Galang mengangguk singkat, menatapnya. "Pagi."
Setelah sudah berada di lantai dasar, Luna melihat bahwa ada seseorang yang berdiri di ruang tamu.
Wanita itu membawa setumpuk dokumen, dan dia tampak seperti asisten pamannya.
Luna tidak ingin bertanya banyak tentangnya. Jadi, dia langsung duduk di meja makan.
Tapi di sini lain, saat melihat tampilan Luna yang berbeda dari biasanya, wanita itu terkejut.
Galang yang juga berada di sana balas menatapnya kembali dengan wajahnya yang kaku.
Setelah dia selesai sarapan, Luna melihat bahwa Galang tidak bangkit berdiri dari duduknya.
Berpikir bahwa pria itu mungkin tidak akan mengantarnya, dia bangkit berdiri dan berkata, "Paman, aku berangkat dulu."
Galang memanggil Hilman dan menyuruhnya untuk segera mengantarkan gadis itu.
Melihat tubuh ramping Luna, Galang menghela napasnya dengan berat.
Kemudian dia balik menatap Fero yang duduk di sampingnya. "Telepon kepala sekolahnya dan katakan padanya jika mulai besok, tidak ada siswa yang diizinkan memakai seragam sekolah itu lagi!"
Wanita itu sedikit gemetar saat mendengar suara marah direkturnya.
Dia mengingat seragam yang digunakan Luna tadi, kemudian berkata, "Baik, Tuan."
_______
Hilman mengantarkan Luna hingga ke depan gerbang sekolah, kemudian langsung pergi.
Luna melirik gerbang sekolahnya dan merasakan perasaan penuh dengan kerinduan akan kehidupan sekolah.
Meskipun dia percaya bahwa dia tidak perlu belajar lagi, saat Luna memikirkan dirinya sudah menghabiskan hampir dua puluh tahun di rumah itu dan hanya diajari oleh para guru yang berbeda, dirinya merasa senang saat bisa masuk ke sekolah seperti lainnya.
Sosoknya yang mempesona dan wajahnya yang cantik menarik banyak perhatian orang begitu ia masuk ke dalam gedung sekolah.
Namun, dia tidak terlalu peduli, dan pergi ke arah yang ditujunya.
Gadis itu berjalan melewati lapangan sekolah, hingga dapat dirinya rasakan sebuah tangan yang menyeret bahunya.
Luna hendak menyingkir dari situ, namun tubuhnya sudah ditarik ke dalam sebuah pelukan.
Dia tidak bisa berkata-kata dan terdiam untuk beberapa saat karena terkejut merasakan sebuah pelukan hangat ini. Kemudian, terdengar sebuah suara lembut dari pemuda yang memeluknya ini.
"Syukurlah. Kau baik-baik saja."
Kenapa dia berkata seperti itu? batin Luna.
Dia bisa saja melepaskan pelukannya, namun pemuda itu memeluknya dengan erat.
Bukankah dia memang baik-baik saja? Atau 'Luna' sedang dalam masalah?
Namun, dia tetap harus merasa terima kasih padanya karena telah menolongnya dari hantaman bola basket tadi.
Luna mendongakkan kepalanya dan melihat wajah dengan kedua alis yang rapi. Dirinya tidak pernah tahu bahwa kulit anak laki-laki bisa sebagus ini.
Wajah tampan itu bersih, tanpa noda dengan pori-pori wajahnya yang kecil.
Wajahnya yang mempesona dengan aura pemuda yang cerdas, begitu lembut dan menyenangkan.
Dia bisa saja juga populer di kalangan gadis-gadis, kan? Dia melihat pemuda di depannya yang cukup lumayan jika disandingkan dengan Rangga.
Sama-sama tampan dengan gaya berbeda.
Sebelum dia bisa mengucapkan terima kasih, dia mendengar seorang pemuda lain berkata dengan cemburu dan marah, "Sudah cukup!"
Dia sepertinya kenal dengan suara itu.
Luna sedikit mundur dari pelukan Ezra.
Dia mendongakkan kepalanya ke samping dan melihat Rangga yang berdiri di depannya sambil kedua tangannya memegang bola basket.
Masih terlihat peluh pada wajah tampan itu.
Pada saat ini, Rangga menatapnya dengan tajam, dan tanpa malu-malu menatapnya dengan cemburu.
"Kau tidak bisa menghindar dariku!" ujar Rangga.
Ketika Ezra mendengar kata-kata itu, dia melepaskan pelukannya, kemudian berbalik dengan satu tangan berada di saku celananya, dan dengan tangan lainnya. Pemuda itu mengangkat dan mengusap kotoran di bahunya yang terkena bola basket.
Sikapnya sungguh sangat tenang.
Pada saat yang sama, dia berkata kepada Rangga, "Kau harus meminta maaf."
