****
Ujian semakin dekat tapi Danica benar-benar seakan tidak memperdulikan hal itu, ia semakin focus pada tulisannya. Seperti malam ini yang seharusnya Danica habiskan untuk mengerjakan contoh-contoh soal namun dirinya memilih duduk di meja belajarnya didepan laptop kesayangannya dan masih menggerakkan jari-jarinya diatas keyboard.
Dering telfon mengalihkan perhatian Danica, ia berdecak kesal saat dirinya merasa terganggu dengan suara itu dan juga ada niat hati untuk tidak mengangkatnya, mengabaikannya begitu saja namun saat ada nama 'Maximilan' Danica langsung mengabaikan laptopnya.
"Halo. Ada apa Rel?"
"Sudah tidur?"
"Kalau sudah tidur mana mungkin menjawab panggilanmu, jangan aneh malam malam ya Rel." kekehan gemas terdengar dari seberang sana membuat Danica mendengus sebal.
"Siapa tahu terbangun karena suara bising dari panggilanku."
"Jadi sudah lupa ya gimana Danica yang cantik ini kalau sudah tidur?"
"Siapa tahu itu sudah berubah setelah bertemu orang baru."
"Jangan aneh aneh ya Rel, ini sudah malam jangan bikin sebal. Ada apa telfon malam-malam?"
"Tidak ada apa-apa, hanya rindu."
"Tahu aja kalau dedek gemas ini memang suka bikin rindu, baru sadar ya bang?"
Keduanya sama-sama tertawa, tingkat percaya diri Danica memang belum berubah sejak dulu sedangkan diseberang sana Kharel sudah tersenyum sembari menggelengkan kepalanya mendengar kalimat yang diucapkan Danica diseberang sana.
"Tidak jadi rindu, dipending dulu aja. Nunggu halal dulu aja deh."
"Jangan membuatku mengumpat malam-malam ya Rel, ayo cepetan mau bicara apa sampai telfon?"
"Ah iya sampai lupa. Bisa keluar sebentar? Cuman di warung nasi goreng Mang Imang aja kok."
Danica langsung menatap jam sembari berfikir, ini sudah pukul sepuluh malam jika Danica mengiyakan namanya ia cari mati dengan Kakaknya.
"Kak Kiki ada di rumah, aku takut."
"Aku yang jemput nanti aku juga yang akan bilang sama Kak Kiki."
"Yakin ya kamu yang bilang."
"Iya gadis nakal."
"Oke, aku tunggu."
"Siap bu bos, meluncur."
Kharel langsung mematikan sambungan telfonnya membuat Danica menggelengkan kepalanya sembari tersenyum gemas. Danica pun langsung menyambar hemnya lalu keluar kamar menuju ruang tamu, setelahnya terdengar suara Kharel yang sudah berada di ruang tamu bersama Kakaknya.
"Sudah?"
Danica hanya menganggukkan kepalanya lalu berpamitan pada Kiki dan Ollive.
"Kalau pulang jangan sampai tengah malam."
"Siap Kak."
Kharel dan Danica langsung pergi meninggalkan rumah dengan sepeda motornya, tidak butuh waktu lama keduanya telah sampai di warung Mang Imang. Danica dan Kharel langsung memesan nasi goreng dan mulai duduk di tempat yang nyaman.
"Ada apa? Tidak biasanya, sepenting itu?" Danica menatap Kharel dalam namun pertanyaannya hanya dibalas Kharel dengan senyuman penuh arti membuat Danica memberengut kesal.
"Ihhh, ini tidak akan menjadi lucu ya Rel jadi jangan macem-macem. Perasaanku jadi tidak enak, aku tidak menyukai ini." Gerutu Danica membuat Kharel hanya tersenyum gemas sembari mengusap lembut surai hitam milik Danica.
"Jangan berfikir macam-macam, kita makan dulu ya."
*****
Danica tidak pernah berfikir jika kehidupannya akan terasa begitu berat, masalah bahkan terus saja berdatangan tanpa henti. Kharel pun menghentikan motornya tepat didepan rumah Danica, suasana bahkan sudah begitu sepi mengingat ini sudah pukul setengah dua belas malam.
Danica pun turun dari motornya lalu menatap Kharel bingung saat sang empu ikut turun dan menatapnya dengan senyuman manis andalannya.
