webnovel

Bab 12

Wajah tampan Albert telah berhasil mencuri perhatian Calista. Ingatannya seperti di putar ke belakang.

Wajahnya tidak asing, sepertinya aku pernah melihatnya, tapi di mana? Apa mungkin di London? Calista membatin kemudian melayangkan kembali tatapan yang tak biasa dan hal tersebut tak lepas dari pengamatan Leonard dan juga Matius.

Di saat meeting hendak di mulai ponselnya pun berdering. Seketika mengumpat kesal karena lupa mensilent. Semua pasang mata pun langsung tertuju padanya seolah ia penjahat yang hendak di adili.

Dasar kau ini bodoh sekali Calista, Dewi dalam hatinya memaki.

"Silahkan di angkat terlebih dulu Mrs. Calista. Mungkin saja itu telepon penting," saran Albert.

"I'am sorry, Sir."

Mengulas senyum. "No problem. Saya tahu itu pasti telepon penting. Silahkan di angkat dulu."

"Sekali lagi saya meminta maaf atas ketidaknyamanan ini. Di lain kesempatan saya pastikan hal ini tidak akan terulang."

"Tidak masalah Mrs. Calista. Silahkan! Meeting akan di tunda sampai Anda kembali."

Sikap hormat Albert pada Calista tentu saja jadi tanda tanya besar seluruh karyawan yang ada di ruangan meeting. Baru kali ini CEO killer bersikap lunak pada karyawan apalagi pada Calista yang terbilang baru. Meskipun banyak sekali pertanyaan akan tetapi tak ada yang berani untuk saling berbisik kecuali saling melempar pandang satu sama lain.

Setelah beberapa menit Calista kembali memasuki ruangan, kedatangannya langsung di sambut hangat oleh Albert lalu dengan penuh rasa hormat mempersilahkan Calista duduk.

Setelah 4 jam akhirnya meeting pun usai. Albert meminta Calista untuk tetap tinggal karena ada beberapa hal yang harus di bahas. Benak Leonard langsung di hinggapi berbagai pikiran buruk. Mungkinkah Calista menjalin hubungan dengan Albert? Tapi di mana mereka bertemu? Bukankah ini jadi pertemuan pertama mereka? Itulah yang Leonard pikirkan.

"Hai, apa yang kau lakukan di sini?" Matius bertanya ketika memergoki Leonard masih saja berdiri di depan ruang meeting.

"Bukan urusanmu!"

Sementara di dalam ruangan meeting keduanya terlibat dalam perbincangan yang seketika mengingatkan Calista bahwa Albert adalah rekan bisnisnya ketika Calista menjabat sebagai CEO di perusahaan Jozh. Ia tak pernah menyangka akan di pertemukan kembali dengan Albert.

"Oh maafkan saya, Sir. Bagaimana kabar Anda?"

"Tentu saja baik. Dan … apa yang Anda lakukan di sini? Bukankah seharusnya Anda di London bersama Mr. Jozh?"

Menghembus nafas berat rasanya sulit sekali untuk mengatakannya. Tanpa menunggu Calista menjawab Albert pun mengatakan pasti Calista pindah ke Indonesia bersama keluarganya.

"Tidak, Sir. Kami sudah berpisah." Albert langsung terperanjat kemudian meminta maaf karena tanpa sengaja mengingatkan kembali pada masa lalunya yang penuhi duri pesakitan.

"No problem, Sir. Tidak perlu meminta maaf. Oh iya apakah Anda masih menjalin kerjasama dengan perusahaan Jozh?"

"Tidak, perusahaan Jozh mengalami defisit setelah di pegang Mrs. Lana. Sekarang ini saya sedang menjalin kerjasama dengan Kafeel Group," jeda sejenak kemudian melayangkan tatapan penuh tanya.

"Oh iya satu hal yang membuat saya bingung, kenapa Anda sampai bekerja di perusahaan saya? Sementara Anda ini pewaris Kafeel Group. Kenapa Anda tidak bergabung dengan perusahaan Mr. Kafeel, Papa Anda?"

"Karena saya tertarik dengan perusahaan Anda, Sir," goda Calista di iringi gelak tawa.

"Saya akan mengangkat Anda menjadi CEO di perusahaan ini, apabila Anda berkenan Mrs. Calista."

"Tidak perlu merasa sungkan, Sir. Saya senang bisa menjadi tim sukses dari perusahaan ini. Saya tidak mengincar posisi CEO, dengan tetap di ijinkan bekerja di perusahaan ini dan menjabat sebagai CFO, saya sudah sangat berterima kasih, Sir."

Menjabat tangan Calista. "Terima kasih atas kerjasamanya Mrs. Calista. Semoga Anda betah bekerja di perusahaan ini."

"Tentu saja, Sir."

Tatapan Albert pun kian menajam, satu hal yang masih tak ia mengerti kenapa Calista mau bergabung dengan perusahaannya. Sementara ayahnya memiliki banyak perusahaan yang tersebar luas di Indonesia dan juga lura Negeri. Setelah berbincang cukup lama Albert mempersilahkan Calista kembali ke ruangannya.