Keduanya menarik perhatian siswa lain yang ada di sana.
"Wow, itu anak populer, Kak Rangga, Ka dan Ezra!" kata seorang gadis dengan semangat.
"Melihat dua pemuda tampan seperti itu! Aku tidak kuat!" ujar seorang gadis dengan idiot, sambil mengeluarkan ponselnya dan diam-diam mengambil foto keduanya.
"Siapa gadis di sebelah mereka itu?" tanya seseorang.
"Aku juga tidak tahu. Apa dia dari sekolah kita? Aku pikir dia lebih cantik dari gadis populer sekolah kita! Aku baru melihat gadis secantik dirinya!" ujar seorang pemuda di kerumunan itu sambil memandang Luna dengan tatapan tertarik.
"Apa kau tidak melihat bahwa dia mengenakan seragam sekolah kita? Atau mungkin dia baru saja pindah?" kata pemuda lain.
"Aku jadi tidak terlihat cantik lagi. Huh" kata seorang gadis dengan cemberut.
Seorang siswa melirik gadis yang berbicara itu dan menatapnya dengan wajah menghina. "Kecemburuan membuat orang menjadi jelek."
Rangga memandangi tatapan tak kenal takut gadis di depannya, dan itu membuatnya bertambah marah.
Dia menjilat bibirnya, dan berteriak pada orang-orang di sekitarnya, "Apa yang kalian lihat? Tidakkah kalian harus masuk ke kelas?!" Para siswa yang diteriaki itu buru-buru membubarkan diri dan masuk ke kelasnya masing-masing.
Semua orang tahu bahwa Rangga memiliki mudah sekali marah.
Jadi, tidak ada yang berani untuk tidak mematuhinya.
Sebelum pergi, seorang gadis masih sempat-sempatnya memuji Rangga, "Kenapa dia masih terlihat tampan saat marah seperti itu?!"
Setelah kerumunan bubar, Rangga tidak melihat ke arah Ezra atau meminta maaf padanya.
Matanya lekat-lekat menatap gadis itu.
Sambil melempar bola basketnya, dia berjalan menuju mereka berdua dengan.
Saat sudah dekat dengan mereka, dia mengulurkan tangannya untuk menarik tangan gadis itu tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Namun, tangan yang terulur itu dipegang oleh Ezra, "Kau harus memperlakukan seorang gadis dengan baik. Jadilah pria sejati."
Ezra meraih pergelangan tangan Rangga dengan satu tangan, dan menarik tangan Luna ke arah belakangnya. Sikapnya seperti tengan melindunginya.
Rangga yang memperhatikan matanya menyipit, lalu dia mendengus, "Apa maksudmu itu? Apa aku harus membutuhkan persetujuanmu untuk bertemu dengan pacarku?"
Gadis itu kesal saat pemuda itu memanggilnya 'pacar'. "Jangan bicara omong kosong! Memangnya siapa yang pacarmu itu?!"
Ezra lega setelah mendengar pengakuan Luna dan dia berkata, "Dengar?"
Rangga menundukkan kepalanya dan berkata, "Kemarin lusa, di lantai dasar Perpustakaan Kota … kita "
"Hei … " Gadis itu segera melepaskan genggaman tangan Ezra lalu menutupi mulut Rangga dengan kedua tangannya agar pemuda itu tidak bicara yang aneh-aneh lagi.
Dirinya berpaling untuk melihat Ezra dan tersenyum dengan canggung. "T-terima kasih, Kak, karena sudah menolongku."
Jika Rangga mengatakan bahwa mereka berdua pergi ke toilet laki-laki, dia akan malu seumur hidupnya!
Sedangkan Rangga menyeringai di balik tangannya yang membekap mulutnya.
Tangan kecilnya yang menutupi bibirnya lembut dan harum, dan dia menekan bibirnya sedikit ke tangan itu.
Ezra merasa curiga, namun dengan cepat dia dapat menyembunyikan ekspresinya itu.
Gadis itu melepas bekapan di mulut Rangga dan segera pergi dengannya dari situ.
Apakah kalian mengenal satu sama lain? Berpacaran? batin Luna.
Luna berpikir bahwa dia juga harus putus dengan Rangga, kalau tidak dia akan terus mengganggunya.
Tapi siapa tahu, dia baru saja mengikuti Rangga ke tangga yang terpencil saat dia tubuhnya tiba-tiba didorong ke dinding dan ditahan.
Rangga mencondongkannya, suaranya terdengar marah saat mengatakan, "Sudah kubilang untuk meneleponku, kau sepertinya tidak menurut padaku, ya?"
Saat dia berkata, dia meremas pelan dagu Luna dan mengangkatnya sedikit. "aku juga sudah mengatakan jika kau tidak berani meneleponku, kuharap kita dapat segerea bertemu kembali."