"Bilang dari awal kan bisa kalau hanya untuk minta ditemani makan Rel." Kharel hanya terkekeh lalu meletakkan helmnya diatas sepeda miliknya.
"Kak…"
Danica mengerutkan keningnya saat satu kata itu masuk pada rungunya, hal yang terasa begitu aneh saat Kharel mengucapkannya.
"Kalau hanya diam lebih baik kamu pulang ini udah malam daripada disini hanya bikin kesal."
"Maaf ya Kak." Danica menghentikan cibirannya sembari menatap Kharel dengan perasaan aneh.
"Maaf? What? Why you apologize, are you sick?" Kharel memegang kedua bahu Danica sembari menatap dalam matanya.
"Aku berharap kamu bisa menemukan sosok lain yang bisa mengerti keadaanmu dan aku tidak suka melihat mu selalu melukai dirimu sendiri."
"Kharel? Tolong jangan membuat apa yang aku fikirkan ini benar, aku mohon jangan."
Danica mulai memandang dengan harap saat senyum tipis terbit diwajah Kharel, Danica menghempaskan tangan Kharel yang ada dikedua bahunya.
"Itu benar. Kali ini aku pamit ya Nic, tidak seperti dulu lagi."
"Rel, tidak… tolong jangan."
"Kali ini aku tidak bisa langsung pergi meninggalkanmu begitu saja karena takut mengecewakanmu."
"Dan kamu sudah melakukannya lagi Kharel Maximilan."
"Maaf tidak bisa menepati janji ku lagi."
"Dan aku tidak terkejut akan hal itu."
Setetes air mata jatuh dari pelupuk Danica, jauh didalam sana ada sesuatu yang hancur. Ada kekecewaan yang kembali tumbuh bahkan sebelum diobati sepenuhnya.
"Terimakasih atas rasa yang masih kamu berikan, aku benar-benar merasa tidak berguna saat mengetahui lagi-lagi harus mengecewakanmu. Aku hanya berharap setelah ini buang semua rasa itu jauh-jauh, aku sayang kamu Nic."
Danica masih diam mencoba menetralkan detak jantungnya yang mulai berdetak tak karuan hingga menimbulkan denyut menyakitkan, terasa begitu sesak. Tanpa diduga Kharel langsung merengkuh tubuh ringkih itu membuat sang empu yang hanya diam dalam hitungan detik air mata itu mengalir dengan deras tanpa komandonya.
Danica tidak menolak namun tidak membalas pula, namun setelahnya hanya terdengar isakan memilukan dari bibir ranum sang gadis ringkih dalam dekapannya itu. Setetes air mata jatuh dari pelupuk Kharel saat mendengar suara menyakitkan itu.
Ini bukan keinginannya tapi kenapa harus dirinya yang lagi-lagi mengecewakan sang gadis ringkih itu. Kharel semakin merasa menjadi lelaki yang tidak berguna untuk gadisnya.
Kharel menghapus air matanya lalu melepaskan pelukannya dan mengarahkan kedua ibu jarinya untuk menghapus air mata Danica yang bahkan tidak mau berhenti.
"Jangan menangis lagi gadis nakal, ini yang terakhir jangan menangisiku lagi. Mungkin akan terdengar jahat tapi lupakan aku ya, anggap saja hubungan kita memang sudah berakhir tiga tahun lalu. Aku akan mengakhirinya sekarang tanpa ingin melukaimu lebih dalam."
Air mata Danica kembali menetes sembari menatap Kharel dengan sendu dan memohon.
"Tidak bisa ya menetap sampai aku benar-benar melepaskanmu, aku akan berusaha."
Kharel tersenyum manis sembari menggelengkan kepalanya.
"Ini harus segera diakhiri Danica atau kamu yang akan terluka semakin dalam, aku juga akan berusaha membuka lembaran baru disana. Kamu juga harus janji akan hal itu."
"Aku tidak tahu." Lirih Danica.
"Aku pamit ya, jangan rindu. Jaga dirimu baik-baik girl."
Kharel menciup puncak kepala Danica lalu merapikan rambut Danica yang terlihat acak acakan terkena angin, ia pun tersenyum semanis mungkin untuk perpisahan yang tidak tahu akankah ada pertemuan lagi. Kharel langsung menancapkan gasnya meninggalkan perkarangan rumah Danica menyisahkan sang empu yang hanya menatap dengan penuh kesakitan.
"Sekali jahat akan tetap jahat ya Rel…."
*****