webnovel

BAB 4: Menandatangani Kontrak Pernikahan (bagian 1)

"Aku... aku lupa bertanya... nama kamu siapa?" Tanya Calista sambil menelan saliva. Tapi, sudahlah itu tidak penting." Calista berlari keluar diskotik dan menyelipkan diri diantara kerumunan pengunjung yang baru datang.

Semakin malam semakin banyak orang yang datang ke diskotik. Mereka turun dari berbagai jenis mobil mewah. Calista mencari taksi terdekat dan langsung masuk kedalamnya. Entah mengapa dia menjadi sangat takut melihat tatapan bengis pria itu yang merasa kesenangannya terganggu saat berciuman dengan pacarnya.

"Dimana dia? Kenapa kalian kembali?" Darren berteriak memarahi ajudannya.

"Maaf tuan, tadi dia minta turun sebentar. Kami tidak tahu dia kesini." Dua ajudan yang disuruh mengantarnya pulang malah kehilangan jejak.

"Ya sudah, kita kembali saja." Darren melonggarkan dasi dan masuk ke dalam mobil kembali pulang menembus kegelapan malam. Perihal Britney dia telah menelpon Jack untuk mengantarnya pulang.

-----

Pagi yang cerah menyapa siapapun yang semangat memiliki hidup lebih baik ketika bangun pagi-pagi. Hari ini Calista ijin tidak masuk kerja. Kepalanya terasa berat sekali pening luar biasa sejak sampai kos-kosan semalam. Mungkin karena kemarin sore dia melewatkan makan malam atau karena kehujanan ketika sampai rumah.

Namun, bunyi pesan masuk membuatnya harus bangun dan membersihkan badan. Karena dia harus datang ke rumah pria bilionair tua dan cacat untuk menandatangani sebuah kontrak pernikahan. Ya, sebuah kontrak yang akan mengikat hidupnya selama beberapa tahun kedepan. Demi membiayai pengobatan sang ayah yang sedang berjuang antara hidup dan mati diruang ICU.

Calista berjalan terseok-seok menuju kamar mandi. Hanya sekedar membersihkan rambut dan badannya karena tak ingin berlama-lama. Setelah menyelesaikan ritual mandi, Calista memilih kemeja berwarna hijau lumut yang kontras sekali dengan kulitnya yang putih bersih. Dipadu padankan rok jeans selutut dengan model melebar.

Perempuan yang masih dalam keadaan setengah sakit itu berjalan ke ujung gang menunggu angkutan umum menuju rumah sang bilionaire. Dia memilih naik kendaraan umum terlebih dahulu, baru naik ojek online dari depan perumahan kedalam untuk mengirit ongkos.

Satu jam sudah Calista bermacet-macet ria di tengah kepadatan hiruk pikuk ibukota, hingga akhirnya sampailah motor online yang disewanya didepan pintu pagar menjulang yang dilihatnya semalam.

"Permisi, maaf pak saya ada janji dengan tuan yang kemarin mewawancarai saya untuk datang hari ini." Perempuan yang masih dalam keadaan pucat itu menyampaikan maksud dan tujuannya datang kepada satpam yang berjaga di pos. Setelah mencatat dan menahan KTP Calista sebagai jaminan, perempuan malang itu pun berjalan menyusuri jalanan setapak khusus pejalan kaki. Tapi kali ini tidak ke arah belakang. Melainkan ke pintu utama.

Seorang pelayan wanita paruh baya menanyakan maksud kedatangannya dan setelah diberitahukan hal yang sama, Calista diperkenankan masuk ke dalam ruang utama. Pintu besar dan tinggi layaknya sebuah kastil, membuat Calista terpana. Mulutnya setengah menganga tidak percaya dengan apa yang dilihatnya didalam ruangan tamu tersebut.

Ada sekitar 5 vas bunga keramik ukuran setengah tingginya, lukisan besar ditengah ruangan yang menempel di dinding berwarna putih gading, lampu kristal jumbo dengan banyak lampu kecil-kecil menjuntai indah tepat diatas meja tengah persegi panjang yang terbuat dari kayu jati terbaik di dunia. Calista tahu karena salah seorang temannya di kampus adalah anak dari pengusaha mebel ternama di ibukota.

Tidak sampai disitu, sofa panjang dan single berwarna putih yang ada diruang tamu pun sudah pasti mahal harganya karena empuk dan artistik bentuknya. Calista menelan saliva berkali-kali menikmati pemandangan indah didepan matanya. Dia tidak berani duduk jadi hanya berdiri disamping sofa.

