"Sepertinya apa yang aku bilang barusan tidak bisa dicerna dengan baik oleh telingamu." Ujar Lewis.
"Dan, pertanyaanku masih sama. Memangnya di atas meja ini ada tulisan namamu? Hmm ...." Calista membusungkan dadanya menantang pria arogan itu untuk menjawab. Calista mengamati atas meja itu dan tidak ada tulisan apapun.
Pria menggeleng-gelengkan kepalanya karena tidak ingin berdebat. Tapi, telunjuknya mengarah ke suatu tempat yang membuat Calista mengikuti jarinya berada. Pria itu menunjuk sebuah kayu antik yang seperti tanda dengan dudukan yang terbuat dari kayu berwarna senada, coklat tua. Calista membelalakkan matanya begitu melihat tulisan yang ada di sisi kayu itu, LEWIS HUTOMO.
Kini Calista yang menggeleng-gelengkan kepalanya dan menghela napas kasar sambil berkata, "Kamu pria aneh. Sepertinya kamu kurang bergaul jadi tidak punya banyak teman. Ckckckck ...." Calista meninggalkan Lewis begitu saja keluar kafe. Lewis yang merasa terhina dengan ucapannya, mengatupkan bibir dan mengeraskan rahang hendak mengejar Calista namun telpon genggamnya berbunyi sehingga dia tidak jadi menyusul perempuan yang telah berani memancing emosinya.
"Lewis, kamu dimana? Segera keruanganku sekarang juga!" Telpon pun dimatikan sepihak dan Lewis menggenggam erat ponselnya. Dia segera meninggalkan kafe. Matanya masih sempat mencari keberadaan perempuan yang sudah berani mengatainya kurang bergaul dan tidak punya banyak teman. Lewis berjalan menuju lift yang mengantarkannya ke lantai paling atas.
"Hai Andrew, bosmu ada didalam?" Lewis menyapa Andrew yang dilihatnya baru kembali dari pantri membawa secangkir kopi untuk dirinya sendiri.
"Tadi sih ada. Sebentar, saya cek dulu." Andrew meletakkan kopinya dan menuju ruangan Darren untuk memberitahukan perihal kedatangan sepupu sekaligus salah satu pemegang saham The Anderson Group.
Tok tok tok ...
"Masuk!"
"Silahkan masuk, tuan Lewis. Tuan presdir ada didalam." Lewis mengangguk sambil menepuk bahu Andrew. Meskipun teman atau keluarga sekalipun, Darren tidak ingin siapapun masuk keruangannya tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu.
"Lewis, kamu sudah datang dari pagi, kenapa tidak langsung menemuiku?" Darren bangkit dari duduknya dan menghampiri sang sepupu sekaligus teman baiknya selain Jack. Bedanya, Jack adalah pria flamboyan yang dikelilingi banyak wanita hampir setiap harinya. Sedangkan. Lewis sangat antipati terhadap wanita, kecuali ibu dan adiknya.
"Aku ke lantai bawah di ruangan khusus personalia. Dengar-dengar ada demo yang dilakukan para karyawan meminta penertiban jam kerja. Jadi, aku menyelidiki kesana." Lewis menempati kursi didepan Darren dan duduk didepannya.
"Sebentar." Darren membuat panggilan kepada sekretaris barunya.
"Buatkan aku kopi dua. Dan, antarkan kedalam ruanganku sekarang." Calista terbelalak lebar mendengar dia disuruh membuat kopi. Baru kali ini tugasnya membuat kopi. Kopi jenis apa yang diminum.
"Baiklah." Calista menutup panggilan dan segera beranjak menuju pantri. Dia membuat kopi hitam. Semua pria pasti suka kopi hitam, menurutnya. Daripada harus menebak-nebak apakah kopi krimer atau kopi susu. Jadi lebih aman kopi hitam saja, batin Calista.
Tok tok tok ...
"Masuk!" Calista meminta tolong Andrew untuk membuka pintu, sementara kedua tangannya sibuk memegang nampan berisi dua cangkir kopi.
Calista masuk kedalam ruangan tanpa melihat siapa yang ada didalam.
"Aku taruh dimana kopinya, tuan?" Calista berusaha bersikap profesional meskipun mata nyalang Darren tidak berkedip melihatnya semenjak masuk ke ruangan. Karena Lewis duduk membelakangi Calista maka perempuan ayu itu tidak sadar kalau pria yang ada didepannya adalah pria arogan yang setiap meja ada namanya.
"Di meja sana saja." Jawab Darren.