"Permisi Ibu Calista, Bapak Leo sudah menunggu Anda didalam," ucap Sarah. Calista pun langsung memicingkan matanya, di buat bertanya – tanya untuk apa Leonard menungguinya?

"Okay, thanks Sarah."

Dan betapa terkejutnya ketika mendapati Leonard sedang duduk di kursi kebesarannya dengan menyandarkan kepalanya pada sandaran kursi. Kedua mata terpejam, raut wajahnya mengeras, terlihat jelas ada kemarahan di sana.

"Apa yang Anda lakukan di ruangan saya?"

Mendapati Leonard hanya diam saja jemari Calista terulur menyentuh lembut pundaknya. Dan tanpa di sangka - sangka sepasang tangan kekar langsung meraih pinggang Calista hingga terduduk di pangkuan. Tak ayal hal tersebut membuatnya terperenyak sehingga berusaha melepaskan diri akan tetapi pelukan tangan kekar yang melingkari pinggangnya terasa semakin erat.

"Lepas!" Bentak Calista di iringi tatapan tajam. Namun, Leonard sama sekali tak bergeming. Tatapannya menajam, ada kemarahan bercampur kecewa tersirat dari sorot matanya.

"Leonard, lepas!"

Menyadari rasa tak nyaman terpancar dari wajah cantik Calista, Leonard segera melembutkan tatapannya kemudian menatapnya intens berusaha menyelami ke kedalaman siluet abu – abu. Tak tahan di tatap dengan begitu intens Calista memilih menundukkan pandangan.

Jemari kokoh terulur meraih dagu Calista sehingga tatapan keduanya kembali bertemu. Seakan terhipnotis oleh tatapan sepasang manik hitam. Calista pun sama sekali tak bergeming ketika Leonard mulai mendekatkan wajahnya.

Nafas keduanya saling bersahutan, saling mengirim rasa yang tak biasa. Dapat Calista rasakan benda kenyal mulai menyapu lembut bibirnya. Ketika ingin menjauhkan wajah, jemari Leonard sudah menekan tengkuknya menahan supaya ciuman tak terlepas.

Menyadari tak juga mendapat sambutan segera menggigit bagian bawah kemudian melesakkan lidahnya masuk. Dengan berani mengabsen setiap komponen. Setelah di rasa Calista mulai kehabisan nafas segera menjauhkan wajahnya. Tatapannya tak pernah lepas dari wajah cantik Calista terutama siluet abu – abu yang selalu di rindukannya ini.

Malu, itulah yang Calista rasakan sehingga langsung beranjak dari pangkuan akan tetapi cekalan pada pergelangan tangan menariknya kembali dengan sangat kuat sehingga terjatuh kembali ke dalam pangkuan Leonard.

"Mau kemana, hum?" Nada suara Leonard terdengar lembut menggelitik pendengaran. Jemarinya terulur merapikan beberapa helai rambut yang menjuntai melewati pipi. Tatapannya menghangat dan entah kenapa di perlakukan seperti itu membuat Calista terlena.

Menyadari Calista berada di bawah kendali diri, Leonard hendak menyatukan kembali bibirnya. Namun, dorongan kuat pada dadanya telah menghentikan niatnya tersebut. Ia pun langsung menghujani Calista dengan tatapan penuh tanya seolah berkata, kenapa Calista? Tanpa menjawab Calista langsung beranjak dari pangkuan sembari berkata. "Saya harus bekerja, silahkan tinggalkan ruangan saya."

"Saya tidak mendengar yang kamu katakan Calista sayang. Coba ulangi sekali lagi."

"Saya harus bekerja, silahkan tinggalkan ruangan saya. Bukankah Anda juga harus bekerja?"

"Tatap aku kalau kita sedang berbicara!" Sembari meraih dagu Calista sehingga tatapan keduanya saling bertemu. "Jangan ada lagi kata saya, Anda." Kalimat yang baru saja mengusik pendengaran langsung menyentak kesadaran Calista sehingga tatapannya menajam pada sepasang manik hitam Leonard .

Bibir kokoh mengulas senyum simpul kemudian jemarinya terulur menyentuh lembut bibir ranum. "Tidak setelah kita berciuman."

"Yang kita lakukan beberapa saat lalu tak berarti apa – apa. Kita sedang terbawa suasana saja dan anggap saja tak pernah terjadi apapun di antara kita."

Bibir kokoh kembali mengulas senyum yang sulit di artikan kemudian meraih pinggang Calista merapatkan ke dalam dada bidang hingga tak ada celah. Meskipun coba melawan akan tetapi kekuatannya jelas kalah jauh jika di bandingkan dengan Leonard.

"Jika yang kita lakukan tadi murni karena terbawa suasana maka kau tak akan pernah menikmatinya sayang. Tapi, sayangnya aku masih mengingat dengan sangat jelas bagaimana saat bibirmu yang seksi ini menyambut ciumanku Calista." Sembari mengangkat sudut bibirnya dengan tatapan mencemooh.

Chapitre suivant