"Selamat datang kembali, nona Calista. Silahkan duduk." Seorang pria yang kemarin menginterogasinya kini terlihat lebih jelas. Dengan kacamata tebal dan rambut dibelah samping dan mengenakan setelan jas serba hitam layaknya pemimpin sebuah perusahaan, muncul dari arah dalam rumah.

"Apakah aku sudah memperkenalkan diriku kemarin?" Tanya pria berkacamata tersebut. Bola mata Calista menatap keatas dan memiringkan dagunya mencoba mengingat kejadian semalam. "Sepertinya belum pak." Jawabnya. Pria itu mengernyitkan alisnya melihat sikap yang ditunjukkan Calista demi mengingat namanya.

"Baiklah, perkenalkan nama saya Andrew. Panggil saja tuan Andrew. Saya ajudan kepercayaan dari tuan Anderson. Bagaimana, kamu sudah siap menandatangani kontrak hari ini?" Tanya Andrew dengan nada tajam langsung ke inti tanpa berbelit-belit.

"Saya harus baca dulu isi kontraknya sebelum menandatanganinya bukan?" Tanya balik Calista

"Tentu saja." Andrew menaruh sebuah dokumen yang dijepit di papan kertas untuk ditanda tangani Calista. Perempuan yang sebentar lagi akan menjalani pernikahan kontrak, mengambil dan membacanya satu persatu dengan teliti. Ada 3 lembar kertas yang di lembar terakhir bagian bawah dipastikan tanda tangan pemilik rumah dan disebelahnya kolom kosong untuk tanda tangan dirinya.

Secara garis besar, isi surat itu adalah Calista diharuskan memiliki minimal tiga anak sebelum kontrak berakhir. Entah apa maksudnya sampai 3 anak, kalau dicerita-cerita komik yang dia baca, satu saja sudah cukup. Orang kaya benar-benar aneh, batin Calista.

Dan tercantum, selama Calista menjalani pernikahan kontrak, dia akan mendapatkan 100 juta setiap bulannya hingga memiliki anak tiga. Setelah memiliki anak 3, sebagai kompensasi perceraian, dia akan mendapatkan 1 milyar, 2 apartemen mewah, dan 1 kendaraan mewah. Calista menghela nafasnya dalam-dalam. Apakah harga diri dan keperawanannya senilai ini? Dia bahkan tidak pernah membayangkan ada di situasi seperti ini. Dalam pikirannya dulu, dia akan menyerahkan keperawanannya pada suami yang mencintai dan dicintainya. Mereka akan menikmati malam pertama dengan syahdu dan romantis layaknya pasangan pengantin baru.

Tak terasa ada sebutir cairan bening menetes di pelupuk matanya. Kalau bukan karena kemiskinan yang dideritanya dan kesembuhan sang bapak tercinta, dia tidak akan bertindak sejauh ini.

Andrew mengamati Calista lamat-lamat. Didepannya duduk seorang gadis yang setara dengan adik perempuannya. Namun, dengan nasib berbeda. Adiknya hidup glamor bersenang-senang setiap hari dengan teman sosialitanya. Kuliah pun hanya sebagai formalitas saja. Kedua orangtua Andrew sudah tidak ada. Jadi mereka kini kakak adik hanya tinggal berdua. Andrew begitu menyayangi sang adik, angel. Hingga menuruti apa saja kemauannya.

"Bagaimana?" Tanya Andrew kembali menyadarkan lamunan Calista.

"Tunggu. Ini maksudnya apa? Saat berhubungan, kamar harus dalam keadaan gelap dan tidak boleh boleh membantah apapun yang dilakukan tuan Anderson? Perjanjian macam apa ini? Jadi, kalau aku dianiaya dan dilecehkan, aku diam saja? Huh!" Calista menyeringai tajam.

"Tuan kami tidak mungkin segila itu. Ingat, tuan kami sudah tua dan cacat. Apa yang bisa dilakukan seorang pria tua dan cacat saat berhubungan?" Calista menjadi semakin tidak karuan. Berhubungan intim dengan pria tua saja sudah menyesakkan dadanya. Ditambah lagi cacat. Ya Tuhan, cobaan macam apa yang Engkau berikan pada hamba, batin Calista.

Chapitre suivant