. Membangun paviliun dimana hanya pelayan-pelayan itu yang tau bahkan Valaxie-pun tidak tau dimana keberadaannya.
"20 menit lagi, Tuan besar Franch akan tiba Nyonya." dibalik cadarnya Valaxie tersenyum lembut.
"Aku sangat merindukan ayahku, keluargaku. Kakak-kakakku dan juga mereka di mension itu, Ashley. Tapi sayangnya mereka tidak bisa menerima agamaku, penampilanku serta pernikahanku dengan Mas Aditia." Ashley hanya terdiam.
"Apa yang salah dengan islam? Islam adalah agama mulai yang begitu membuatku terpukau. Tanpa menikah dengan Mas Aditia pun aku akan masuk islam karena aku memutuskan masuk islam bukan karena mas Aditia tapi karena benar-benar ingin berada diantara mahluk Allah. al-qur'an dengan segala keajaibannya membuatmu kagum.'' Valaxie berjalan ke sudut ruangan, membuka cadarnya.
Beberapa detik kemudian suara pintu terbuka,"ayo Ashley, ayah sebentar lagi akan tiba." Dengan ragu Ashley berjalan masuk kedalam ruangan. Ashley menatap ranjang sebelum masuk, disana koper sudah hilang tergantikan kasur tanpa seprei. Kakinya melangkah masuk dan beberapa detik kemudian pintu kembali tertutup.
"Ayah datang lebih cepat dari perkiraanmu, Ashley." keduanya menatap jendela, terlihat laki-laki berumur 60'an turun dari mobil. Masih terlihat gagah dan kuat. Sungguh! Valaxie merindukan ayahnya.
Valaxie berjalan kearah komputer yang ada di meja, beberapa cctv terlihat.
"Valaxie, ayah tau kamu ada disini. Keluar dan temui ayah! Lepaskan kain itu dan kembali menjadi putriku yang dulu. Si Aditia itu telah tiada dan sebentar lagi anaknya akan tiada juga di tangan Xinkie. Kamu akan ayah nikahkan dengannya seperti yang seharusnya."
Valaxie memperbesar CCTV kemudian mengusap pelan wajah ayahnya, Franch."Kamu memang ayahku tapi agama Islam lebih ku prioritaskan. Membuka jilbab dan cadarku sama saja dengan melepaskan mahkotaku, ayah." Ashley memeluk Nyonya-nya memberinya kekuatan untuk tetap kuat.
"Tuan Aditia pasti senang melihat betapa kukuhnya Nyonya mempertahankan harga diri." senyum Valaxie tercipta. Tentu, Suaminya akan senang sekali.
"Valaxie, sudah 22 tahun berlalu. Apakah kamu tidak merindukan seluruh keluarga besarmu?" suara ayahnya kembali terdengar, bukan berasal dari cctv tetapi alat yang ada di dekat komputer.
"Aku sangat merindukan kalian semua, tapi sayangnya saat aku kembali ke tengah-tengah kalian maka itu sama saja aku meninggalkan jalanku menuju surga Allah." Ashley memilih menjauh, mengangkat ponselnya yang berdering sejak tadi.
"Ada apa?"
"..." Ashley mematung, dengan langkah pelan ia berjalan mendekati Nyonya-nya.
"Nyonya, Tuan Fransisco ingin berbicara dengan anda." dengan gerakan cepat Valaxie mengambil ponsel yang Ashley ulurkan.
"Benarkah? Asyila ada bersamamu?"
"..."
"Bagaimana caraku keluar dari sini, sedang anak buah ayahku mengepung rumah ini."
"..."
"Itu terlalu berbahaya Fransisco, itu sama saja dengan mengantar nyawa."
"..."
"Benarkah? Ingatannya telah kembali? Dia mengingatku dan terus menggumamkan aku?" dibalik cadarnya Valaxie menangis haru, apa yang Fransisco beritahukan benar-benar penyemangat baru untuknya.
"..."
Valaxie berdiri menatap kebelakang rumah dan ternyata benar. Di sana helikopter yang Fransisco kirimkan padanya telah tersedia. "Ashley, kita harus pergi dan naik ke helikopter itu." ujarnya, sambungan telepon dengan Fransisco sudah terputus.
Perempuan bercadar itu mengambil ponselnya kemudian berjalan ke sudut kamar. Membuka cadarnya dan beberapa detik kemudian pintu terbuka, tangga menurun kebawah langsung terlihat. Valaxie kembali memakai cadarnya kemudian melangkah turun disusul Ashley di belakangnya.
"Kita harus cepat, Ashley. Sebelum anak buah ayah melihat kita." keduanya mempercepat langkahnya suara bising helikopter perlahan terdengar.
"Valaxie..." teriakan itu terdengar,keduanya memutuskan berlari tanpa berbalik sama sekali.
DOORR.
"Auuu."
"Nyonya Valaxie.."
Valaxie tetap mencoba berlari, jaraknya dan helikopter itu tinggal beberapa langkah lagi. Luka tembak di kakinya ini tidak seberapa dengan apa yang sering ia dapatkan beberapa puluh tahun lalu.
"Nyonya..." suara Ashley terdengar khawatir tetapi ia tidak peduli, bayangan AAsyila yang memanggilnya mama sudah sangat ia rindukan.
"Saya ban-"
"Berhenti disana. Aku punya pelayan sendiri." Dengan sigap Ashley menuntun Nyonya-nya masuk kedalam helikopter setelah sebelumnya menolak bantuan suruhan Fransisco.
Helikopter perlahan meninggalkan pekarangan itu, Valaxie menatap kebawah terlihat ayahnya menatapnya murka.
"Aku takkan melepaskanmu Valaxie." teriak ayahnya dari bawah sana.
"Kita akan pergi ke rumah sakit dulu Nyonya,disana penjagaannya ketat. Dari sana setelah kaki anda di obati, kita akan ke bandara kemudian menuju Indonesia." Valaxie tidak menanggapi memilih menatap gumpalan awan putih.
Asyila-nya perlahan mengingatnya dan itu adalah kabar gembira yang akan terus menerus Valaxie ingat sampai kapanpun.
"Nyonya tidak papa?"
"Tidak papa, Ashley. Membayangkan Asyila pulih itu bisa menutupi luka di kakiku. Lagian luka seperti ini tidak seberapa bagiku, malahan dulu lukaku lebih besar." jawabnya tenang, belati dan pistol masih berada di paha dan pinggangnya. Tidak perlu dibuka biarkan ini untuk berjaga-jaga kedepannya.
"Bagaimana bisa Fransisco tau keberadaanku?"
"Biarkan beliau yang menjawab, Nyonya. Karena bukan kuasa saya untuk menjawab."
"Apakah dia mempunyai akses pada rumah ku? Atau dia juga tau mengenai paviliun yang mas Aditia sembunyikan itu?" tidak ada jawaban, dan Valaxie cukup tau jika jawaban dari pertanyaannya adalah ya.
Bagaimana bisa anak itu ada disana? Bukankah sudah lama menghilang di dunia gelap? Atau selama ini Fransisco sudah berada di Indonesia untuk melindungi Asyila? Atau seseorang yang Naila maksud dalam menolong Asyila adalah Fransisco?