Calista meletakkan dua cangkir kopi itu diatas meja. "Silahkan diminum." Ujar Calista dengan lemah lembut.
Lewis yang penasaran sejak tadi mendengar suara perempuan pengantar kopi, memutar kursinya ke arah belakang. Dan, sesuai dugaannya, perempuan reseh itu lagi yang berani mengatainya ternyata adalah sekretaris Darren.
"KAMU!"
"KAMU!"
Lewis dan Calista memanggil bersamaan.
"Ada apa ini?" Darren merasakan ada yang tidak beres dengan kedua orang ini.
"Lewis, kamu kenal dia?" Darren menatap Calista sambil mengeraskan rahang. Berani sekali perempuan ini bermain-main dibelakangku dengan pria lain. Apalagi itu adalah sepupunya.
"Sebaiknya anda bertanya padaku. Dia adalah lelaki arogan dan aneh yang menandai semua meja dengan namanya. Cih! Kenapa tidak sekalian saja perusahaan ini kamu tandai dengan namamu? Aku permisi dulu." Calista berjalan keluar ruangan dan meninggalkan dua pria yang saling menganga satu sama lain dengan perkataan Calista yang benar-benar berani dan tidak masuk akal.
Lewis pun bercerita asal muasal bisa mengenal Calista yang baru diketahui namanya sekarang ini dari Darren. Darren tersenyum simpul mendengar cerita Lewis. Namun, didalam hatinya, Darren pasti memberikan hukuman untuk Calista dirumah nanti. Berani-beraninya berdebat dengan pria yang harusnya bisa ditinggalkan begitu saja tanpa harus meladeninya.
"Jadi dia sekretarismu? Andrew kenapa? Mau resign?" Lewis bertanya maraton sambil menyesap kopi hitam buatan Calista. Dia menikmati didalam lidahnya dan baru kali ini dia merasakan kenikmatan kopi hitam.
"Andrew terlalu padat jadwalnya jadi aku meminta dia membagi dua pekerjaan dengan Calista. Biar bisa maksimal kerjanya." Jawab Darren hati-hati.
"Ohh begitu. Dia perempuan yang kasar dan berani. Entahlah apa cocok dengan posisi sebagai sekretaris, menurutku." Ujar Lewis.
"Dia adalah istriku. Aku jadikan sekretaris karena dia bilang butuh suasana segar agar tidak jenuh dirumah. Disamping itu, dengan adanya dia disisiku 24 jam, aku bisa bebas memanggil dirinya kapanpun aku butuhkan jika ingin bercinta, hehe." Darren berkata dalam hati sambil tersenyum tipis.
"Masih baru jadi belum adaptasi. Kita bicarakan hal lain. Kamu tinggal dimana sekarang?" Darren bertanya sebelum menyesap kopi hitam buatan Calista. Seperti halnya Lewis, Darren merasakan kopi ini lebih enak dibandingkan buatan siapapun. Harusnya aku suruh dia yang membuat kopi dirumah, batin Darren.
"Kenapa? Kamu mau aku tinggal dirumahmu lagi? Nanti Britney marah. Huh." Jawab Lewis.
"No! Aku tidak butuh kamu atau Jack untuk tinggal di mansionku. Kalian sudah punya mansion masing-masing." Jawab Darren.
"Huh, lagipula aku juga tidak mau tinggal dengan pria pecundang yang masih mengharapkan istri orang. Seperti tidak ada perempuan lain didunia ini." Seperti biasa, kalimat yang meluncur dari bibir Lewis selalu bagaikan anak panah yang melesat dan tembus kedalam jantungnya. Tidak pernah basa-basi dan selalu langsung pada tujuan.
"Aku dan Britney tidak ada hubungan apa-apa lagi semenjak dia sudah menikah. Jangan kamu ungkit-ungkit itu lagi." Jawab Darren sambil menyeringai sinis.
"Okay." Lewis mengangkat bahunya.
"Andrew, pria didalam siapa? Apakah salah satu rekan bisnis Darren?" Calista menarik tangan Andrew yang sedang berada di mesin fax untuk mengorek informasi tentang pria arogan dan aneh.
"Tuan Lewis? Dia sepupu tuan presdir sekaligus salah satu pemegang saham The Anderson Group." Jawab Andrew santai. Calista setengah shock mendengarnya.
Pria yang dia anggap arogan dan aneh adalah salah satu pemegang saham perusahaan ini. Dan, dia barusan berkata kepada pria itu untuk menamai dirinya di perusahaan ini, batinnya. Calista berjalan memutar meninggalkan Andrew yang memiringkan dagunya tidak mengerti.